Tag: ami

Melalui AMI, Memuliakan Kebudayaan dan Nilai-Nilai Luhur Bangsa

NEGERI ini patut bersyukur dikaruniai warisan budaya nan luhur, begitulah ungkap Putu Supadma Rudana (38) sembari mengawali wawancara dengan JournalBali.com, di tengah lalu lintas Jakarta yang petang itu di luar kebiasaan terasa lebih lengang. Mobil kami melaju melintasi Monumen Nasional, Gambir dan seputarnya, sebelum tiba di salah satu sisi Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki di bilangan Cikini, guna melanjutkan percakapan terkait terpilihnya Putu Rudana sebagai Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia (AMI) belum lama ini di Bandar Lampung, tepatnya tanggal 27 Juni 2012 lalu.

“Setiap kali melewati Monas dengan tugu kebanggaan kita yang menjulang tinggi itu, ada rasa haru dan juga sebentuk tekad saya untuk memuliakan nilai-nilai warisan budaya sebagai bagian dari upaya kita guna mewujudkannya menjadi kepribadian dan pekerti bangsa atau nation and character building,” tuturnya kali ini dengan nada yang tenang dan mendalam. Bagaimana pandangan Putu Rudana, President The Rudana yang menaungi Yayasan Seni Rudana, Museum Rudana dan Pusat Penelitian, Pengkajian dan Dokumentasi Budaya DESTAR, yang baru-baru ini meluncurkan buku Bali Inspires dan sebelumnya buku Menuju Visi Sempurna, Seni Budaya Sebagai Jiwa Bangsa, perihal persoalan-persoalan budaya dan problematik kehidupan kekinian kita? Simak dialog lebih jauh ini.

Putu Rudana Supadma bersama Fajar Arcana (Redaktur KOMPAS) dan Radhar Panca Dahana seusai acara Dialog Budaya. (foto:dok.Destar)
Putu Rudana Supadma bersama Fajar Arcana (Redaktur KOMPAS) dan Radhar Panca Dahana seusai acara Dialog Budaya. (foto:dok.Destar)

 

Apa makna rumah bagi kehidupan Anda? Bagaimana konsep dan latar filosofinya?

Rumah bukanlah semata untuk singgah, berteduh, ataupun tempat tinggal, melainkan juga ruang bagi kebersamaan kita demi mengisi serta mengolah diri. Dalam berbagai kebudayaan, kita mengenal konsep keharmonian yang berlandaskan penghormatan kepada Tuhan, sesama manusia serta alam lingkungan. Di Bali, nilai-nilai keharmonian yang dijunjung tinggi tersebut berlandaskan pada falsafah Tri Hita Karana, yang penerapannya dalam tata kelola ruang dan lingkungan, termasuk rumah di dalamnya, disebut sebagai asta kosala-kosali. Dengan berpedoman pada acuan ini, sebuah rumah tentulah dibangun tidak semata mempertimbangkan keelokan dan keindahan yang kasat mata atau sekala, akan tetapi diharapkan juga memberikan keteduhan yang menentramkan hati secara spiritual atau niskala.

Di sisi lain, bagi saya pribadi, rumah juga memiliki nilai-nilai yang luhur, di mana di dalamnya terkandung semangat kekeluargaan, kebersamaan serta kemuliaan ketulusan. Berbagai interaksi yang hangat dan penuh persahabatan terjalin di sana, sehingga menciptakan keselarasan sekaligus kebahagiaan bagi hari-hari kita di masa kini maupun nanti.

Indonesia pada dasarnya, menurut saya, adalah sebuah rumah, tepatnya Rumah Budaya, yang menaungi hasil olah cipta dan warisan luhur budaya suku-suku bangsa yang bermukim di Nusantara. Menimbang hal tersebut, merupakan suatu tantangan tersendiri bagi kita untuk menjaga keselarasan, tenggang rasa dan toleransi di tengah keberagaman kekayaan kultural negeri ini. Dengan demikian, konsep Rumah Bangsa sebagai Rumah Budaya, layak diimplementasikan dan diwujudkan sekaligus menjadi ruang kebersamaan kita.

Terkait hal itulah, saya melihat museum memiliki peran simbolis sekaligus strategis sebagai upaya kita membangun Rumah Budaya. Tidak sebagaimana yang dibayangkan oleh sebagian besar masyarakat, museum terbukti dapat difungsikan juga sebagai laboratorium kebudayaan, di mana para ahli, pakar aneka bidang dan generasi muda dapat mengembangkan ide-ide kreatif serta gagasan-gagasan cerdasnya berdasarkan suatu telaah yang lebih mendalam terhadap apa yang telah dicapai oleh para leluhur melalui karya-karya berupa apapun yang tersimpan di dalamnya. Dengan demikian, museum juga dapat menjadi suatu Rumah Budaya, yang tidak semata menghadirkan karya-karya para maestro, namun juga turut berperan dalam apresiasi atas capaian seni, sekaligus media edukasi bagi semua pihak.

Jawaban Anda menarik, terutama terkait hubungan museum dengan Rumah Budaya. Bagaimana penjelasan lebih jauh mengenai hal ini?

Ya, saya memiliki cita-cita untuk menjadikan museum sebagai Rumah Budaya yang menaungi beragam wujud seni-budaya, baik hasil cipta para maestro tradisi maupun kreasi seniman-seniman modern, termasuk mereka yang telah lama berkiprah maupun yang tengah meneguhkan eksistensinya. Caranya ialah dengan menghadirkan aneka program yang tidak hanya kreatif dan inovatif, namun juga mengedepankan sisi apresiatif yang mendorong tumbuhnya kehidupan kultural yang lebih dinamis dan berkesinambungan.

Perlu diingat, peran museum, terlebih di era kompetisi global seperti sekarang ini, sungguh sangat strategis. Saya kira adalah suatu yang tidak berlebihan bila dalam Diskusi dan Komunikasi Museum se-Indonesia serta Musyawarah Asosiasi Museum Indonesia beberapa waktu lalu, mengemuka suatu dialog tentang layaknya menjadikan museum beserta organisasi pengelolanya menjadi semacam center of excellence. Yakni, semacam laboratorium yang memungkinkan para ahli dalam melakukan suatu kajian dan program akademis secara tepat guna, untuk mengembangkan pemikiran atau menghasilkan kreasi-kreasi inovatif yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa, baik itu tataran filosofis maupun tataran praksis.

Putu Rudana memaparkan koleksi Museum Rudana kepada para Ibu Negara serangkaian Spouse Program KTT ASEAN 2011.(foto:dok.DESTAR)
Putu Rudana memaparkan koleksi Museum Rudana kepada para Ibu Negara serangkaian Spouse Program KTT ASEAN 2011.(foto:dok.DESTAR)

Sebagaimana juga apresiasi masyarakat dan pemerintah di mancanegara terhadap keberadaan museum, seyogyanya kita melakukan upaya-upaya terpadu dan terkoordinasi untuk mendorong peningkatan profesionalisme di kalangan pekerja dan pengelola lembaga ini. Belajar dari luar, terlihat benar bahwa tumbuhnya apresiasi dan penghargaan publik selalu sejalan dengan capaian pihak museum untuk meningkatkan pengelolaan dan fasilitasnya serta penyempurnaan koleksinya dengan dukungan segala data berikut fakta-fakta sejarah yang teruji. Kita perlu melakukan sinergitas yang melibatkan segenap stakeholder guna melakukan pembenahan menyeluruh, terlebih mengingat museum dalam perannya sebagai Rumah Budaya merupakan salah satu sarana pembangunan karakter dan pekerti bangsa (nation and character building).

Bagaimana dengan Museum Rudana sebagai Rumah Budaya? Apa wujud kegiatannya?

Museum Rudana, sedini kehadirannya, telah tampil mewujudkan berbagai peristiwa kesenian dan kebudayaan, yang bukan hanya mengapresiasi capaian kreatif pribadi-pribadi seniman modern maupun kontemporer yang piawai, namun juga seniman-seniman tradisi yang mumpuni. Setiap acara yang diselenggarakan dirancang melalui pertimbangan dan tahapan yang mengacu pada apa yang disebut sekala dan niskala. Pertimbangan sekala tercerminkan pada tema utama, bentuk kegiatan serta pilihan wujud artistik, berikut hal-hal teknis terkait lainnya. Sedangkan yang niskala adalah nilai-nilai filosofi yang mengacu pada kearifan lokal, akar tradisi dan juga nilai-nilai luhur lainnya. Maka dari itu, Museum Rudana beserta aktivitas seni budayanya selama ini, dapat dimaknai sebagai sebuah ‘ritual’ persembahan kepada Yang Maha Indah.

Sehubungan visi tersebut, Museum Rudana telah berulang mengadakan event-event seni budaya. Kesemuanya menegaskan bahwa museum juga dapat menjadi wadah aktivitas yang turut menggelorakan upaya-upaya pencapaian seni yang bersemangat kekinian tanpa harus tercerabut dari akar kultur warisan para leluhur. Misalnya melalui pameran seni rupa karya para maestro seperti Srihadi Soedarsono, Gusti Nyoman Lempad, Made Wianta, Nyoman Gunarsa, Wayan Bendi, Made Djirna, Ida Bagus Indra, Nyoman Erawan, serta lain sebagainya. Di samping itu, dilangsungkan pula diskusi-diskusi kultural dengan aneka topik yang kontekstual. Bahkan kami pun menggelar perhelatan seni budaya yang berupaya menawarkan interpretasi atas nilai-nilai warisan kultural tradisi, sebagaimana tercermin dalam Pagelaran Seni Budaya JOGED, hingga lomba esai populer bagi para pelajar bertema ‘Harapan Masyarakat Terhadap Pemimpin Masa Depan Indonesia’.

Secara khusus kami juga menciptakan sebuah Prosesi Tari Angkus Prana yang menghadirkan nuansa yang reflektif meditatif, di mana setiap unsur hadir membangun suatu rangkaian yang utuh dan padu serta menyarankan bentuk-bentuk simbolis tertentu. Sebuah kolaborasi kreatif Suara, Rupa dan Kata bertajuk Panca Tan Matra juga kami persembahkan pada tahun 2010, menghadirkan musisi dunia asal Brazil Toninho Horta, Dwiki Dharmawan, Nyoman Windha, koreografer Nyoman Sura serta penyair Warih Wisatsana.

Perlu ditambahkan pula, bahwa berbagai program yang telah dilaksanakan tersebut, pada hakikatnya adalah refleksi lebih jauh atau alih kreasi lebih mendalam dari peristiwa seni dan budaya yang diselenggarakan oleh Yayasan Seni Rudana sebelumnya, yaitu Pameran Modern Indonesia Masters (2007), Sinergi Seni Membangun Indonesia (2008), Tri Sakti (2008), serta lain sebagainya.

Putu Rudana bersalaman dengan mantan ketua umum AMI, Retno Sulistyaningsih. (foto.dok.DESTAR)
Putu Rudana bersalaman dengan mantan ketua umum AMI, Retno Sulistyaningsih. (foto.dok.DESTAR)

Selamat Anda telah terpilih menjadi Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia dalam usia yang relatif muda. Bagaimana perkembangan museum di Tanah Air belakangan ini, dan apa program visioner Anda?

Terimakasih apresiasinya. Ini merupakan panggilan dan kepercayaan. Saya ingin mendorong lahirnya suatu kepedulian masyarakat terhadap warisan luhur budaya bangsa melalui museum.

Sebab melalui museum, beserta koleksi adiluhungnya, kita dapat mempelajari keagungan masa silam seraya menggagas kemungkinan masa depan tanpa lalai atau abai pada upaya menyikapi dan memaknai kekinian secara lebih kreatif. Bila hal ini telah tercapai, saya berkeyakinan, kita akan mampu mewujudkan semangat Seni-Budaya sebagai Jiwa Bangsa, yang menaungi dan meneduhkan seluruh sisi kehidupan kita.

Untuk itulah, AMI mencanangkan program-program yang mengacu pada pendidikan dan kebudayaan terkait keberadaan museum yang dikontekstualisasikan dengan permasalahan-permasalahan terkini di Indonesia. Adapun pilihan kegiatannya diupayakan merangkum berbagai persoalan yang bersifat esensial, struktural dan kontekstual, termasuk di dalamnya mensinergikan bidang pendidikan dan kebudayaan berikut bidang-bidang lainnya.

Tujuan akhir serta sasaran utama dari setiap program tidak lain ialah Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa (Nation and Character Building), menuju terwujudnya masyarakat adil dan makmur, sesuai cita-cita para founding father. Kegiatan-kegiatan dimaksud, baik berupa pameran, dialog, penerbitan atau pertunjukan, dilaksanakan secara berkala dan berkelanjutan, mengundang budayawan, tokoh dan pakar berbagai bidang yang memiliki perhatian pada kemajuan kebudayaan dan pendidikan di Indonesia. Melalui acara yang mentradisi tersebut, diharapkan tersemai gagasan-gagasan bernas, cerdas, dan visioner serta mencerahkan, sehingga melahirkan agenda-agenda aksi yang terarah, terukur dan terpadu.

Selain itu, sebagai wujud apresiasi terhadap Seni Budaya bangsa, AMI juga mengadakan dokumentasi atas berbagai wujud kultural Nusantara demi melestarikan dan mengenalkan kembali bentuk-bentuk capaian para pendahulu negeri ini, termasuk nilai-nilai luhur atau kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Kami berharap melalui program ini para pakar berbagai bidang, akademisi, serta generasi muda dapat mengkajinya secara lebih tajam sekaligus mendalam, sehingga dapat diimplementasikan bagi penataan maupun perkembangan kebudayaan di masa mendatang.

Kita tentu merasa tergugah atas kondisi museum-museum yang kurang mendapat perhatian. Karenanya, usaha-usaha revitalisasi permuseuman pun menjadi skala prioritas AMI, didukung dengan penetapan program kerja yang disusun dalam tiga termin, yakni dalam jangka pendek, jangka panjang serta beragam agenda berkala lainnya, yang masing-masing dimaksudkan sebagai ruang apresiasi atas jalan capaian serta prestasi dari para seniman maupun budayawan yang sumbangsih dan dedikasinya telah teruji. Dengan demikian, agenda-agenda ini merupakan kesatuan tahapan komprehensif dengan mengedepankan sisi-sisi edukatif dan apresiatif, sebagaimana diwujudkan melalui serangkaian aktivitas diskusi, sarasehan, menampilkan para pakar berbagai bidang yang memiliki intensitas perhatian di bidang pendidikan dan kebudayaan.

Kami juga menyadari bahwa tentu ada banyak pihak yang sejatinya peduli dengan kondisi permuseuman Indonesia. Untuk itu, AMI juga akan menggelar program diskusi Museum Mendengar, bertujuan menjaring gagasan-gagasan kreatif serta pandangan-pandangan kritis dari masyarakat yang dapat dielaborasi menjadi sumbang-saran bagi pembenahan dan revitalisasi museum.

Mengawali program tersebut, Museum Rudana telah menggelar dialog Pesamuan Budaya, dengan tajuk ‘Budaya Politik dan Masa Depan Ke-Indonesia-an Kita’, menghadirkan pembicara budayawan Romo Mudji Sutrisno, budayawan Radhar Panca Dahana serta Fajar Arcana selaku Redaktur KOMPAS.

Menarik program Anda untuk melakukan Pesamuan Budaya dengan topik Budaya Politik dan Masa Depan Keindonesiaan Kita. Bisakah diterangkan lebih jauh?

Ya, Pesamuan Budaya merupakan agenda berkala dari Yayasan Seni Rudana serta Pusat Penelitian, Pengkajian dan Dokumentasi Budaya DESTAR. Sebagai sebuah lembaga kebudayaan yang berupaya berkontribusi bagi pengembangan kehidupan kultural bangsa berikut pelestarian sekaligus eksplorasi atas berbagai ragam seni Nusantara, DESTAR telah menggelar dua agenda dialog yang membahas dua topik berbeda, yakni ‘Kebudayaan Bali dalam Tantangan Kepariwisataan Global’ dengan pembicara Mantan Menparpostel Joop Ave serta Prof. Wiendu Nuryanti, M.Arch., Ph.D (STUPPA Indonesia). Seri-seri diskusi lainnya turut pula digelar, mengulas problematik-problematik kepariwisataan berikut strategi kebudayaan yang patut diperjuangkan secara menyeluruh.

Adapun Pesamuan Budaya bertajuk ‘Budaya Politik dan Masa Depan Ke-Indonesia-an Kita’ tersebut digagas dan diselenggarakan dengan maksud serupa, secara khusus membahas tantangan serta peluang bangsa Indonesia dalam menghadapi aneka persoalan kekinian, mulai dari politik, sosial, kebudayaan serta perihal merosotnya mentalitas anak bangsa yang tercermin dari kian mengemukanya kasus-kasus korupsi, kolusi dan nepotisme berikut terabaikannya etika-etika kesantunan di berbagai bidang kehidupan.

Itulah sebabnya kegiatan ini juga didedikasikan bagi kemajuan kebudayaan serta kehidupan berbangsa yang lebih demokratis, humanis, dengan menjunjung penghormatan akan keberagaman atau kebhinnekaan. Topik tersebut juga selaras dengan upaya membangun budaya politik yang lebih sehat dan produktif. Saya berkeyakinan, bila sungguh memahami serta menghayati nilai-nilai kultural luhur bangsa, seorang politisi ataupun pejabat manapun dapat menjadi sosok negarawan, yang senantiasa memuliakan ketulusan dalam mengabdi demi kemajuan bangsa, melalui penerapan tatanan kebijakan yang tepat bagi seluruh rakyat. Di sisi lain, menurut saya pribadi, dialog ini merupakan sebuah upaya kontemplasi yang bersifat reflektif sekaligus sebentuk sumbang saran dari The Rudana untuk kehidupan kebudayaan dan kebangsaan kita yang lebih mulia. (Madepur/JB)

Sumber : www.journalbali.com

Mewujudkan Politik yang Berbudaya

Oleh: Putu Supadma Rudana, MBA*)

Tuhan Yang Maha Esa telah berkenan melimpahkan karunia tak terhingga ke tanah air tercinta ini. Bukan hanya panorama pegunungan, pantai dan lembahnya yang jelita, namun di dalamnya terkandung pula sumber daya alam yang nilainya sungguh tak terbilang. Belum lagi berbagai suku bangsa yang mendiaminya, dengan adat-istiadat, bahasa, agama, serta hasil-hasil kebudayaan dan keseniannya yang beraneka, yang masing-masing kaya akan warna dan dinamika. Semuanya terhampar dalam jalinan kebersamaan: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, Indonesia.

Menimbang keanekaragaman suku yang mendiami wilayah nusantara beserta kekayaan adat dan budayanya, saya meyakini bahwa jiwa bangsa ini pada hakikatnya bersumber dari seni budayanya yang telah tumbuh berkembang melampaui abad demi abad tak terbayangkan. Dalam suatu kesempatan berkunjung ke Monas (Monumen Nasional) Jakarta, saya berkesempatan untuk menyaksikan perjalanan bangsa ini melalui diorama serta berbagai peninggalan dan dokumen sejarah yang menunjukkan kesejatian negeri ini. Saya menyaksikan juga teks proklamasi yang asli dan berfoto di sana. Terlintas dalam pikiran bahwa kita memang telah merdeka sebagai negara yang berdaulat. Namun, sebagai bangsa tampaknya kita juga perlu menggaungkan kemerdekaan dan kekayaan kebudayaan kita, yang dengan itu terbuka peluang untuk memberi inspirasi bagi bangsa-bangsa lain di dunia tentang pentingnya seni budaya sebagai pemersatu umat manusia dalam perdamaian yang penuh saling pengertian.

Saya juga berkunjung ke Museum Nasional di Jakarta, menyaksikan beragam karya-karya seni dari para maestro bangsa yang sarat dengan keindahan berikut kedalaman makna yang luar biasa. Di sana disimpan pula peninggalan dan warisan-warisan para leluhur bangsa di antaranya prasasti, gerabah, keramik, lampu hias, meriam dan lain sebagainya. Kesemuanya bukan semata karya bangsa Indonesia, melainkan juga buah cipta dari luar negeri, seperti Belanda, Inggris, Jerman, Cina dan Jepang.

Melalui ziarah pada sejarah luhur bangsa kita itulah, terbersit renungan perihal pentingnya mengedepankan suatu perilaku politik yang berbudaya. Hal ini mengemuka justru karena kita menyaksikan fenomena belakangan ini, di mana kehidupan politik seakan-akan tak berjarak dengan berbagai intrik. Seolah-olah perilaku yang jauh dari kesantunan dan etika adalah keniscayaan dunia politik, di mana kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok mengabaikan kepentingan bersama sebagai bangsa.

Politik yang berbudaya, jelaslah memang pilihan dan tujuan dari pendirian Partai Demokrat, di mana para kadernya didorong untuk beretika politik yang bersih, cerdas dan santun, menjunjung nilai-nilai kebangsaan dan nasionalis sekaligus religius. Bagaimanakah hal itu dapat dicapai? Upaya pengkaderan macam apa yang layak dirancang dan diprogramkan guna mewujudkan perilaku politik yang beretika seperti itu?

Pertama-tama patut ditanamkan suatu kesadaran bahwa politik yang hendak kita perjuangkan bukanlah semata politik kekuasaan melainkan suatu politik yang mengedepankan panggilan pengabdian demi kesejahteraan masyarakat luas. Dengan demikian, nilai-nilai luhur warisan budaya bangsa ini dapat diimplementasikan dalam perilaku keseharian serta menjadi acuan bagi pengambil keputusan dan kebijakan. Di sisi lain, politik yang berbudaya juga mensyaratkan adanya masyarakat yang kritis, yang melihat perbedaan pandangan serta perdebatan wacana antarpartai sebagai suatu kewajaran demokrasi.

Dialektika antara partai dan politikus serta masyarakat yang kritis, diyakini akan memperluas medan kesadaran baru dalam berbangsa dan bernegara, yang menjadikan era keterbukaan ini sebagai hal yang produktif, bukan semata pertikaian dan luapan kebencian lantaran berbeda ideologi atau pandangan. Bila ini berlangsung dalam suatu proses yang berkelanjutan, jelaslah demokrasi kita tidak akan terjebak pada sekadar prosedural, melainkan sungguh-sungguh mewarnai kehidupan keseharian sosial politik negeri ini. Terbuka peluang, melalui serangkaian tahapan dan proses itu, para politikus bermetamorfosis menjadi para negarawan.

Terlebih lagi, bila kita sedia mengkaji tentang adanya kenyataan bahwa Indonesia adalah sebuah republik yang masyarakatnya majemuk, multietnis dan multikultur, serta tengah menghadapi dinamika percepatan perubahan sebagai akibat hadirnya nilai-nilai global, buah dari kemajuan teknologi informatika yang nan canggih itu. Di samping itu, Indonesia yang memiliki letak yang strategis antara dua benua, Asia dan Australia, serta dua samudera, Hindia dan Pasifik, menghadapi tantangan ke depan yang memerlukan suatu pola penanganan yang holistik berlandaskan kerja sama semua pihak tanpa terkecuali. Upaya mengatasi problematik bangsa ini, memang bukan hanya tugas Presiden sebagai eksekutif beserta jajaran pemerintahnya, akan tetapi juga merupakan tanggung jawab anggota legislatif, yudikatif dan, terkait di dalamnya, para profesional aneka bidang, serta para pelaku politik yang berbudaya.

Peran Museum

Guna membangun politik yang berbudaya tersebut, tak dapat diabaikan peran museum yang sesungguhnya terbilang strategis. Tidak seperti yang selama ini dibayangkan oleh sebagian masyarakat awam, museum terbukti dapat difungsikan sebagai laboratorium kebudayaan, di mana para ahli, pakar aneka bidang dan juga generasi muda dapat mengembangkan ide-ide kreatif dan gagasan-gagasan cerdasnya berdasarkan suatu telaah yang lebih mendalam terhadap apa yang telah dicapai para leluhur melalui karya-karya berupa apapun yang tersimpan di dalam museum. Saya kira adalah suatu yang tidak berlebihan bila kita berupaya menjadikan museum beserta organisasi pengelolanya menjadi semacam center of excellence. Yakni, semacam laboratorium yang memungkinkan para ahli untuk melakukan suatu kajian dan program akademis secara tepat guna dan tepat makna, guna mengembangkan pemikiran atau menghasilkan kreasi-kreasi inovatif yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa, baik itu tataran filosofis maupun tataran praksis. Masing-masing selayaknya terpanggil untuk mengadakan pembenahan menyeluruh serta pencanangan program yang saling sinergi seraya menyadari bahwa museum juga merupakan salah satu sarana pembangunan karakter dan pekerti bangsa (nation and character building).

Secara lebih fokus dan khusus, dengan menimbang bahwa museum bisa menjadi center of excellence serta laboratorium kebudayaan seperti disinggung di atas, sinergi seni tersebut patut diketengahkan dalam wujud program-program nyata yang lebih terarah dan berkelanjutan guna mendorong upaya-upaya pembentukan karakter dan watak bangsa. Sebab hanya negara yang telah menemukan jati dirinya serta kuasa mengukuhkan nation and character building-nya, berpeluang untuk unggul dalam persaingan global. Dengan demikian, sudah tidak pada tempatnya lagi di era demokratis ini untuk melakukan dikotomi antara berbagai kepentingan dan idealisme atas nama apapun. Bahkan dalam titik kesadaran tertentu, saya mencoba mewujudkan apa yang menjadi keyakinan hidup yakni the art of business in the business of art (seni berbisnis dalam bisnis seni), serta the art of excellence, atau seni kesempurnaan, di mana kita tidak puas hanya sekadar menjadi mediocre (setengah-setengah saja).

Bila politik yang berbudaya tersebut sudah mewujud dalam kenyataan demokrasi kita, maka pemilu akan berlangsung sebagai perayaan dan pesta kebersamaan, yang mengemuka adalah kegembiraan dan sportifitas serta pengakuan akan keunggulan kompetitor tanpa perlu merasa menjadi pecundang yang tak kunjung henti dari sakit hati.

*) Penulis adalah Ketua Departemen Kebudayaan dan Pariwisata DPP Partai Demokrat serta Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia (AMI)

Dimuat di situs resmi Partai Demokrat, www.demokrat.or.id pada 12 September 2012.