Sumber : Denpost, Rabu, 6 Januari 2010
Tantangan pengembangan Museum di era global menjadi perbincangan menarik dalam sarasehan terbuka di Museum Seni Lukis Klasik Nyoman Gunarsa, Klungkung, Selasa (5/1) kemarin serangkaian penganugerahan Pers K. Nadha Nugraha. Dalam sarasehan terungkap mengenai pentingnya upaya reinterpretasi museum agar kehadirannya tetap eksis dalam dinamika zaman. Pihak pengelola museum juga dituntut menonjolkan keunikan koleksi dan fisik, selain memperhatikan masalah kuratorial dan restorasi.
Pada sarasehan kemarin dihadirkan dua narasumber yakni Pande Wayan Suteja Neka, pemilik museum Neka, Ubud, dan Dekan Fakultas Sastra Unud, Prof.Dr. I Wayan Ardika, M.A.
Acara berlangsung dengan hangat dengan moderator Wayan Kun Adnyana, seniman yang juga dosen Seni Rupa ISI Denpasar.
Suteja Neka memaparkan topik “Untuk Apa Museum Dibangun?”, sedangkan Ardika mengulas museum sebagai pembentuk karakter bangsa.
Dalam sesi diskusi, budayawan Prof. Dr. Made Bandem yang hadir dalam kesempatan itu mengomentari masalah pengelolaan museum yang dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, pentingnya upaya reinterpretasi, kedua soal keunikan koleksi dan fisik, dan ketiga tentang kuratorial dan restorasi.
“Masyarakat saat ini masih menganggap museum sebagai gudang barang-barang antik dan kuno, sehingga kebanyakan orang masih memilih datang ke galeri untuk menikmati karya seni. Karenanya, manajerial museum sangat penting untuk menghidupkan kembali koleksi yang dimiliki,” papar mantan Rektor ISI Yogyakarta tersebut.
Karenanya, Bandem menganggap upaya reinterpretasi sebagai kebutuhan mutlak bagi pengelola museum. Hal ini, kata dia, bisa dilakukan dengan mengadakan diskusi secara berkala sehingga berkesempatan menjelaskan kembali soal koleksi yang dimiliki museum tersebut. Selanjutnya, untuk menarik perhatian masyarakat penonjolan keunikan museum dengan ikon tertentu juga sangat dibutuhkan. Dicontohkan Bandem, dengan lukisan “Monalisa” karya Leonardo da Vinci yang telah menjadi ikon dari museum di Eropa. Kendati koleksi lain di museum itu sama bernilai, karya itu menjadi daya tarik untuk kedatangan para pengunjung. Sedangkan soal koratorial dan restorasi akan menjaga kesegaran koleksi museum. Seperti museum yang punya banyak koleksi hendaknya bisa menyajikan koleksinya secara bergiliran sehingga memberikan kesan yang baru.
Sebelumnya, Prof. Ardika juga menekankan pentingnya unsur kebaruan dalam sebuah museum kendati koleksinya benda-benda masa lampau. “Untuk pengembangan museum, mesti memperhatikan perkembangan masa kini, diikuti oleh penataan yang menarik, serta diperlukan pemanfaatan informasi teknologi,” papar Ardika.
Benda-benda koleksi museum juga perlu dirawat dengan penataan menarik.
Terkait kunjungan generasi muda ke museum, Ardika mengharapkan dilakukan rekayasa budaya dengan mengagendakan kedatangan pelajar ke museum secara berkala.
Museum sama dengan masa lalu yang sangat penting sebagai cermin atau refleksi di kehidupan masa sekarang. Diibaratkan masa lalu tersebut sebagai akar yang tidak boleh dilupakan dengan fungsi penting yang dimiliki dalam kelangsungan kehidupan dan sebagai jati diri bangsa.
Salah seorang pelajar yang hadir dalam sarasehan, Novi, sempat mengungkapkan pesimismenya dengan harapan kunjungan generasi muda ke museum. Pasalnya, untuk mendapatkan informasi apa pun sangat mudah diakses melalui internet tanpa mesti berkeringat turun ke lapangan. Hal ini segera ditanggapi Ardika sebagai suatu tantangan bagi pengelola museum agar bisa semakin dicintai masyarakat khususnya generasi muda.
Sedangkan Pande Wayan Suteja Neka banyak memaparkan pengalamannya dalam mengelola museum yang mengoleksi lukisan karya seniman yang terinspirasi dengan budaya Bali. Selain lukisan, Neka juga mengoleksi keris sebagai pusaka bangsa yang diakui UNESCO. (tap)