Tag: esai

Mewujudkan Politik yang Berbudaya

Oleh: Putu Supadma Rudana, MBA*)

Tuhan Yang Maha Esa telah berkenan melimpahkan karunia tak terhingga ke tanah air tercinta ini. Bukan hanya panorama pegunungan, pantai dan lembahnya yang jelita, namun di dalamnya terkandung pula sumber daya alam yang nilainya sungguh tak terbilang. Belum lagi berbagai suku bangsa yang mendiaminya, dengan adat-istiadat, bahasa, agama, serta hasil-hasil kebudayaan dan keseniannya yang beraneka, yang masing-masing kaya akan warna dan dinamika. Semuanya terhampar dalam jalinan kebersamaan: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, Indonesia.

Menimbang keanekaragaman suku yang mendiami wilayah nusantara beserta kekayaan adat dan budayanya, saya meyakini bahwa jiwa bangsa ini pada hakikatnya bersumber dari seni budayanya yang telah tumbuh berkembang melampaui abad demi abad tak terbayangkan. Dalam suatu kesempatan berkunjung ke Monas (Monumen Nasional) Jakarta, saya berkesempatan untuk menyaksikan perjalanan bangsa ini melalui diorama serta berbagai peninggalan dan dokumen sejarah yang menunjukkan kesejatian negeri ini. Saya menyaksikan juga teks proklamasi yang asli dan berfoto di sana. Terlintas dalam pikiran bahwa kita memang telah merdeka sebagai negara yang berdaulat. Namun, sebagai bangsa tampaknya kita juga perlu menggaungkan kemerdekaan dan kekayaan kebudayaan kita, yang dengan itu terbuka peluang untuk memberi inspirasi bagi bangsa-bangsa lain di dunia tentang pentingnya seni budaya sebagai pemersatu umat manusia dalam perdamaian yang penuh saling pengertian.

Saya juga berkunjung ke Museum Nasional di Jakarta, menyaksikan beragam karya-karya seni dari para maestro bangsa yang sarat dengan keindahan berikut kedalaman makna yang luar biasa. Di sana disimpan pula peninggalan dan warisan-warisan para leluhur bangsa di antaranya prasasti, gerabah, keramik, lampu hias, meriam dan lain sebagainya. Kesemuanya bukan semata karya bangsa Indonesia, melainkan juga buah cipta dari luar negeri, seperti Belanda, Inggris, Jerman, Cina dan Jepang.

Melalui ziarah pada sejarah luhur bangsa kita itulah, terbersit renungan perihal pentingnya mengedepankan suatu perilaku politik yang berbudaya. Hal ini mengemuka justru karena kita menyaksikan fenomena belakangan ini, di mana kehidupan politik seakan-akan tak berjarak dengan berbagai intrik. Seolah-olah perilaku yang jauh dari kesantunan dan etika adalah keniscayaan dunia politik, di mana kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok mengabaikan kepentingan bersama sebagai bangsa.

Politik yang berbudaya, jelaslah memang pilihan dan tujuan dari pendirian Partai Demokrat, di mana para kadernya didorong untuk beretika politik yang bersih, cerdas dan santun, menjunjung nilai-nilai kebangsaan dan nasionalis sekaligus religius. Bagaimanakah hal itu dapat dicapai? Upaya pengkaderan macam apa yang layak dirancang dan diprogramkan guna mewujudkan perilaku politik yang beretika seperti itu?

Pertama-tama patut ditanamkan suatu kesadaran bahwa politik yang hendak kita perjuangkan bukanlah semata politik kekuasaan melainkan suatu politik yang mengedepankan panggilan pengabdian demi kesejahteraan masyarakat luas. Dengan demikian, nilai-nilai luhur warisan budaya bangsa ini dapat diimplementasikan dalam perilaku keseharian serta menjadi acuan bagi pengambil keputusan dan kebijakan. Di sisi lain, politik yang berbudaya juga mensyaratkan adanya masyarakat yang kritis, yang melihat perbedaan pandangan serta perdebatan wacana antarpartai sebagai suatu kewajaran demokrasi.

Dialektika antara partai dan politikus serta masyarakat yang kritis, diyakini akan memperluas medan kesadaran baru dalam berbangsa dan bernegara, yang menjadikan era keterbukaan ini sebagai hal yang produktif, bukan semata pertikaian dan luapan kebencian lantaran berbeda ideologi atau pandangan. Bila ini berlangsung dalam suatu proses yang berkelanjutan, jelaslah demokrasi kita tidak akan terjebak pada sekadar prosedural, melainkan sungguh-sungguh mewarnai kehidupan keseharian sosial politik negeri ini. Terbuka peluang, melalui serangkaian tahapan dan proses itu, para politikus bermetamorfosis menjadi para negarawan.

Terlebih lagi, bila kita sedia mengkaji tentang adanya kenyataan bahwa Indonesia adalah sebuah republik yang masyarakatnya majemuk, multietnis dan multikultur, serta tengah menghadapi dinamika percepatan perubahan sebagai akibat hadirnya nilai-nilai global, buah dari kemajuan teknologi informatika yang nan canggih itu. Di samping itu, Indonesia yang memiliki letak yang strategis antara dua benua, Asia dan Australia, serta dua samudera, Hindia dan Pasifik, menghadapi tantangan ke depan yang memerlukan suatu pola penanganan yang holistik berlandaskan kerja sama semua pihak tanpa terkecuali. Upaya mengatasi problematik bangsa ini, memang bukan hanya tugas Presiden sebagai eksekutif beserta jajaran pemerintahnya, akan tetapi juga merupakan tanggung jawab anggota legislatif, yudikatif dan, terkait di dalamnya, para profesional aneka bidang, serta para pelaku politik yang berbudaya.

Peran Museum

Guna membangun politik yang berbudaya tersebut, tak dapat diabaikan peran museum yang sesungguhnya terbilang strategis. Tidak seperti yang selama ini dibayangkan oleh sebagian masyarakat awam, museum terbukti dapat difungsikan sebagai laboratorium kebudayaan, di mana para ahli, pakar aneka bidang dan juga generasi muda dapat mengembangkan ide-ide kreatif dan gagasan-gagasan cerdasnya berdasarkan suatu telaah yang lebih mendalam terhadap apa yang telah dicapai para leluhur melalui karya-karya berupa apapun yang tersimpan di dalam museum. Saya kira adalah suatu yang tidak berlebihan bila kita berupaya menjadikan museum beserta organisasi pengelolanya menjadi semacam center of excellence. Yakni, semacam laboratorium yang memungkinkan para ahli untuk melakukan suatu kajian dan program akademis secara tepat guna dan tepat makna, guna mengembangkan pemikiran atau menghasilkan kreasi-kreasi inovatif yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa, baik itu tataran filosofis maupun tataran praksis. Masing-masing selayaknya terpanggil untuk mengadakan pembenahan menyeluruh serta pencanangan program yang saling sinergi seraya menyadari bahwa museum juga merupakan salah satu sarana pembangunan karakter dan pekerti bangsa (nation and character building).

Secara lebih fokus dan khusus, dengan menimbang bahwa museum bisa menjadi center of excellence serta laboratorium kebudayaan seperti disinggung di atas, sinergi seni tersebut patut diketengahkan dalam wujud program-program nyata yang lebih terarah dan berkelanjutan guna mendorong upaya-upaya pembentukan karakter dan watak bangsa. Sebab hanya negara yang telah menemukan jati dirinya serta kuasa mengukuhkan nation and character building-nya, berpeluang untuk unggul dalam persaingan global. Dengan demikian, sudah tidak pada tempatnya lagi di era demokratis ini untuk melakukan dikotomi antara berbagai kepentingan dan idealisme atas nama apapun. Bahkan dalam titik kesadaran tertentu, saya mencoba mewujudkan apa yang menjadi keyakinan hidup yakni the art of business in the business of art (seni berbisnis dalam bisnis seni), serta the art of excellence, atau seni kesempurnaan, di mana kita tidak puas hanya sekadar menjadi mediocre (setengah-setengah saja).

Bila politik yang berbudaya tersebut sudah mewujud dalam kenyataan demokrasi kita, maka pemilu akan berlangsung sebagai perayaan dan pesta kebersamaan, yang mengemuka adalah kegembiraan dan sportifitas serta pengakuan akan keunggulan kompetitor tanpa perlu merasa menjadi pecundang yang tak kunjung henti dari sakit hati.

*) Penulis adalah Ketua Departemen Kebudayaan dan Pariwisata DPP Partai Demokrat serta Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia (AMI)

Dimuat di situs resmi Partai Demokrat, www.demokrat.or.id pada 12 September 2012.

Sentuhan Keindahan Seorang Negarawan

Oleh: Putu Supadma Rudana, MBA

Setiap pertemuan akan lebih berharga, bila kita sanggup memberi sentuhan rasa, meski itu terkesan sederhana tapi sejatinya penuh makna. Pada suatu hari saya berkesempatan berjumpa Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Saya beruntung, bukan saja Beliau seorang Presiden yang pribadinya tulus dan bijak, melainkan juga karena menaruh perhatian yang sungguh tak terduga. Dengan penuh empati, Beliau menuliskan “Untuk Sdr. Putu Supadma Rudana, Excellent,’ SBY, 19 Juni 2009” dalam buku Treasure of Bali.

Peristiwa itu terjadi di Museum Nasional, Jakarta. Sedangkan Treasure of Bali adalah buku tentang museum-museum yang ada di Bali. Sejujurnya saya gembira dan tidak mengira akan mendapat kejutan penuh arti. Sebuah sentuhan rasa, indah dan penuh hikmah.

Jauh sebelum kejadian itu, saya memang menaruh hormat dan salut pada pola kepemimpinan Beliau yang selalu mengedepankan pendekatan santun dan bermartabat. Dari berbagai berita mengenai langkah dan kebijaksanaan yang ditetapkan serta berhasil diwujudkan, banyak pihak terkesan oleh adanya konsistensi tindakan dan keutuhan pandangan yang mendasarinya.

Konsistensi tindakan dan keutuhan pandangan tersebut tercermin sedari awal masa pemerintahan Bapak SBY. Saya, dan tentu sebagian besar rakyat Indonesia, masih ingat bagaimana di tahun pertama masa Kabinet Indonesia Bersatu terjadi dukacita nasional, tsunami, yang menimpa saudara-saudara kita di Aceh. Di saat bencana itu terjadi, Beliau sedang berada di Nabire, Papua, untuk memberi dukungan semangat kepada saudara-saudara sebangsa yang baru saja mengalami gempa bumi luar biasa. Inilah yang mengesankan saya, sebagai Presiden, Pak SBY memutuskan terbang langsung ke Aceh tanpa kembali dulu ke Jakarta, meski lantaran itu pesawat yang ditumpanginya harus transit berkali-kali.

Tindakan ini jelaslah menegaskan konsistensi sikap kepemimpinan yang dianutnya, yakni berupaya untuk bisa berada di tengah rakyat, terutama yang sedang menderita tertimpa bencana. Ketetapan hati untuk terbang langsung itu juga memiliki arti simbolis; penerbangan dari Papua ke Aceh pada hakikatnya mewakili semangat ke-Indonesia-an, suatu kehendak mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Bila kita mempelajari langkah-langkah dan kebijakan yang telah dan tengah dijalankan selama ini, sebagaimana salah satu contoh di atas, jelaslah bahwa SBY bukan hanya politikus mumpuni, namun juga seorang negarawan dalam arti yang sebenar-benarnya. Secara tersurat atau pun tersirat, berulang kali Beliau mengingatkan bahwa bila kita lalai, abai dan tak hati-hati dalam meniti arus sejarah ini, bukan mustahil semangat kebersamaan yang telah dirintis dengan susah payah oleh para founding fathers, cepat atau lambat akan terkikis dan tergerus. Terlebih lagi, kita adalah republik yang masyarakatnya terbilang majemuk, multietnis, dan multikultur.

Langkah Beliau memang penuh dengan pertimbangan, dan keputusan senantiasa ditetapkan berdasarkan kebulatan pandangan yang diwarnai semangat ke-Indonesia-an. Cermatilah segala hal di balik kehati-hatian yang jadi pegangannya, terlihat benar bahwa itu merupakan tahapan demi tahapan pemikiran yang matang.

Sebagai Presiden Indonesia yang pertama kali langsung dipilih oleh rakyat secara demokratis, SBY juga konsisten dan komitmen menegakkan dan memperjuangkan demokrasi serta tegaknya hukum di negeri ini. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, pun memuji pesatnya pertumbuhan demokrasi di tanah air kita ini. Juga pernyataan dari Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud M.D., belum lama ini yang menegaskan Presiden tak pernah sekalipun melakukan intervensi terhadap segala keputusan hukum yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Sebagai seorang politikus, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr. Dino Patti Djalal melalui catatan hariannya dalam buku Harus Bisa, terbukti memiliki common touch (sentuhan kerakyatan) yang mendalam. Ini terbukti dari berbagai program pemerintah selama ini yang senantiasa berpihak pada nasib rakyat kebanyakan.

Mengakhiri tulisan ini, saya yang sehari-hari dilimpahi oleh hikmah karya-karya seni para maestro negeri ini, berkeyakinan bahwa dalam setiap ucapan, tindakan dan kebijaksanaan Beliau selaku pengayom bangsa ini, telah teruji serta senantiasa penuh dengan empati dan simpati; penuh dengan sentuhan keindahan seorang negarawan.***

Tulisan ini telah dimuat dalam ‘Buku Energi Positif, Opini 100 Tokoh Mengenai Indonesia di Era SBY’, Penerbit Red & White Publishing, 2009