Category: Tutur Figur

Makna Simbolis dan Strategis Peresmian Museum Kepresidenan

Oleh : Putu Supadma Rudana*)

Berselang dua hari sebelum berakhir masa jabatannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meresmikan Museum Kepresidenan Balai Kirti, bertempat di lingkungan Istana Bogor, Jawa Barat. Acara yang berlangsung pada tanggal 18 Oktober 2014 tersebut nyaris tanpa pemberitaan yang luas di tengah riuhnya euforia media massa menjelang pelantikan Presiden Indonesia terpilih Ir Joko Widodo. Kendati seluruh perhatian terpusat pada detik-detik menjelang pelantikan Jokowi, namun sesungguhnya peristiwa peresmian Museum Kepresidenan adalah sebuah momentum penting dalam sejarah Indonesia.

Peresmian museum Balai Kirti boleh dikata merupakan perwujudan gagasan Presiden SBY yang sedari tahun 2012 memang telah dicanangkannya. Dalam kesempatan menyampaikan sambutan pada acara peresmian, Bapak Presiden SBY menegaskan bahwa kehadiran museum ini bukan hanya diperuntukkan bagi enam presiden pendahulu Negara Republik Indonesia ini, melainkan juga bagi presiden-presiden mendatang.

Gagasan luhur tersebut menunjukkan Pak SBY adalah seorang negarawan yang visioner, menyadari bahwa memuliakan sejarah bermakna melanggengkan nilai-nilai kesejatian bangsa ini, yang diharapkan terangkum sebagai way of life, dan terwariskan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu, jelaslah bukan satu kebetulan bila museum Balai Kirti ini justru diresmikan di penghujung masa kepemimpinannya.

Selama kurun waktu 10 tahun menjadi Presiden Republik Indonesia, kita juga dapat menyaksikan bagaimana tingginya perhatian Pak SBY terhadap pelestarian, pengembangan dan kemajuan seni budaya di tanah air. Sebagai seorang prajurit yang telah bertugas di berbagai wilayah di nusantara ini, Beliau tentulah meresapi bagaimana Indonesia begitu kaya akan adat istiadat serta kehidupan kulturalnya. Ya, memang negara Indonesia yang kita cintai ini memiliki anugerah kekayaan yang luar biasa. Letaknya sangat strategis, di antara dua benua, Australia dan Asia, serta dua samudera, yakni Pasifik dan Hindia. Wilayahnya begitu luas, terdiri dari 17.504 pulau, berukuran besar dan kecil, terentang dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau We sampai Pulau Rote.

Berangkat dari kesadaran akan kekayaan kultural nusantara tersebut, Pak SBY menilai museum memiliki peran yang terbilang strategis sekaligus simbolis. Tidak seperti yang selama ini dibayangkan oleh sebagian masyarakat awam, museum terbukti dapat difungsikan sebagai laboratorium kebudayaan atau semacam center of excellence, di mana para ahli, pakar aneka bidang dan juga generasi muda dapat mengembangkan ide-ide kreatif dan gagasan-gagasan cerdasnya berdasarkan suatu telaah yang lebih mendalam terhadap apa yang telah dicapai para leluhur melalui karya-karya berupa apapun yang tersimpan di dalam museum, sehingga menghasilkan kreasi-kreasi inovatif yang bermanfaat bagi pembangunan, baik itu tataran filosofis maupun praksis.

Mengukuhkan Kebudayaan, Meneguhkan Nilai Kebangsaan

Secara pribadi, sebagai seseorang yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan museum, serta kini dipercaya sebagai Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Pusat, saya merasa berbahagia dan menaruh hormat setingginya kepada Pak SBY yang memposisikan keberadaan museum sedemikian mulianya. Sebagai kepala negara dan pemerintahan, di akhir-akhir masa kepemimpinannya, beliau justru tidak berusaha membangun citra keagungannya dengan meresmikan proyek-proyek mercusuar berupa bangunan-bangunan spektakuler atau jembatan-jembatan megah, melainkan sebuah Museum.

Sejalan dengan itu, AMI sebagai satu-satunya organisasi mitra pemerintah dalam bidang permuseuman, hingga kini menaungi lebih dari 400 museum se-Nusantara serta 18 Asosiasi Museum Indonesia Daerah (AMIDA) yang tersebar di seluruh Indonesia. Selama ini pula, menjalankan amanat dan kepercayaan keluarga besar museum Indonesia, saya telah melakukan kunjungan serta silahturahami ke berbagai museum di tanah air, baik yang dikelola swasta maupun negeri. Kunjungan tersebut kian menyadarkan saya bahwa kehadiran museum di tengah masyarakat bukan semata sebagai tempat menyimpan dan menjaga warisan budaya nusantara, namun lebih jauh lagi yaitu untuk merawat memori kultural bangsa ini. Melalui museum beserta koleksi berharganya, kita dapat mempelajari keadiluhungan masa silam seraya berupaya menyikapi dan memaknai nilai-nilai di dalam memorabilia tersebut sebagai inspirasi guna mengembangkan daya kreatif bangsa ini.

Program dan agenda-agenda kegiatan AMI sesungguhnya memang bermuara pada satu sasaran utama, yakni Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa (Nation and Character Building) menuju terwujudnya masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita para founding father. Kegiatan-kegiatan dimaksud, baik berupa pameran, dialog, penerbitan atau pertunjukan, dilaksanakan secara berkala dan berkelanjutan, mengundang budayawan, tokoh dan pakar berbagai bidang yang memiliki perhatian pada kemajuan kebudayaan dan pendidikan di Indonesia. Melalui kegiatan yang mentradisi tersebut, diharapkan tersemai gagasan-gagasan bernas, cerdas dan visioner serta mencerahkan, sebagaimana yang diharapkan Pak SBY sewaktu meresmikan Museum Kepresidenan.

Jelaslah pendirian dan peresmian Museum Kepresidenan tersebut bukan semata bermakna simbolis yang mencerminkan visi kenegarawanan seorang Presiden, melainkan juga merefleksikan pengharapan Pak SBY selama ini, yakni hendaknya kehidupan perpolitikan di tanah air didasari oleh etika politik yang bersih, cerdas dan menjunjung nilai-nilai kebangsaan, yang nasionalis sekaligus dipenuhi suasana kebersamaan serta toleransi. Inilah politik yang berbudaya, yang tak semata-mata hanya berlomba berebut dan melanggengkan kekuasaan, akan tetapi berjuang bersama-sama dengan mengedepankan panggilan pengabdian demi Indonesia.

*)Ketua Departemen Kebudayaan dan Pariwisata DPP Partai Demokrat dan Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia

Sumber : website Partai Demokrat

Putu : Museum Merupakan Kekayaan Bangsa

Kaganga.com, Palembang- Museum bukanlah hanya sebuah gedung, melainkan kekayaan bangsa. Hal ini diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia (AMI), Putu Supadma Rudana saat diwawancarai saat menghadiri pameran senjata tradisional, Museum Balaputra Dewa Palembang, Rabu (21/10).

Putu mengatakan, pihaknya menginginkan adanya sinergi dengan semua pihak, baik pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah untuk memuliakan museum. “Hal ini dikarenakan museum merupakan rumah tertinggi daripada kebudayaan, rumah abadi peradaban dan merupakan kekayaan bangsa. Jadi museum bukan sekedar bangunan saja,” katanya.

Alasan museum merupakan kekayaan bangsa karena apa yang ada didalam museum merupakan kekayaan bangsa yang nilainya melebihi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. “Nilanya melebihi Triliunan Dollar atau apapun itu,” ujar Putu.

Putu mengungkapkan, untuk itulah dirinya berharap agar Pemerintah Indonesia termasuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Selatan (Sumsel) dapat memuliakan museum dengan memperhatikan Sumber Daya Manusia (SDM)-nya yang selama ini merasa dipinggirkan dan anggarannya dibesarkan karena selama ini masih kecil. “Selain itu juga dibuatkan Undang-Undang yang mengatur permuseuman,” ungkapnya.

Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Putu Supadma Rudana juga menyatakan bahwa Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) diminta untuk melakukan pemekaran Asosiasi Museum Indonesia Daerah (AMIDA) Sumsel.

“Kita mengusulkan agar Sumsel melakukan pemekaran AMIDA Sumsel karena saat ini museum yang ada di Sumsel telah mencukupi dan itu merupakan salah satu pertimbangan untuk melakukan pemekaran,” katanya saat diwawancarai seusai menghadiri acara pameran “Senjata Tradisional Sumatera” yang berlangsung di Auditorium Museum Negeri Sumsel Balaputra Dewa, Palembang.

Saat ini Provinsi Sumsel masih tergabung dalam AMIDA bagian selatan. “Saya rasa pemekaran untuk AMIDA Sumsel akan terlaksana dalam waktu yang tidak lama lagi. Sebab perkembangan museum di sumsel berkembang cepat dan juga jumlahnya sudah cukup banyak yaitu lebih dari 5 museum,” ujar Putu.

Putu mengungkapkan, saat ini untuk AMI memiliki lebih dari 18 AMIDA baik dari aceh hingga papua. “jika sumsel telah mekar maka AMI akan memiliki 19 AMIDA,” ungkapnya.

Untuk diketahui, pameran “Senjata Tradisional Sumatera” yang berlangsung di Auditorium Museum Negeri Sumsel Balaputra Dewa, Palembang ini berlangsung dari 21-26 Oktober 2015 dan diikuti 9 museum yang ada di pulau sumatera yaitu Museum Negeri Aceh, Museum Negeri Sumatera Utara, Museum Negeri Sumatera Barat, Museum Negeri Riau, Museum Negeri Jambi, Museum Negeri Bengkulu, Museum Negeri Sumsel, Museum Negeri Lampung, dan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang.

Author : Ambar Wai
Editor : Gaara Nasution

Sumber : Kaganga.com, 21 Oktober 2015

Melalui AMI, Memuliakan Kebudayaan dan Nilai-Nilai Luhur Bangsa

NEGERI ini patut bersyukur dikaruniai warisan budaya nan luhur, begitulah ungkap Putu Supadma Rudana (38) sembari mengawali wawancara dengan JournalBali.com, di tengah lalu lintas Jakarta yang petang itu di luar kebiasaan terasa lebih lengang. Mobil kami melaju melintasi Monumen Nasional, Gambir dan seputarnya, sebelum tiba di salah satu sisi Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki di bilangan Cikini, guna melanjutkan percakapan terkait terpilihnya Putu Rudana sebagai Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia (AMI) belum lama ini di Bandar Lampung, tepatnya tanggal 27 Juni 2012 lalu.

“Setiap kali melewati Monas dengan tugu kebanggaan kita yang menjulang tinggi itu, ada rasa haru dan juga sebentuk tekad saya untuk memuliakan nilai-nilai warisan budaya sebagai bagian dari upaya kita guna mewujudkannya menjadi kepribadian dan pekerti bangsa atau nation and character building,” tuturnya kali ini dengan nada yang tenang dan mendalam. Bagaimana pandangan Putu Rudana, President The Rudana yang menaungi Yayasan Seni Rudana, Museum Rudana dan Pusat Penelitian, Pengkajian dan Dokumentasi Budaya DESTAR, yang baru-baru ini meluncurkan buku Bali Inspires dan sebelumnya buku Menuju Visi Sempurna, Seni Budaya Sebagai Jiwa Bangsa, perihal persoalan-persoalan budaya dan problematik kehidupan kekinian kita? Simak dialog lebih jauh ini.

Putu Rudana Supadma bersama Fajar Arcana (Redaktur KOMPAS) dan Radhar Panca Dahana seusai acara Dialog Budaya. (foto:dok.Destar)
Putu Rudana Supadma bersama Fajar Arcana (Redaktur KOMPAS) dan Radhar Panca Dahana seusai acara Dialog Budaya. (foto:dok.Destar)

 

Apa makna rumah bagi kehidupan Anda? Bagaimana konsep dan latar filosofinya?

Rumah bukanlah semata untuk singgah, berteduh, ataupun tempat tinggal, melainkan juga ruang bagi kebersamaan kita demi mengisi serta mengolah diri. Dalam berbagai kebudayaan, kita mengenal konsep keharmonian yang berlandaskan penghormatan kepada Tuhan, sesama manusia serta alam lingkungan. Di Bali, nilai-nilai keharmonian yang dijunjung tinggi tersebut berlandaskan pada falsafah Tri Hita Karana, yang penerapannya dalam tata kelola ruang dan lingkungan, termasuk rumah di dalamnya, disebut sebagai asta kosala-kosali. Dengan berpedoman pada acuan ini, sebuah rumah tentulah dibangun tidak semata mempertimbangkan keelokan dan keindahan yang kasat mata atau sekala, akan tetapi diharapkan juga memberikan keteduhan yang menentramkan hati secara spiritual atau niskala.

Di sisi lain, bagi saya pribadi, rumah juga memiliki nilai-nilai yang luhur, di mana di dalamnya terkandung semangat kekeluargaan, kebersamaan serta kemuliaan ketulusan. Berbagai interaksi yang hangat dan penuh persahabatan terjalin di sana, sehingga menciptakan keselarasan sekaligus kebahagiaan bagi hari-hari kita di masa kini maupun nanti.

Indonesia pada dasarnya, menurut saya, adalah sebuah rumah, tepatnya Rumah Budaya, yang menaungi hasil olah cipta dan warisan luhur budaya suku-suku bangsa yang bermukim di Nusantara. Menimbang hal tersebut, merupakan suatu tantangan tersendiri bagi kita untuk menjaga keselarasan, tenggang rasa dan toleransi di tengah keberagaman kekayaan kultural negeri ini. Dengan demikian, konsep Rumah Bangsa sebagai Rumah Budaya, layak diimplementasikan dan diwujudkan sekaligus menjadi ruang kebersamaan kita.

Terkait hal itulah, saya melihat museum memiliki peran simbolis sekaligus strategis sebagai upaya kita membangun Rumah Budaya. Tidak sebagaimana yang dibayangkan oleh sebagian besar masyarakat, museum terbukti dapat difungsikan juga sebagai laboratorium kebudayaan, di mana para ahli, pakar aneka bidang dan generasi muda dapat mengembangkan ide-ide kreatif serta gagasan-gagasan cerdasnya berdasarkan suatu telaah yang lebih mendalam terhadap apa yang telah dicapai oleh para leluhur melalui karya-karya berupa apapun yang tersimpan di dalamnya. Dengan demikian, museum juga dapat menjadi suatu Rumah Budaya, yang tidak semata menghadirkan karya-karya para maestro, namun juga turut berperan dalam apresiasi atas capaian seni, sekaligus media edukasi bagi semua pihak.

Jawaban Anda menarik, terutama terkait hubungan museum dengan Rumah Budaya. Bagaimana penjelasan lebih jauh mengenai hal ini?

Ya, saya memiliki cita-cita untuk menjadikan museum sebagai Rumah Budaya yang menaungi beragam wujud seni-budaya, baik hasil cipta para maestro tradisi maupun kreasi seniman-seniman modern, termasuk mereka yang telah lama berkiprah maupun yang tengah meneguhkan eksistensinya. Caranya ialah dengan menghadirkan aneka program yang tidak hanya kreatif dan inovatif, namun juga mengedepankan sisi apresiatif yang mendorong tumbuhnya kehidupan kultural yang lebih dinamis dan berkesinambungan.

Perlu diingat, peran museum, terlebih di era kompetisi global seperti sekarang ini, sungguh sangat strategis. Saya kira adalah suatu yang tidak berlebihan bila dalam Diskusi dan Komunikasi Museum se-Indonesia serta Musyawarah Asosiasi Museum Indonesia beberapa waktu lalu, mengemuka suatu dialog tentang layaknya menjadikan museum beserta organisasi pengelolanya menjadi semacam center of excellence. Yakni, semacam laboratorium yang memungkinkan para ahli dalam melakukan suatu kajian dan program akademis secara tepat guna, untuk mengembangkan pemikiran atau menghasilkan kreasi-kreasi inovatif yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa, baik itu tataran filosofis maupun tataran praksis.

Putu Rudana memaparkan koleksi Museum Rudana kepada para Ibu Negara serangkaian Spouse Program KTT ASEAN 2011.(foto:dok.DESTAR)
Putu Rudana memaparkan koleksi Museum Rudana kepada para Ibu Negara serangkaian Spouse Program KTT ASEAN 2011.(foto:dok.DESTAR)

Sebagaimana juga apresiasi masyarakat dan pemerintah di mancanegara terhadap keberadaan museum, seyogyanya kita melakukan upaya-upaya terpadu dan terkoordinasi untuk mendorong peningkatan profesionalisme di kalangan pekerja dan pengelola lembaga ini. Belajar dari luar, terlihat benar bahwa tumbuhnya apresiasi dan penghargaan publik selalu sejalan dengan capaian pihak museum untuk meningkatkan pengelolaan dan fasilitasnya serta penyempurnaan koleksinya dengan dukungan segala data berikut fakta-fakta sejarah yang teruji. Kita perlu melakukan sinergitas yang melibatkan segenap stakeholder guna melakukan pembenahan menyeluruh, terlebih mengingat museum dalam perannya sebagai Rumah Budaya merupakan salah satu sarana pembangunan karakter dan pekerti bangsa (nation and character building).

Bagaimana dengan Museum Rudana sebagai Rumah Budaya? Apa wujud kegiatannya?

Museum Rudana, sedini kehadirannya, telah tampil mewujudkan berbagai peristiwa kesenian dan kebudayaan, yang bukan hanya mengapresiasi capaian kreatif pribadi-pribadi seniman modern maupun kontemporer yang piawai, namun juga seniman-seniman tradisi yang mumpuni. Setiap acara yang diselenggarakan dirancang melalui pertimbangan dan tahapan yang mengacu pada apa yang disebut sekala dan niskala. Pertimbangan sekala tercerminkan pada tema utama, bentuk kegiatan serta pilihan wujud artistik, berikut hal-hal teknis terkait lainnya. Sedangkan yang niskala adalah nilai-nilai filosofi yang mengacu pada kearifan lokal, akar tradisi dan juga nilai-nilai luhur lainnya. Maka dari itu, Museum Rudana beserta aktivitas seni budayanya selama ini, dapat dimaknai sebagai sebuah ‘ritual’ persembahan kepada Yang Maha Indah.

Sehubungan visi tersebut, Museum Rudana telah berulang mengadakan event-event seni budaya. Kesemuanya menegaskan bahwa museum juga dapat menjadi wadah aktivitas yang turut menggelorakan upaya-upaya pencapaian seni yang bersemangat kekinian tanpa harus tercerabut dari akar kultur warisan para leluhur. Misalnya melalui pameran seni rupa karya para maestro seperti Srihadi Soedarsono, Gusti Nyoman Lempad, Made Wianta, Nyoman Gunarsa, Wayan Bendi, Made Djirna, Ida Bagus Indra, Nyoman Erawan, serta lain sebagainya. Di samping itu, dilangsungkan pula diskusi-diskusi kultural dengan aneka topik yang kontekstual. Bahkan kami pun menggelar perhelatan seni budaya yang berupaya menawarkan interpretasi atas nilai-nilai warisan kultural tradisi, sebagaimana tercermin dalam Pagelaran Seni Budaya JOGED, hingga lomba esai populer bagi para pelajar bertema ‘Harapan Masyarakat Terhadap Pemimpin Masa Depan Indonesia’.

Secara khusus kami juga menciptakan sebuah Prosesi Tari Angkus Prana yang menghadirkan nuansa yang reflektif meditatif, di mana setiap unsur hadir membangun suatu rangkaian yang utuh dan padu serta menyarankan bentuk-bentuk simbolis tertentu. Sebuah kolaborasi kreatif Suara, Rupa dan Kata bertajuk Panca Tan Matra juga kami persembahkan pada tahun 2010, menghadirkan musisi dunia asal Brazil Toninho Horta, Dwiki Dharmawan, Nyoman Windha, koreografer Nyoman Sura serta penyair Warih Wisatsana.

Perlu ditambahkan pula, bahwa berbagai program yang telah dilaksanakan tersebut, pada hakikatnya adalah refleksi lebih jauh atau alih kreasi lebih mendalam dari peristiwa seni dan budaya yang diselenggarakan oleh Yayasan Seni Rudana sebelumnya, yaitu Pameran Modern Indonesia Masters (2007), Sinergi Seni Membangun Indonesia (2008), Tri Sakti (2008), serta lain sebagainya.

Putu Rudana bersalaman dengan mantan ketua umum AMI, Retno Sulistyaningsih. (foto.dok.DESTAR)
Putu Rudana bersalaman dengan mantan ketua umum AMI, Retno Sulistyaningsih. (foto.dok.DESTAR)

Selamat Anda telah terpilih menjadi Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia dalam usia yang relatif muda. Bagaimana perkembangan museum di Tanah Air belakangan ini, dan apa program visioner Anda?

Terimakasih apresiasinya. Ini merupakan panggilan dan kepercayaan. Saya ingin mendorong lahirnya suatu kepedulian masyarakat terhadap warisan luhur budaya bangsa melalui museum.

Sebab melalui museum, beserta koleksi adiluhungnya, kita dapat mempelajari keagungan masa silam seraya menggagas kemungkinan masa depan tanpa lalai atau abai pada upaya menyikapi dan memaknai kekinian secara lebih kreatif. Bila hal ini telah tercapai, saya berkeyakinan, kita akan mampu mewujudkan semangat Seni-Budaya sebagai Jiwa Bangsa, yang menaungi dan meneduhkan seluruh sisi kehidupan kita.

Untuk itulah, AMI mencanangkan program-program yang mengacu pada pendidikan dan kebudayaan terkait keberadaan museum yang dikontekstualisasikan dengan permasalahan-permasalahan terkini di Indonesia. Adapun pilihan kegiatannya diupayakan merangkum berbagai persoalan yang bersifat esensial, struktural dan kontekstual, termasuk di dalamnya mensinergikan bidang pendidikan dan kebudayaan berikut bidang-bidang lainnya.

Tujuan akhir serta sasaran utama dari setiap program tidak lain ialah Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa (Nation and Character Building), menuju terwujudnya masyarakat adil dan makmur, sesuai cita-cita para founding father. Kegiatan-kegiatan dimaksud, baik berupa pameran, dialog, penerbitan atau pertunjukan, dilaksanakan secara berkala dan berkelanjutan, mengundang budayawan, tokoh dan pakar berbagai bidang yang memiliki perhatian pada kemajuan kebudayaan dan pendidikan di Indonesia. Melalui acara yang mentradisi tersebut, diharapkan tersemai gagasan-gagasan bernas, cerdas, dan visioner serta mencerahkan, sehingga melahirkan agenda-agenda aksi yang terarah, terukur dan terpadu.

Selain itu, sebagai wujud apresiasi terhadap Seni Budaya bangsa, AMI juga mengadakan dokumentasi atas berbagai wujud kultural Nusantara demi melestarikan dan mengenalkan kembali bentuk-bentuk capaian para pendahulu negeri ini, termasuk nilai-nilai luhur atau kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Kami berharap melalui program ini para pakar berbagai bidang, akademisi, serta generasi muda dapat mengkajinya secara lebih tajam sekaligus mendalam, sehingga dapat diimplementasikan bagi penataan maupun perkembangan kebudayaan di masa mendatang.

Kita tentu merasa tergugah atas kondisi museum-museum yang kurang mendapat perhatian. Karenanya, usaha-usaha revitalisasi permuseuman pun menjadi skala prioritas AMI, didukung dengan penetapan program kerja yang disusun dalam tiga termin, yakni dalam jangka pendek, jangka panjang serta beragam agenda berkala lainnya, yang masing-masing dimaksudkan sebagai ruang apresiasi atas jalan capaian serta prestasi dari para seniman maupun budayawan yang sumbangsih dan dedikasinya telah teruji. Dengan demikian, agenda-agenda ini merupakan kesatuan tahapan komprehensif dengan mengedepankan sisi-sisi edukatif dan apresiatif, sebagaimana diwujudkan melalui serangkaian aktivitas diskusi, sarasehan, menampilkan para pakar berbagai bidang yang memiliki intensitas perhatian di bidang pendidikan dan kebudayaan.

Kami juga menyadari bahwa tentu ada banyak pihak yang sejatinya peduli dengan kondisi permuseuman Indonesia. Untuk itu, AMI juga akan menggelar program diskusi Museum Mendengar, bertujuan menjaring gagasan-gagasan kreatif serta pandangan-pandangan kritis dari masyarakat yang dapat dielaborasi menjadi sumbang-saran bagi pembenahan dan revitalisasi museum.

Mengawali program tersebut, Museum Rudana telah menggelar dialog Pesamuan Budaya, dengan tajuk ‘Budaya Politik dan Masa Depan Ke-Indonesia-an Kita’, menghadirkan pembicara budayawan Romo Mudji Sutrisno, budayawan Radhar Panca Dahana serta Fajar Arcana selaku Redaktur KOMPAS.

Menarik program Anda untuk melakukan Pesamuan Budaya dengan topik Budaya Politik dan Masa Depan Keindonesiaan Kita. Bisakah diterangkan lebih jauh?

Ya, Pesamuan Budaya merupakan agenda berkala dari Yayasan Seni Rudana serta Pusat Penelitian, Pengkajian dan Dokumentasi Budaya DESTAR. Sebagai sebuah lembaga kebudayaan yang berupaya berkontribusi bagi pengembangan kehidupan kultural bangsa berikut pelestarian sekaligus eksplorasi atas berbagai ragam seni Nusantara, DESTAR telah menggelar dua agenda dialog yang membahas dua topik berbeda, yakni ‘Kebudayaan Bali dalam Tantangan Kepariwisataan Global’ dengan pembicara Mantan Menparpostel Joop Ave serta Prof. Wiendu Nuryanti, M.Arch., Ph.D (STUPPA Indonesia). Seri-seri diskusi lainnya turut pula digelar, mengulas problematik-problematik kepariwisataan berikut strategi kebudayaan yang patut diperjuangkan secara menyeluruh.

Adapun Pesamuan Budaya bertajuk ‘Budaya Politik dan Masa Depan Ke-Indonesia-an Kita’ tersebut digagas dan diselenggarakan dengan maksud serupa, secara khusus membahas tantangan serta peluang bangsa Indonesia dalam menghadapi aneka persoalan kekinian, mulai dari politik, sosial, kebudayaan serta perihal merosotnya mentalitas anak bangsa yang tercermin dari kian mengemukanya kasus-kasus korupsi, kolusi dan nepotisme berikut terabaikannya etika-etika kesantunan di berbagai bidang kehidupan.

Itulah sebabnya kegiatan ini juga didedikasikan bagi kemajuan kebudayaan serta kehidupan berbangsa yang lebih demokratis, humanis, dengan menjunjung penghormatan akan keberagaman atau kebhinnekaan. Topik tersebut juga selaras dengan upaya membangun budaya politik yang lebih sehat dan produktif. Saya berkeyakinan, bila sungguh memahami serta menghayati nilai-nilai kultural luhur bangsa, seorang politisi ataupun pejabat manapun dapat menjadi sosok negarawan, yang senantiasa memuliakan ketulusan dalam mengabdi demi kemajuan bangsa, melalui penerapan tatanan kebijakan yang tepat bagi seluruh rakyat. Di sisi lain, menurut saya pribadi, dialog ini merupakan sebuah upaya kontemplasi yang bersifat reflektif sekaligus sebentuk sumbang saran dari The Rudana untuk kehidupan kebudayaan dan kebangsaan kita yang lebih mulia. (Madepur/JB)

Sumber : www.journalbali.com

Mewujudkan Politik yang Berbudaya

Oleh: Putu Supadma Rudana, MBA*)

Tuhan Yang Maha Esa telah berkenan melimpahkan karunia tak terhingga ke tanah air tercinta ini. Bukan hanya panorama pegunungan, pantai dan lembahnya yang jelita, namun di dalamnya terkandung pula sumber daya alam yang nilainya sungguh tak terbilang. Belum lagi berbagai suku bangsa yang mendiaminya, dengan adat-istiadat, bahasa, agama, serta hasil-hasil kebudayaan dan keseniannya yang beraneka, yang masing-masing kaya akan warna dan dinamika. Semuanya terhampar dalam jalinan kebersamaan: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, Indonesia.

Menimbang keanekaragaman suku yang mendiami wilayah nusantara beserta kekayaan adat dan budayanya, saya meyakini bahwa jiwa bangsa ini pada hakikatnya bersumber dari seni budayanya yang telah tumbuh berkembang melampaui abad demi abad tak terbayangkan. Dalam suatu kesempatan berkunjung ke Monas (Monumen Nasional) Jakarta, saya berkesempatan untuk menyaksikan perjalanan bangsa ini melalui diorama serta berbagai peninggalan dan dokumen sejarah yang menunjukkan kesejatian negeri ini. Saya menyaksikan juga teks proklamasi yang asli dan berfoto di sana. Terlintas dalam pikiran bahwa kita memang telah merdeka sebagai negara yang berdaulat. Namun, sebagai bangsa tampaknya kita juga perlu menggaungkan kemerdekaan dan kekayaan kebudayaan kita, yang dengan itu terbuka peluang untuk memberi inspirasi bagi bangsa-bangsa lain di dunia tentang pentingnya seni budaya sebagai pemersatu umat manusia dalam perdamaian yang penuh saling pengertian.

Saya juga berkunjung ke Museum Nasional di Jakarta, menyaksikan beragam karya-karya seni dari para maestro bangsa yang sarat dengan keindahan berikut kedalaman makna yang luar biasa. Di sana disimpan pula peninggalan dan warisan-warisan para leluhur bangsa di antaranya prasasti, gerabah, keramik, lampu hias, meriam dan lain sebagainya. Kesemuanya bukan semata karya bangsa Indonesia, melainkan juga buah cipta dari luar negeri, seperti Belanda, Inggris, Jerman, Cina dan Jepang.

Melalui ziarah pada sejarah luhur bangsa kita itulah, terbersit renungan perihal pentingnya mengedepankan suatu perilaku politik yang berbudaya. Hal ini mengemuka justru karena kita menyaksikan fenomena belakangan ini, di mana kehidupan politik seakan-akan tak berjarak dengan berbagai intrik. Seolah-olah perilaku yang jauh dari kesantunan dan etika adalah keniscayaan dunia politik, di mana kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok mengabaikan kepentingan bersama sebagai bangsa.

Politik yang berbudaya, jelaslah memang pilihan dan tujuan dari pendirian Partai Demokrat, di mana para kadernya didorong untuk beretika politik yang bersih, cerdas dan santun, menjunjung nilai-nilai kebangsaan dan nasionalis sekaligus religius. Bagaimanakah hal itu dapat dicapai? Upaya pengkaderan macam apa yang layak dirancang dan diprogramkan guna mewujudkan perilaku politik yang beretika seperti itu?

Pertama-tama patut ditanamkan suatu kesadaran bahwa politik yang hendak kita perjuangkan bukanlah semata politik kekuasaan melainkan suatu politik yang mengedepankan panggilan pengabdian demi kesejahteraan masyarakat luas. Dengan demikian, nilai-nilai luhur warisan budaya bangsa ini dapat diimplementasikan dalam perilaku keseharian serta menjadi acuan bagi pengambil keputusan dan kebijakan. Di sisi lain, politik yang berbudaya juga mensyaratkan adanya masyarakat yang kritis, yang melihat perbedaan pandangan serta perdebatan wacana antarpartai sebagai suatu kewajaran demokrasi.

Dialektika antara partai dan politikus serta masyarakat yang kritis, diyakini akan memperluas medan kesadaran baru dalam berbangsa dan bernegara, yang menjadikan era keterbukaan ini sebagai hal yang produktif, bukan semata pertikaian dan luapan kebencian lantaran berbeda ideologi atau pandangan. Bila ini berlangsung dalam suatu proses yang berkelanjutan, jelaslah demokrasi kita tidak akan terjebak pada sekadar prosedural, melainkan sungguh-sungguh mewarnai kehidupan keseharian sosial politik negeri ini. Terbuka peluang, melalui serangkaian tahapan dan proses itu, para politikus bermetamorfosis menjadi para negarawan.

Terlebih lagi, bila kita sedia mengkaji tentang adanya kenyataan bahwa Indonesia adalah sebuah republik yang masyarakatnya majemuk, multietnis dan multikultur, serta tengah menghadapi dinamika percepatan perubahan sebagai akibat hadirnya nilai-nilai global, buah dari kemajuan teknologi informatika yang nan canggih itu. Di samping itu, Indonesia yang memiliki letak yang strategis antara dua benua, Asia dan Australia, serta dua samudera, Hindia dan Pasifik, menghadapi tantangan ke depan yang memerlukan suatu pola penanganan yang holistik berlandaskan kerja sama semua pihak tanpa terkecuali. Upaya mengatasi problematik bangsa ini, memang bukan hanya tugas Presiden sebagai eksekutif beserta jajaran pemerintahnya, akan tetapi juga merupakan tanggung jawab anggota legislatif, yudikatif dan, terkait di dalamnya, para profesional aneka bidang, serta para pelaku politik yang berbudaya.

Peran Museum

Guna membangun politik yang berbudaya tersebut, tak dapat diabaikan peran museum yang sesungguhnya terbilang strategis. Tidak seperti yang selama ini dibayangkan oleh sebagian masyarakat awam, museum terbukti dapat difungsikan sebagai laboratorium kebudayaan, di mana para ahli, pakar aneka bidang dan juga generasi muda dapat mengembangkan ide-ide kreatif dan gagasan-gagasan cerdasnya berdasarkan suatu telaah yang lebih mendalam terhadap apa yang telah dicapai para leluhur melalui karya-karya berupa apapun yang tersimpan di dalam museum. Saya kira adalah suatu yang tidak berlebihan bila kita berupaya menjadikan museum beserta organisasi pengelolanya menjadi semacam center of excellence. Yakni, semacam laboratorium yang memungkinkan para ahli untuk melakukan suatu kajian dan program akademis secara tepat guna dan tepat makna, guna mengembangkan pemikiran atau menghasilkan kreasi-kreasi inovatif yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa, baik itu tataran filosofis maupun tataran praksis. Masing-masing selayaknya terpanggil untuk mengadakan pembenahan menyeluruh serta pencanangan program yang saling sinergi seraya menyadari bahwa museum juga merupakan salah satu sarana pembangunan karakter dan pekerti bangsa (nation and character building).

Secara lebih fokus dan khusus, dengan menimbang bahwa museum bisa menjadi center of excellence serta laboratorium kebudayaan seperti disinggung di atas, sinergi seni tersebut patut diketengahkan dalam wujud program-program nyata yang lebih terarah dan berkelanjutan guna mendorong upaya-upaya pembentukan karakter dan watak bangsa. Sebab hanya negara yang telah menemukan jati dirinya serta kuasa mengukuhkan nation and character building-nya, berpeluang untuk unggul dalam persaingan global. Dengan demikian, sudah tidak pada tempatnya lagi di era demokratis ini untuk melakukan dikotomi antara berbagai kepentingan dan idealisme atas nama apapun. Bahkan dalam titik kesadaran tertentu, saya mencoba mewujudkan apa yang menjadi keyakinan hidup yakni the art of business in the business of art (seni berbisnis dalam bisnis seni), serta the art of excellence, atau seni kesempurnaan, di mana kita tidak puas hanya sekadar menjadi mediocre (setengah-setengah saja).

Bila politik yang berbudaya tersebut sudah mewujud dalam kenyataan demokrasi kita, maka pemilu akan berlangsung sebagai perayaan dan pesta kebersamaan, yang mengemuka adalah kegembiraan dan sportifitas serta pengakuan akan keunggulan kompetitor tanpa perlu merasa menjadi pecundang yang tak kunjung henti dari sakit hati.

*) Penulis adalah Ketua Departemen Kebudayaan dan Pariwisata DPP Partai Demokrat serta Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia (AMI)

Dimuat di situs resmi Partai Demokrat, www.demokrat.or.id pada 12 September 2012.

PUTU RUDANA Artistic Affluence

“IT HAS BEEN SUCH A BLESSING,” PUTU SUPADMA RUDANA START HIS STORY. “FROM EARLY CHILDHOOD, I HAVE BEEN IN TOUCH WITH BEAUTIFUL ARTWORKS AND HAVE GOTEN TO LEARN TO ABSORB ARTIST’ SOURCE OF INSPIRATION.”

THROUGH YEARS OF SUCH LEARNING PROCESS, PUTU IS NOW

Conditioned both visually and intuitively, to be able to categorize paintings on whether they are of solid composition, whether they are ones that will work and inspire the audience, or not. “ My senses are trained to understand that, behind an attractive painting composition, behind it facade of beauty and aesthetics, there is something more profound, such as precious values and nostalgic background that are tried to be transferred by painters to captivate the audience.”

Putu Supadma Rudana is the son of Nyoman Rudana, an art collector, founder and owner of the famed Rudana Museum and Rudana Fine Art Gallery of Ubud, in which Putu is managing director. Born in Denpasar on april 23, 1974, Putu reminisces on how he was never brought up to be a man focusing merely in business or other worldly matters. Spirituality and artistic feelings are things that he breathes on right from the minute he was born. Spent his whole childhood in Bali, Putu went to seek his master’s degree in Business Administration at Webster University of St Louis, United States, in 1998. Despite him pursuing his studies in business and his grand intentions to run his family business profitably, his love and pride in Indonesia art and culture perpetually affect his thoughts and actions.
Putu’s visions and commitments are always involving certain aspects of live he cherishes the most, which is to love and live fully and passionately, and to bring forth his beloved Baliness culture into events of international level. To achieve these goals Putu Supadma Rudana resolves to launch numerous projects over the years to promote positive and creative cultural conservations, to develop and maintain Baliness arts and culture as a significant part of the diversity and richness of the arts and culture in every other areas of Indonesia. Such activities include painting exhibitions and local or international cultural events. Putu, realizing that globalization must be addressed critically and intellectually, personally initiated the creation of a central for his causes that he named Supadma Rudana Center (SRC).

A non-profit institution since its estabilshment, SRC seeks to participate in develoving ideas based on thinking outside the box. Putu likes to encourage his team of young people to constantly think ahead to be able to create something for the common progress, all the while promoting awareness in how important it is to always respect the nation’s diversity as well as to encourage tolerance and solidarity amongst the people. Putu Rudana truly believes in the spirit of the diversity both in terms of behaviours or the social layers of Indonesia society. He thinks it is exceptionally important to erect social justice as the basis of the growing strength of the nation’s unity. SRC through its creative visionary aspires to be a centre of excellence, where any dynamic individual can get a chance to develop interests and talents towards the formation of Indonesia’s human resource excellence. Now, in addition to being chairman of the Central Executive Board (Dewan Pimpinan Pusat) Democratic Party of the Ministery of Culture and Tourism from 2010 to 2015, Putu Supadma Rudana is also appointed as one of the chairmans of AMI (Associations of Indonesian Museum), a duty for the nation that he feels most fulfilling and meaningful. Hobbies and interests in sports is golfing, while the 37-year-old man also owns a cultural interest in international travel, music and films, and an art interest in collecting fine arts paintings and antiques.

The values that his family and home-life have instilled in him are what putu believes to have built his personality. “everything my parents and my artistic environment have applied in my early life, has made an impact in me so much so that i can understand life’s meanings like i do now.” With his Baliness serene-looking features, Putu shares his opinions to HighEnd.” Culture is actually the most crucial part in encouraging humans to reach higher values, to process wisdom and to advocate nature-based learning.” With serious voice he adds, “The process from nature into an adolescent then into a grown man.” For Putu, a cultural process is one that any human has to undertake. At first instinctively, then gradually be based on one’s logic and ideas, before it is finally be in sync with one’s conscience.

As his whole life circles around museums, including his own family’s Rudana Museum, Putu shares his insight, “Whenever we go to a museum to watch and witness the magnificent creations of our predecessors, we’re actually not just learning about things seen with our eyes: be it their great artistic techniques, or their wonderful display of aesthetics,” he smiles. “We can also, and most importantly, learn about the spiritual content within each artwork, which makes the creation priceless and greatly inspiring to enrich our life and make it better.

Culture should be the much-needed push for this nation’s people, to not only appreciate properly the creations of traditional maestros, but as well as the modern-cotemporary artists’. The very values embedded in such artworks are truly significant as our base in building a national character. “As a matter of fact, in recent years, while our country is going trough so much changes caused by the fast-paced technology process, our old values tend to be doubted, taken as passe and no longer suitable for today’s mindset,” Putu claims. “Such profound values should instead be looked up to as something to touch and affect our day-to-day living.”

As an example, according to Putu Rudana, is an Indonesian person’s tendency to be easily self-conscious and embarrassed. In Putu’s opinion this actually show our modesty, as our ancestor used to teach us to hold back and never to be arrogant despite our achievements. Putu believes that if such character culture is embraced, this would prevent our countrymen’s negative traits. “I am positive this will take away our country’s worst stigmas, like corruption, collusion and nepotism.”

Putu continues, “ I am convinced that a character of quality can only be achieved through our efforts to maintain a just and fair nature. We should always be ready to sincerely congratulate other people for their achievements and winnings, and have a big enough heart to accept our losses or failures.” Taking everything as a part of internalization to further reach maturity, the man articulately insists on how he believes, in politics especially, that if there’s no touches of beauty involved it will only create mischief and malice, instead of achieving glory in togetherness.
“ MY SENSES ARE TRAINED TO UNDERSTAND THAT, BEHIND AN ATTRACTIVE PAINTING COMPOSITION, BEHIND IT FACADE OF BEAUTY AND AESTHETICS, THERE IS SOMETHING MORE PROFOUND”

By: Putri Minangsari
Sumber : HighEnd edisi Januari 2012 (www.highendmagz.com)

Mr. PUTU SUPADMA RUDANA EMBODIMENT of SINCERE DEVOTION

The Five Elements
FIRE “Have a strong passion like fire to achieve a fulfilling life”
WOOD “Be as multifungtional as wood, and thereby grown as an individual”
WIND “Be as invisible as wind and overcome any obstancles”
EARTH “Be as rich earth and let most beautiful things grow from you”
WATER “Be as flexible as water and become one with fate”

Wearing a crisp batik shirt with dark pants, sitting casually a coffee shop at Plaza Indonesia. Putu dons a welcoming and warm smile. His eyes display a deep contentment, as though he has not a hint of burdens or problems. Perhaps it is his beliefs and way of life that give him this calm disposure automatically drawing people in.

Born in denpasar on April 23rd, 1974, this talk dark skinned man runs the renowned The Rudana, is an author of two admirable books and an active politician. “ I do not work” he says with a smile. “everything i do is an act of sincere devotion and is in utmost alignment with my passion.” Putu has been surrounded by art since he was born and was always in love with it. “I feel extremely fortunate to have been born in Bali, a place so rich in heritage and culture; and most importantly, spirituality.”

Putu, who exercises regularly and enjoys golf, believes that the purpose in life is to continuously grow as a person, learn and become better on the inside. Art is a vehicle for this spiritual journey, and so it must be preserved and treasured.

His museum, The Rudana is located in a vast estate in Ubud. Overlooking beautiful rice paddy fields. Founded by his parents. Nyoman Rudana and Ni Wayan Olasthini, the museum was officiated by the then President Soeharto in 1995. It comprises of three units, namely the art gallery, the museum and the art foundation. “My father establised the museum to preserve and promote local art. For his devotion, he has won both local and international awards.” Putu exclaims proudly. The Rudana has been visited by many of the world’s most famous political figures including presidents, first wives and even royalty.

After returning from his studies in St. Louis US – he took his Bachelors’s in management and information System and double masters in Business Administration and Finance – Putu was entrusted to be the President of the Rudana.
“Having been exposed to the western culture, i was adamant to implement fresh ideas. I began to integrate activities of non fine art, but still within the realm of art, into the museum through events and exhibitions. In 2010 we organized a series of exhibitions that integrated exhibitions of paintings, drawing cartoons, jazz performances with famous musicians such as Dwiki Dharmawan and international jazz musician Toninho Horta called Panca Tan Mantra.

A synergy of yoga festival at the Museum Rudana called Angkus Prana and other art activities were organized a big art event called Bali Inspires incorporating art and cultural activities such as literature, art performances by seasoned dancers for the launch of his breathtaking book Bali Inspires.”

Bali inspires is a hardcover book on the best of Indonesia’s art. Distributed globally, it features Joop Ave as the editorial advisior. Flipping through the pages, readers will be delighted with the colorful images and many words of wisdom contained therein.

“ I would like to see Indonesia’s art to have more of a global context.” Putu explain.’ The benefits of this are multifold. Not only will we receive more appreciation, but it could also improve bilateral relationship.”

Another book that Putu has written is entitled Menuju Visi Sempurna, or translated means “moving towards perfections.” It is a book that provides enlightement and is more spiritual than anything else.

“ I believe that there are three concepts we must aspire to in order to reach the elusive perfection.” First it is Positive Character, contribute the best we can to our self and then to others. This is materialized from our day to day activities.” Secondly, it is becoming a True Democrat, it means that as an individual we become a component of our society and state and have some obligations to fulfill to this society. “The Essence of becoming a true democrat is when we, as a member of society, contribute positively to the diverse and heterogeneous society regardless of our racial, religious and political affiliation and background.”

Finally, it is the concept of the Peaceful Archipelago. According to Putu, this should be the guiding principle in the context of global and international arena. “As a citizen of the word, we at the Rudana strive to contribute to world peace with our devotion in art and culture.”

It is clear that Putu is wiser beyond his years. As seen in these pages, putu uses the symbols of Fire, Wind, Water, Earth, and Wood to showcase his character. “Fire to symbolize passion and strenght to overcome whatever life throws at is; Wind as invincibility and being able to go anywhere, water as flexibility, earth as strenght and Wood as being of multiple uses.”

His beliefs are manifested in all his activities, no matter how small. Happily married for ten years he jokes “My relatives who are teenagers, however, sometimes laugh when i try to share my words of wisdom. They say it is too heavy.”

Well, it certainly was not too heavy for us. It was pleasant and inspiring listening to Putu, who truly is the embodiment of sincere devotion.

Sumber : Registry Indonesia, Edisi Januari 2012 (www.registryindonesia.com)
Photography by : The Looop Indonesia
Jl. Jend.Sudirman Kav.52-53,Lot.14, SCBD (Bengkel Cafe Area),
Jakarta 12910.P. +62 21 7006 8388
Stylist by : HK

Putu Supadma Rudana : Seni Bisnis Bisnis Seni

The art of business in business of art (seni berbisnis dalm bisnis seni). Itulah salah satu moto yang dijalankan Putu Supadma Rudana dalam menjalankan The Rudana. Tak semua orang paham cara-cara berbisnis dalam jagat kesenian.

PUTU Supadma Rudana tak bisa menganggap bisnis di dunia kesenian semata-mata sebagai transaksi jual beli. Baginya, seni “berdagang” benda-benda kesenian adalah ketika dia bisa memberikan nilai pada sebuah karya. Dan, nilai itu tak selalu terikat dalam dentuk rupiah saja.

“Bisnis di sini punya makna ketulusan. Ada saling memberi dan menerima, ada pengorbanan, “ kata Putu. Dia diwawancarai di kompleks Museum Rudana & Rudana Fine Art Gallery di Ubud, Bali, Selasa (17/1).
Sang pencipta karya seni, kata Putu, harus rela berkorban kehilangan karya. Sedangkan kolektor juga harus rela mendapatkan karya itu. namun, masing-masing juga harus rela mendapatkan penggantian kehilangan itu. Kolektor mendapat karya seni, sedangkan sang seniman mendapatkan nilai tukarnya.

“Itulah yang saya maksud sebagai seni berbisnis seni dan menjadikan bisnis itu sebagai seni tersendiri, “ ungkap sulung empat bersaudara tersebut. Putu harus hadir sebagai jembatan antara seniman dan end user.
Putu memang mengaku tak bisa dilepaskan dari seni. Dia tumbuh dan besar di lingkungan yang hampir seluruhnya nyeni. Ayahnya, Nyoman Rudana, merintis galeri lukisan sejak 1974 atau seumur dengan Putu sendiri. Galeri itu lantas tumbuh dan beranak-pinak.

Ia menjadi Museum Rudana yang menampung sekitar 500 karya seniman papan atas yang terpilih. Mulai dari I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978), Srihadi Soedarsono, Dullah, Basoeki Abdulah, Affandi, hingga seniman-seniman anonim yang berkarya di penghujung abad ke-19. Rasanya, hampir seluruh mazhab lukisan tertampung di museum yang terletak di lahan asri berpagar petak-petak sawah nan hijau tersebut.

Rudana Fine Art Gallery pun memajang tak kurang dari 10 ribu karya. Kalau karya di galeri masih bisa dikoleksi orang lain, yang di museum tidak. Karya di Museum Rudana memang disimpan agar menjadi abadi sebagai bentuk cinta keluarga Rudana kepada jagat seni. Selain museum dan galeri, The Rudana melingkupi yayasan seni (Rudana Art Foundation), Genta Fine Art Gallery, Candi Fine Art Gallery, serta Pusat Penelitian, Pengkajian dan Dokumentasi Budaya Destar.

Memang Putu akhirnya terbang ke Paman Sam untuk menuntut ilmu yang sama sekali tidak nyeni. Yakni, manajemen dan bisnis. Tapi, ilmu itu pula yang dia pakai untuk membesarkan The Rudana. Putu memang itu menjalankan roda The Rudana selepas kuliah. Tanggungjawabnya kian besar saat Nyoman Rudana, ayahnya, terpilih sebagai anggota DPD, mewakili Bali di MPR pada 2004-2009.

Di tangan keluarga Rudana, museum dan galeri seni itu punya gaung yang sangat besar. Tak cuma kolektor dalam dan luar negeri yang berdatangan. Sejumlah pemimpin negara tercatat pernah mengunjungi kompleks seni tersebut. Sebut saja mantan Presiden Soeharto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden Tiongkok Jiang Zemin, PM Tiongkok Zhu Rongji, mantan Presiden AS Jimmy Carter, dan masih banyak lagi. Apresiasi teranyar datang dari para ibu negara peserta KTT ASEAN pada November 2011. Sepuluh ibu negara plus istri Sekjen PBB Ban Ki Moon bersantap siang di areal museum dan galeri. “ Ya, di sini ini. Di meja ini, “ kata Putu. Ketika itu, wawancara dilakukan di pendapa etnik di bagian belakang area museum. Tempat itu sejuk dan dikelilingi pepohonan. Angin mempermainkan batang-batang padi yang hijau di sisi selatannya. “Sussounded by nature. Kami ingin, yang datang ke sini, belum bicara pun sudah tersentuh, “.

Meski punya passion begitu besar di bidang seni, Putu tak menutup mata pada bidang bisnis lain. Dia, misalnya, punya lima SPBU di bawah bendera GRP Investement Enterprise. Bisnis itu dimulai dari nol. Dari Putu yang buta sama sekali di bidang jual beli minyak. Di dalam bisnis itu pun Putu tak hanya jual beli. Tetapi ada edukasi dan penambahan nilai-nilai dalam berdagang. Dia adalah salah satu yang pertama menerapkan pakaian tradisional saat hari-hari tertentu di SPBU-nya. Misalnya pada perayaan Purnama Tilem Bali. “ Akhirnya menjadi inspirasi. Banyak SPBU hingga bank yang juga menerapkan kebijakan serupa,” kata Putu.

Memang inspirasi itulah salah satu tujuan hidup Putu. Dia ingin segala yang dilakukannya bisa menggerakkan orang untuk berbuat yang lebih baik. Menuju visi sempurna, katanya. Itu klop dengan judul buku pertamanya yang terbit pada 2009, Menuju Visi Sempurna. Buku itu disusul dengan The Journey of The Soul dan Bali Inspiring yang terbit pada 2011. (c2/dos)

Orang Tua Tetap Jago

Di tangan Putu Supadma Rudana, The Rudana tumbuh begitu pesat. Menggurita. Dari yang awalnya hanya komunitas lukis para seniman pada era 1970-an, The Rudana bisa menjadi holding (pemangku) anak-anak perusahaan yang bergerak di berbagai lini bisnis. Meski begitu, Putu Supadma Rudana tak mau menepuk dada. Di tetap merasa lebih kecil ketimbang Nyoman Rudana dan Ni Wayan Olasthini, orang tuanya, parafounder The Rudana.

“Saya tak akan pernah bisa melampaui mereka, “ kata Putu. Penggemar golft itu menyatakan, orang tuanya bisa melakukan banyak hal yang tak mampu dikerjakannya. “Mereka bisa melahirkan saya. Saya tidak, “ ujarnya, lantas tersenyum.

Sekembali dari kuliah di Amerika Serikat, Putu memang langsung diterjunkan untuk menangani bisnis seni The Rudana. Meski demikian, dia mengatakan, proses itu tak berlangsung formal. Tak ada serah terima jabatan, tak ada prosesi penyerahan tongkat estafet, juga tak ada penunjukkan formal dari orang tuanya. “Mengalir saja. Tidak ada pergantian resmi. Yang ada sinergitas kepemimpinan, “ ungkap pria 37 tahun tersebut.

Yang paling berat dalam melanjutkan usaha rintisan orang tua itu, kata Putu, adalah kebebasan yang diberikan orang tuanya. “Susah kan? Saya harus meneruskan sesuatu yang sudah hebat. Sementara orang tua membebaskan saya. Itu lebih membingungkan, “ ujar Putu. Hanya satu yang dia jadikan patokan, yakni pesan untuk mencurahkan semuanya, cinta dan ketulusan untuk seni, masyarakat dan kesejahteraan banyak pihak.
Karena itu, Putu berupaya membentuk perusahaan sebagai rumah bagi kurang lebih 300 karyawannya. Tempat berbagi, saling bertukar pengalalman, unjuk gagasan, dan penguatan nilai-nilai kehidupan.
Tak urung, Putu juga memaksimalkan ilmu yang didapatnya dari bangku kuliah untuk pelaksanaan menajerial perusahaan. Dia melakukan rekonstruksi hingga evaluasi branding. “ Saya ingin The Rudana bukan hanya mewakili orang per orang, mewakili keluarga Rudana, tapi The Rudana adalah wujud gagasan untuk memuliakan ketulusan kepada berbagai pihak, “ kata Putu. (c6/dos)

Bukan Syahwat Berkuasa
Muda, sukses, berwawasan luas, punya koneksi melimpah. Rasanya ada yang kurang memang kalau Putu Supadama Rudana tak mennceburkan diri ke kancah politik praktis. Walaupun sebagian khalayak menilai, jagat politik tak pas bagi Rudana yang mengagungkan ketulusan dan mengesampingkan syahwat kekuasaan, materi, ego, serta kepentingan.

“Itu karena ada pemaknaan politik praktis secara sempit, “ kata Putu Rudana. Bagi master of business administration (MBA) keluaran Negeri Paman Sam tersebut, politik berarti cara-cara untuk meraih tujuan atau mewujudkan gagasan. Nah, karena itu, dia harus masuk ke ranah politik untuk bisa memuluskan gagasannya, yakni mencintai, menjiwai dan menggaungkan ketulusan.

Karena itu, Putu mau tak mau harus ikut kendaraan politik, yakni partai. Dia memilih Demokrat, partai yang dianggapnya paling pas untuk menyebarkan gagasan tersebut. Pada 2009, Putu juga mencalonkan diri sebagai wakil rakyat ke Senayan. Tetapi, perolehan suaranya tak cukup. Dia gagal. “Itu kata orang. Saya sendiri tak merasa itu sebagai kegagalan. Itu adalah proses pembelajaran yang sangat indah kalau kita syukuri, “ ucap Putu. Katanya, life in about taking risk. (c6/dos)

Sumber : Jawa Post
Edisi Kamis 19 Januari 2012

Museum Laboratorium Kebudayaan

KOMPAS – Harus diakui, kondisi rata-rata museum di Indonesia relatif memprihatinkan. Tidak hanya soal pengelolaan, tetapi juga benda-benda koleksi di dalamnya yang berusia ratusan tahun pun dalam keadaan menyedihkan.

”Itu (kondisi) yang pantas dibenahi. Kita ingin museum bisa menjadi laboratorium kebudayaan,” ujar Ketua Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Putu Supadma Rudana (38), pekan lalu, di Denpasar, Bali.

Guna merintis jalan ke arah perbaikan tersebut, pada 12 Agustus lalu, Supadma menandatangani statement of commitment dan memorandum of understanding (MOU) dengan Museum Association of Thailand (MAT).
President MAT Somchai Na Nakhonphanom dan penasihat MAT, Somlak Charoenpot, pun hadir di Bali dalam penandatanganan kerja sama tersebut.

”Ini baru langkah awal kami untuk kembali menoleh pada museum. (Museum) Sudah terlalu lama tertidur…,” kata Supadma yang juga President of The Rudana Ubud.

Bersama MAT, AMI akan menyelenggarakan berbagai upaya edukasi, apresiasi, dan komunikasi kebudayaan.

”Prinsipnya, kita kembali harus memuliakan kebudayaan,” ujar Supadma.

Sebagai ikatan kerja sama dan persaudaraan, Supadma menyerahkan selendang yang disebutnya sebagai ”Selendang Tulus Hati” kepada Somchai dan Somlak.

”Selendang ini tanda pertautan kebudayaan intim antara Indonesia dan Thailand,” ujar Supadma. (CAN)

Sumber : KOMPAS, Senin, 27 Agustus 2012

Refleksi Nilai-Nilai Luhur Hari Pahlawan

Setiap memperingati hari bersejarah, bangsa Indonesia sesungguhnya memperoleh kesempatan untuk merenung ulang serta merefleksikan cita-cita luhur para founding fathers, pendiri negara ini.

Demikian pula berkenaan dengan tanggal 10 November ini. Peringatan Hari Pahlawan adalah memang suatu momen berharga bagi kita guna memaknai kegigihan, integritas, komitmen dan kecintaan atas negeri ini, dimana pada era revolusi dulu terwujud sebagai gelora kebersamaan untuk meraih kemerdekaan sekaligus mengukuhkan keberadaan NKRI.

Para pejuang pendiri negeri ini telah mendarmabaktikan hidupnya dengan segenap ketulusan serta semangat pantang menyerah. Dengan meresapi, menghayati serta merefleksikan nilai-nilai luhur warisan para patriot bangsa itu, kita, sebagai generasi penerus, akan memperoleh karunia energi kebersamaan yang kreatif sekaligus produktif.

Semangat kerbersamaan atau ‘Bersama Kita Bisa’ itu dapat mendorong kita untuk meraih capaian prestasi setinggi-tingginya di bidang masing-masing. Semangat itu pula yang akan memungkinkan lahirnya ‘pahlawan-pahlawan’ era kini, yang berjuang sepenuh pengabdian tanpa pamrih untuk kejayaan, kemakmuran dan keutuhan NKRI.

Dalam kebhinekaan dan keanekaragaman kultur negeri ini, mari kita satukan tekad mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam Mukadimah UUD 1945.

Perspektif Putu Rudana Tentang Senirupa Indonesia

Perkembangan senirupa di Indonesia menggeliat terus. Setelah terjadinya booming harga untuk lukisan-lukisan yang berasal dari Asia (termasuk Indonesia), kini dunia seni kita dihadapkan pada bagaimana para stakeholder menyiasati serta mempertahankan fenomena booming senirupa tersebut. Berikut wawancara antara Putu Supadma Rudana, The Fine Art Promotor, tentang promosi senirupa Indonesia.

Setelah sukses dengan perhelatan senirupa yang melibatkan 8 maestro senirupa di Indonesia, yaitu Modern Indonesian Masters sekarang apakah ada kegiatan senirupa lagi dalam kalender Museum Rudana?

Tentu. Kegiatan seni rupa merupakan jiwa dari museum senirupa. Sebuah institusi, termasuk museum baru bisa dikatakan hidup kalau ia bisa memberikan manfaat-manfaat kepada masyarakatnya. Untuk memberikan manfaat ini kegiatan harus dibungkus sedemikian rupa sehingga atraktif bagi semua pihak. Nah, Museum Rudana senantiasa mencoba menyuguhkan tampilan-tampilan atau peristiwa senirupa yang bukan hanya atraktif, namun juga memiliki nilai yang penting bagi pertumbuhan seni baik di Bali maupun di Indonesia.

Bagaimana peran seorang pemimpin dari sebuah museum dalam menggerakkan roda aktivitas museum ini, padahal kegiatan besar, misalnya dengan pameran maestro yang baru lalu, membutuhkan beragam resources serta perencanaan yang amat matang?

Seorang pemimpin juga manusia biasa. Mereka hanya memiliki dua buah tangan saja. Namun, bagi saya, seorang pemimpin adalah mereka yang mempunyai instinc yang kuat tentang kapabilitasnya untuk melaksanakan sebuah proyek dengan berhasil. Ia harus mampu mengelola sumber dayanya. Seorang pemimpin juga harus menjadi koordinator yang handal. Dalam mengkoordinasikan sebuah perhelatan besar seperti yang lalu, saya harus pandai-pandai dalam mendelegasikan tugas. Namun, karena kita, mampu memberikan kepercayaan kepada mitra internal kita, yakni para staf museum yang professional, untuk melaksanakan tugas yang diberikan mereka, maka terjadi saling kepercayaan yang mantap.

Secara personal, apa yang saat ini Anda geluti dalam konteks seni rupa di Bali, Indonesia?

Saya masih konsisten dengan cita-cita awal saya, yakni saya ingin berkiprah dalam mempromosikan senirupa Indonesia. Setelah perhelatan pameran 8 maestro seni rupa kondang, sekarang saya mulai memusatkan perhatian pada promosi senirupa untuk seniman-seniman muda (awal).

Apa kriteria seniman muda yang masuk dalam standar promosi Anda?

Sebetulnya usia memang menjadi patokan, namun bukan satu-satunya. Saya melihat banyak seniman muda yang sebetulnya memiliki potensi luar biasa. Karena pengalaman-pengalamannnya mengasah ketrampilan melukis, baik secara teknik, komposisi maupun kematangannya dalam belajar dari alam maupun dari pelukis-pelukis lain, pelukis-pelukis muda ini menjanjikan sebuah masa depan berkesenian yang cerah. Dengan demikian bisa saya katakan bahwa sebetulnya rentang waktu bukan satu-satunya tolak ukur. Namun pengalaman serta pendalaman berkesenian yang lebih berbicara. Yang kedua, seniman tersebut harus mempunyai kapabilitas untuk produktif. Dengan karya-karya yang berkualitas yang mampu dipertanggungjawabkan.

Sekarang banyak sekali pelukis-pelukis yang bermunculan, sementara karya-karya mereka banyak juga yang tidak selektif. Bagaimana Anda menilai kualitas karya-karya pelukis muda ini?

Masalah kualitas ini memang tidak boleh dilihat dari satu sisi, yaitu senimannya saja. Karena kata berkualitas dan bermutu itu relatif, sehingga saya harus menerapkan seleksi yang ketat terhadap seniman-seniman yang ingin saya promosikan. Dalam seleksi ini saya juga harus menggandeng pihak-pihak yang memang profesional di bidangnya, misalnya kritikus seni handal yang memang mampu memilah-milah mana karya-karya yang menjanjikan dari karya-karya yang ikut-ikutan. Saya dengan tim seleksi akan memilih karya-karya yang memiliki karakter-karakter unik yang hanya dimiliki oleh si seniman tersebut. Selanjutnya, antara seniman yang saya promotori dengan kami juga harus mampu menjalin kerja sama kooperatif yang kuat, dengan artian bahwa kita memiliki wilayah tersendiri yang saling mendukung, namun tidak saling mencampuri. Di wilayah seniman, mereka berkarya secara kualitatif, di wilayah promotor, kami mencari celah marketing, PR (Public Relation), serta memformulasikan presentasi yang terbaik bagi karya-karya seniman tersebut.

Sebagai seorang promotor seni rupa, kiat-kiat apa yang Anda pakai untuk berkecimpung dalam dunia promosi senirupa ini?

Istilahnya, promosi senirupa menjadi ujung tombak bagi karya-karya seni dalam memasuki kancah kesenian dalam konteks yang lebih luas. Sebagai promotor saya juga berupaya untuk selalu menerapkan sustainability dan accountability. Sustainability mencakup keberlangsungan kegiatan kreatif seniman semasa masih dalam promosi saya maupun setelah seniman tersebut lepas menjadi seniman yang lebih professional mandiri, sedangkan accountability merujuk pada akuntabilitas, yaitu kemampuan kita untuk mempertangggungjawabkan bisnis promosi secara open book. Dengan demikian, lewat kontak promosi yang setara, tidak ada pihak yang akan berada posisi yang dirugikan. Saya sadar bahwa seringkali seniman merasa bahwa pihak ke dua atau ke tiga dari sebuah hubungan bisnis senirupa menjadi benalu yang kuat, mengikat dan menghisap mereka, namun ada pula promotor atau manager seorang seniman yang merasa senimannya tersebut tidak mampu membuahkan karya-karya yang telah mereka targetkan bersama. Salah satu filosofi saya dalam dunia promosi senirupa ini adalah bahwa saya hanya akan mempromosikan karya-karya dari seniman yang punya potensi untuk memberikan kontribusi positif pada khazanah senirupa Indonesia.

Seperti kita ketahui, ekses booming senirupa Asia masih terasa. Mengikuti trend nilai serta harga karya-karya mutakhir dari pelukis-pelukis kontemporer China, banyak pula karya-karya senirupa Indonesia yang memetik harga yang cukup menggiurkan. Namun di sisi lain terjadi pula semacam euphoria booming ini. Sehingga banyak sekali karya-karya yang dipaksa untuk dipasok dengan harga yang melangit pula. Bagaimana komentar Anda?

Saya melihat terjadinya sebuah fenomena yang saya anggap bisa memberikan ekes yang cukup berbahaya bagi seniman yang dipromosikan di luar proporsi. Dengan membungkus konsep berkesenian si seniman muda ini sedemikian rupa, promotor penyewa kritikus seni yang bisa menulis dengan apik, ia mampu membuat karya-karya pelukis tersebut menjadi manis untuk di lempar ke publik. Tentunya dengan membuat move atau trick-trick tertentu, misalnya dengan membandrol harga yang membuat kita bergeleng-geleng kepala, dan dengan memasang pialang yang seakan-akan menawar harga yang dibandrol tersebut. Alhasil, publik pecinta seni bisa terkecoh dengan ulah promosi seperti ini. Dan akhirnya, setelah masa manis atau masa produktif dari seniman muda kontemporer ini habis, maka habis pulalah hubungan bisnis seni ini. Dan ketika pasar sudah mencapai titik saturasi, atau titik nadinya, terhadap karya-karya lukis seniman tersebut, si seniman akan terpuruk. Ia akan kesulitan menjual karya lukisnya, karena masa edarnya sebagai perupa kontemporer memang sudah habis. Yang tersisa hanyalah kesan-kesan masa lalu dan potongan-potongan artikel Koran dan majalah tentang pameran-pameran perdananya.

Jadi istilahnya, sebagai seorang promotor senirupa, saya akan berupaya untuk bertanggungjawab terhadap apa-apa yang keluar dari tangan-tangan bisnis saya. Saya tidak ingin hasil jerih payah saya menjadi mubazir, seperti buah yang matang diperam, namun bukan di pohonnya. Dengan niat yang iklas, saya ingin hal ini tidak terjadi pada seniman muda sehingga mereka mampu secara berhasil berdiri dengan kaki mereka sendiri memasuk arena kompetisi berkesenian yang kadang amat berat ini.

Apa yang harus dimiliki oleh seorang promotor seni? Apakah ia harus mempunyai darah seni atau latar belakang tentang seni? Bagaimana menurut Anda?

Saya beruntung sekali. Saya pikir saya diberkahi Tuhan kesempatann untuk terjun langsung belajar. Pertama, saya dilahirkan di keluarga yang bukan hanya mencintai namun juga tumbuh, dan berusaha dalam bidang seni rupa. Mau, tidak mau, exposure dengan dunia seni rupa membentuk sebagain instinct bisnis saya. Ini mengingatkan waktu kecil saya di mana Bapak saya kadang-kadang memvawa kami bertandang ke seniman-seniman mendiang maestro Dullah dan Affandi, maupun maestro dari Bali termasuk Nyoman Gunarsa serta Made Wianta. Jadi, sejak kecuali saya selalu dikelilingi karya-karya seni rupa dan bertemu dengan seniman-seniman, baik lokal maupun mancanegara, baik yang belum terdengar maupun yang kesohor di dunia. Saat ini kami memiliki lebih dari 10.000 karya lukis yang masing-masing nilainya tinggi. Nah, pengalaman-pengalaman inilah yang memperkaya perbendaharaan pengetahuan saya tentang seni. Exposure perjalanan saya di luar negeri ketika saya menimba ilmu juga memberikan perspektif yang luas tentang seluk-belukpromoting the art. Ketrampilan-ketrampilan honest image building tentang karya-karya yang akan dipamerkan. Meeting people’s interest in the artwork dan berbagai expertise lainnya bisa saja kita fusikan dengan local wisdom. Namun, satu hal lagi yang amat penting dari upaya promosi adalah kemampuan kita untuk melihat ke masa depan—forecasting the future untuk karya-karya maupun predictability sang senimannya sendiri. Kita harus mampu membaca seberapa jauh sang calon seniman tersebut bisa berkontribusi, bukan hanya dalam artian finansial namun dalam konteks yang senirupa di luar batasan-batasan bisnis.

Jadi, untuk bergerak dalam bidang seni rupa kita tidak harus menjadi seniman pencipta karya seni. Kita semua percaya bahwa dunia senirupa amat membutuhkan sinergi dari para stakeholder karena disiplinnya ternyata juga kompleks, penuh dengan lapis-lapisan yang saling mengikat. Seniman kemungkinan tidak bisa secara langsung melemparkan lukisannya ke pasar kalau ia punya tujuan untuk menjualnya. Di samping mereka mungkin tidak menguasai pasar seni, mereka juga kemungkinan tidak memiliki negotiating skill yang bisa mengangkat ataupun mempertahankan harga. Sebagai promotor, kita memiliki tim profesional yang bisa mengisi celah-celah di mana biasanya sang seniman itu lemah. Di sinilah, sebagai art promotor atau art manager, saya mengkoordinasikan, mensinergikan berbagai sumber tersebut untuk mengangkat hasil seni rupa karya sang seniman. Kecuali seniman-seniman tertentu yang memiliki kharisma serta kemampuan publik terlatih, pada dasarnya seniman-seniman memerlukan pendamping untuk mengartikulasikan visi karya mereka secara verbal maupun tertulis ke publik. Di bidang ini pulalah, seorang art promotor melalui koordinasinya dengan kritikus seni, muncul untuk menjembatani bahasa visual dengan bahasa publik agar dapat diserap oleh masyarakat umum.

Baik. Setelah membahas ekses booming senirupa akhir-akhir ini, bagaimana Anda melihat perkembangan bisnis seni rupa saat ini?

Saya melihat adanya kegairahan yang berdinamika. Dari banyak fluktuasi bisnis senirupa yang saya amati, banyak sekali terjadi transaksi karya-karya seni yang kontemporer. Apalagi sekarang bermunculan balai lelang seni rupa, terutama di ibukota dan beberapa kota besar lainnya.

Bagaimana dengan praktek bisnis senirupa yang akhir-akhir ini juga ditimpali dengan trik-trik yang kurang sehat?

Terus terang, saya juga merasa miris. Kita lihat fenomena miring yang dipicu dengan adanya nilai-nilai nominal yang fantastis dari deal senirupa tersebut. Sehingga timbullah kegiatan bisnis senirupa yang rela mengorbankan nilai-nilai etika, baik berkesenian maupun berbisnis. Di samping sekarang terjadi pula maraknya palsu memalsu lukisan, timbul pula sindikat yang melakukan goreng-menggoreng karya seniman baru di samping tak sedikit seniman yang mengambil jalan pintas dalam berkarya misalnya dengan jalan mencetak karya beratus-ratus kemudian hanya menempel sedikit cat, kemudian diberi tandatangan. Beres. Saya berharap, selama masih ada seniman-seniman yang intens dalam berkarya dan memiliki komitmen yang teguh, senirupa Indonesia tidak akan menjelma menjadi industri lukisan belaka.

Bagaimana idealnya?

Kalau bisa kita harus menempatkan senirupa dalam tempat yang lebih terhormat. Senirupa bukan merupakan komoditi bisnis belaka. Sebab dari senirupa kita bisa belajar tentang peradaban suatu bangsa atau sejarah perjalanan suatu negara. Karena, seni rupa yang serius dikerjakan dengan keringat dan darah, ia juga bisa berisi pesan-pesan, petitih, bahkan bisa merepresentasikan suatu yang sakral. Sehingga karya seni rupa juga bisa memiliki potensi mediasi kedamaian dan perdamaian di dunia ini, dan bukan hanya sekedar alat barter belaka.

Sekarang tampaknya jelas pertanyaan bagi kami antara promoting the fine art dari bisnis seni rupa, yang untuk sebagian pelaku bisnis hanya disikapi sebagai benda seni belaka, tanpa mengindahkan potensi non finansial yang dikandungnya. Apa pesan terakhir dari Anda?

Kegiatan bisnis seni rupa, termasuk promosi seni rupa, tanpa memerhatikan aspek kultural, spiritual yang bisa dikandung dari seni rupa, akan memberikan dampak finansial yang diinginkan. Namun, kemungkinan besar dampak seperti ini sifatnya hanya kasat mata. Dari hasil transaksi lukisan, dana yang diperoleh akan diinvestasikan ke benda lain, termasuk benda seni. Setelah itu, ya sudah….Bagi kita, pecinta seni yang memang hidup di dalam seni rupa (bukan hanya sebagai pedagang), nilai-nilai dan dampak kejiwaan merupakan konsekuensi logis dari kepemilikan atau perolehan suatu benda seni. Uang bisa membeli apa yang bisa kita akses dengan indra, namun pancaran rasa dan rasio dari karya seni rupa tersebu tidak bisa dibisniskan. Di sinilah letak filosofi promosi senirupa saya. Senirupa harus memiliki kandungan luhur yang berlangsung lama, bukan sekali pandang setelah itu dilupakan. Dengan demikian, pendekatan saya sebagai seorang promoter seni juga mungkin berbeda. Saya tidak ingin terkena arus euforia kontemporer yang sesaat. Saya ingin seniman dengan saya tumbuh bersama, mengakar, turut membangun dan memberikan kontribusi pada perkembangan seni di Indonesia.

Sumber : Katalog Joged
Wawancara oleh M. Bundhowi