Category: Tutur Figur

Sentuhan Keindahan Seorang Negarawan

Oleh: Putu Supadma Rudana, MBA

Setiap pertemuan akan lebih berharga, bila kita sanggup memberi sentuhan rasa, meski itu terkesan sederhana tapi sejatinya penuh makna. Pada suatu hari saya berkesempatan berjumpa Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Saya beruntung, bukan saja Beliau seorang Presiden yang pribadinya tulus dan bijak, melainkan juga karena menaruh perhatian yang sungguh tak terduga. Dengan penuh empati, Beliau menuliskan “Untuk Sdr. Putu Supadma Rudana, Excellent,’ SBY, 19 Juni 2009” dalam buku Treasure of Bali.

Peristiwa itu terjadi di Museum Nasional, Jakarta. Sedangkan Treasure of Bali adalah buku tentang museum-museum yang ada di Bali. Sejujurnya saya gembira dan tidak mengira akan mendapat kejutan penuh arti. Sebuah sentuhan rasa, indah dan penuh hikmah.

Jauh sebelum kejadian itu, saya memang menaruh hormat dan salut pada pola kepemimpinan Beliau yang selalu mengedepankan pendekatan santun dan bermartabat. Dari berbagai berita mengenai langkah dan kebijaksanaan yang ditetapkan serta berhasil diwujudkan, banyak pihak terkesan oleh adanya konsistensi tindakan dan keutuhan pandangan yang mendasarinya.

Konsistensi tindakan dan keutuhan pandangan tersebut tercermin sedari awal masa pemerintahan Bapak SBY. Saya, dan tentu sebagian besar rakyat Indonesia, masih ingat bagaimana di tahun pertama masa Kabinet Indonesia Bersatu terjadi dukacita nasional, tsunami, yang menimpa saudara-saudara kita di Aceh. Di saat bencana itu terjadi, Beliau sedang berada di Nabire, Papua, untuk memberi dukungan semangat kepada saudara-saudara sebangsa yang baru saja mengalami gempa bumi luar biasa. Inilah yang mengesankan saya, sebagai Presiden, Pak SBY memutuskan terbang langsung ke Aceh tanpa kembali dulu ke Jakarta, meski lantaran itu pesawat yang ditumpanginya harus transit berkali-kali.

Tindakan ini jelaslah menegaskan konsistensi sikap kepemimpinan yang dianutnya, yakni berupaya untuk bisa berada di tengah rakyat, terutama yang sedang menderita tertimpa bencana. Ketetapan hati untuk terbang langsung itu juga memiliki arti simbolis; penerbangan dari Papua ke Aceh pada hakikatnya mewakili semangat ke-Indonesia-an, suatu kehendak mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Bila kita mempelajari langkah-langkah dan kebijakan yang telah dan tengah dijalankan selama ini, sebagaimana salah satu contoh di atas, jelaslah bahwa SBY bukan hanya politikus mumpuni, namun juga seorang negarawan dalam arti yang sebenar-benarnya. Secara tersurat atau pun tersirat, berulang kali Beliau mengingatkan bahwa bila kita lalai, abai dan tak hati-hati dalam meniti arus sejarah ini, bukan mustahil semangat kebersamaan yang telah dirintis dengan susah payah oleh para founding fathers, cepat atau lambat akan terkikis dan tergerus. Terlebih lagi, kita adalah republik yang masyarakatnya terbilang majemuk, multietnis, dan multikultur.

Langkah Beliau memang penuh dengan pertimbangan, dan keputusan senantiasa ditetapkan berdasarkan kebulatan pandangan yang diwarnai semangat ke-Indonesia-an. Cermatilah segala hal di balik kehati-hatian yang jadi pegangannya, terlihat benar bahwa itu merupakan tahapan demi tahapan pemikiran yang matang.

Sebagai Presiden Indonesia yang pertama kali langsung dipilih oleh rakyat secara demokratis, SBY juga konsisten dan komitmen menegakkan dan memperjuangkan demokrasi serta tegaknya hukum di negeri ini. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, pun memuji pesatnya pertumbuhan demokrasi di tanah air kita ini. Juga pernyataan dari Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud M.D., belum lama ini yang menegaskan Presiden tak pernah sekalipun melakukan intervensi terhadap segala keputusan hukum yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Sebagai seorang politikus, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr. Dino Patti Djalal melalui catatan hariannya dalam buku Harus Bisa, terbukti memiliki common touch (sentuhan kerakyatan) yang mendalam. Ini terbukti dari berbagai program pemerintah selama ini yang senantiasa berpihak pada nasib rakyat kebanyakan.

Mengakhiri tulisan ini, saya yang sehari-hari dilimpahi oleh hikmah karya-karya seni para maestro negeri ini, berkeyakinan bahwa dalam setiap ucapan, tindakan dan kebijaksanaan Beliau selaku pengayom bangsa ini, telah teruji serta senantiasa penuh dengan empati dan simpati; penuh dengan sentuhan keindahan seorang negarawan.***

Tulisan ini telah dimuat dalam ‘Buku Energi Positif, Opini 100 Tokoh Mengenai Indonesia di Era SBY’, Penerbit Red & White Publishing, 2009

Museum, Generasi Muda dan Masa Depan Bangsa

Lomba Mewarnai, Menggambar, Kartun dan Karikatur, Semarak

Sumber: Denpost, Rabu, 2 Juni 2010

Museum bukan hanya sebagai wadah untuk menyimpan berbagai hasil karya manusia yang sarat dengan muatan sejarah dan estetika, melainkan juga bisa diolah menjadi suatu laboratorium kebudayaan. Melalui museum pula, para ahli serta generasu muda mampu mengembangkan aneka gagasan yang kreatif berdasarkan beragam karya peninggalan para leluhur yang sungguh adiluhung. Ketua IV Asosiasi Museum Indonesia (AMI) yang membawahi bidang Informasi, Komunikasi dan Publikasi, Putu Supadma Rudana, MBA., menyebutkan hal itu dalam acara lomba mewarnai, menggambar, kartun dan karikatur yang bertajuk “Museum, Generasi Muda dan Masa Depan Bangsa” serta Sunday Gathering di Museum Rudana, Peliatan, Ubud, Minggu (30/5) lalu.

Dia menambahkan, museum juga bisa menjadi center of excellence, sehingga harus dimaknai sedalam-dalamnya oleh generasi muda, agar mereka tampil sebagai pribadi yang kukuh dan teguh bila kelak dipercaya menjadi pemimpin bangsa yang besar ini. Pemimpin yang terpanggil untuk membawa bangsa ke arah kemajuan dan kemakmuran sebagaimana diamanatkan oleh para founding fathers, pendiri bangsa dan negara Indonesia tercinta ini.

Menurut Putu Rudana, upaya yang dilakukan oleh Kelompok Media Bali Post (KMB) sesungguhnya sejalan dengan semangat AMI yaitu menjunjung kebhinekaan bangsa ini melalui kehhadoran dan peran museum yang terbukti amat strategis.

Rangkaian kegiatan lomba tersebut, tambah Putu Rudana, merupakan cerminan betapa hangat dan berharganya suatu kebersamaan dan sinergi budaya yang terjalin selama ini antara KMB sebagai media massa Pengemban Pengamal Pancasila, dengan pendiri dan pengelola museum di Bali, khususnya dengan Museum Rudana.

Diungkapkan pula bahwa AMI punya 275 anggota permuseuman secara nasional, serta terbagi atas 7 asosiasi daerah, di antara Bali atau Himusba, yang kiprahnya senantiasa menjadi acuan dan cermian asosiasi daerah lain.

Selain itu, AMI merupakan mitra strategis Direktorat Museum Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, sekaligus menjembatani aspirasi serta gagasan seluruh anggota permuseuman nasional untuk dikomunikasikan kepada pemerintah sehingga menjadi program nyata nasional yang unggul, sekaligus mensolusikan segala permasalahan secara santun dan damai serta dijiwai semangat persaudaraan.

“Di sinilah, suatu sinergi yang terjaga dengan berbagai media amatlah diperlukan agar segala aspirasi, gagasan maupun kebijakan tadi mampu dikomunikasikan secara utuh lagi menyeluruh. Dengan adanya kebersamaan di antara kita, saya yakin kita akan bisa menghargai, menjiwai serta menggaungkan seni budaya bangsa, bahkan hingga ke seluruh dunia,” tandas Putu Rudana.

Kesadaran Budaya Penting Ditumbuhkan

Salah Satu Upaya Ajak Anak ke Museum
Sumber : Bali Post, 8 Januari 2010

Anak-anak penting terus ditumbuhkan kesadaran budayanya. Kesadaran itu bisa ditumbuhkan di rumah, melalui sekolah dan sebagainya. Salah satu upaya untuk menumbuhkan kesadaran budaya itu yaitu dengan mengajak anak-anak ke museum. Demikian antara lain dikatakan Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Dr. Biranul Anas Zaman ditemui saat berkunjung ke ISI Denpasar bersama rombongan dosen, Kamis (7/1) kemarin.

Dikatakannya, kunjungan ke ISI Denpasar karena beberapa alasan, di antaranya posisi ISI Denpasar berada pada khazanah budaya yang kaya dan terkenal, baik di Indonesia maupun di mancanegara. Pihak FSRD ITB ingin menjalin kerjasama dalam rangka pertukaran pengetahuan (akademik). Dengan demikian kedua lembaga mendapat manfaat dalam rangka pengembangan diri ke depan.

Didampingi dosen FSRD ISI Denpasar, Made Rinu, PR I ISI Ketut Murdana dan PR III Nyoman Subrata, Prof. Biranul mengatakan, dengan diperkenalkan kekayaan seni budaya Indonesia lewat mata pelajaran di sekolah, kesadaran budaya anak-anak diharapkan semakin tumbuh. Guru-guru kesenian juga penting terus ditingkatkan kualifikasinya. “Jangan ragu-ragu menggunakan doctor untuk mengajar anak SD. Banyak sekolah di negara maju, kepala sekolahnya bergelar doctor, demikian juga guru keseniannya. Itu penting untuk menanamkan kebanggaan terhadap visi kebudayaan yang hanya dapat diartikulasikan oleh orang yang paham betul tentang hal itu, “ katanya.

Anak-anak Indonesia, terlebih para seniman mesti memiliki kesadaran budaya. “Di samping itu, seniman juga mesti memiliki ilmu pengetahuan, tak hanya menyangkut seni budaya juga pengetahuan lain,” tambahnya.

Tak kalah pentingnya, seniman mesti memiliki sense of quality (kepekaan mutu). Jika memiliki kepekaan mutu yang tinggi, mereka akan menjadi sosok seniman yang siap bersaing. Untuk menjadi seniman yang bermutu, tentu memerlukan proses.
Di sisi lain, Prof. Biranul Anas Zaman mengatakan, seni rupa Indonesia sesungguhnya telah mendunia. Dari sejak masa lalu hingga kini berbagai macam seni sudah dikenal oleh masyarakat dunia. Karena itu, agar seni rupa Indonesia lebih dikenal, seniman-seniman Indonesia mesti terus mengasah diri dengan belajar dan belajar. Dalam menghadapi situasi persaingan global yang begitu tajam, tidak ada jalan lain kecuali belajar secara formal. Dengan belajar secara akademik, dalam waktu singkat mereka mengalami lompatan ilmu pengetahuan yang amat memadai. Dengan demikian, mereka akan dapat melompat menjadi seniman yang lebih mendunia.

Di samping itu, promosi seni rupa perlu lebih digencarkan lagi ke segala arah. Mutu seni rupa kita luar biasa, tradisi dan sejarah kita begitu panjang. “Banyak orang di dunia belum tahu hal itu. Itu senantiasa harus disegarkan, karena negara lain juga melirik apa yang kita punya untuk dijadikan milik atau identitas mereka.”, terangnya. (lun)

Supaya Tetap Eksis, Perlu Reinterpretasi Museum

Sumber : Denpost, Rabu, 6 Januari 2010

Tantangan pengembangan Museum di era global menjadi perbincangan menarik dalam sarasehan terbuka di Museum Seni Lukis Klasik Nyoman Gunarsa, Klungkung, Selasa (5/1) kemarin serangkaian penganugerahan Pers K. Nadha Nugraha. Dalam sarasehan terungkap mengenai pentingnya upaya reinterpretasi museum agar kehadirannya tetap eksis dalam dinamika zaman. Pihak pengelola museum juga dituntut menonjolkan keunikan koleksi dan fisik, selain memperhatikan masalah kuratorial dan restorasi.

Pada sarasehan kemarin dihadirkan dua narasumber yakni Pande Wayan Suteja Neka, pemilik museum Neka, Ubud, dan Dekan Fakultas Sastra Unud, Prof.Dr. I Wayan Ardika, M.A.

Acara berlangsung dengan hangat dengan moderator Wayan Kun Adnyana, seniman yang juga dosen Seni Rupa ISI Denpasar.
Suteja Neka memaparkan topik “Untuk Apa Museum Dibangun?”, sedangkan Ardika mengulas museum sebagai pembentuk karakter bangsa.

Dalam sesi diskusi, budayawan Prof. Dr. Made Bandem yang hadir dalam kesempatan itu mengomentari masalah pengelolaan museum yang dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, pentingnya upaya reinterpretasi, kedua soal keunikan koleksi dan fisik, dan ketiga tentang kuratorial dan restorasi.

“Masyarakat saat ini masih menganggap museum sebagai gudang barang-barang antik dan kuno, sehingga kebanyakan orang masih memilih datang ke galeri untuk menikmati karya seni. Karenanya, manajerial museum sangat penting untuk menghidupkan kembali koleksi yang dimiliki,” papar mantan Rektor ISI Yogyakarta tersebut.

Karenanya, Bandem menganggap upaya reinterpretasi sebagai kebutuhan mutlak bagi pengelola museum. Hal ini, kata dia, bisa dilakukan dengan mengadakan diskusi secara berkala sehingga berkesempatan menjelaskan kembali soal koleksi yang dimiliki museum tersebut. Selanjutnya, untuk menarik perhatian masyarakat penonjolan keunikan museum dengan ikon tertentu juga sangat dibutuhkan. Dicontohkan Bandem, dengan lukisan “Monalisa” karya Leonardo da Vinci yang telah menjadi ikon dari museum di Eropa. Kendati koleksi lain di museum itu sama bernilai, karya itu menjadi daya tarik untuk kedatangan para pengunjung. Sedangkan soal koratorial dan restorasi akan menjaga kesegaran koleksi museum. Seperti museum yang punya banyak koleksi hendaknya bisa menyajikan koleksinya secara bergiliran sehingga memberikan kesan yang baru.
Sebelumnya, Prof. Ardika juga menekankan pentingnya unsur kebaruan dalam sebuah museum kendati koleksinya benda-benda masa lampau. “Untuk pengembangan museum, mesti memperhatikan perkembangan masa kini, diikuti oleh penataan yang menarik, serta diperlukan pemanfaatan informasi teknologi,” papar Ardika.

Benda-benda koleksi museum juga perlu dirawat dengan penataan menarik.

Terkait kunjungan generasi muda ke museum, Ardika mengharapkan dilakukan rekayasa budaya dengan mengagendakan kedatangan pelajar ke museum secara berkala.

Museum sama dengan masa lalu yang sangat penting sebagai cermin atau refleksi di kehidupan masa sekarang. Diibaratkan masa lalu tersebut sebagai akar yang tidak boleh dilupakan dengan fungsi penting yang dimiliki dalam kelangsungan kehidupan dan sebagai jati diri bangsa.

Salah seorang pelajar yang hadir dalam sarasehan, Novi, sempat mengungkapkan pesimismenya dengan harapan kunjungan generasi muda ke museum. Pasalnya, untuk mendapatkan informasi apa pun sangat mudah diakses melalui internet tanpa mesti berkeringat turun ke lapangan. Hal ini segera ditanggapi Ardika sebagai suatu tantangan bagi pengelola museum agar bisa semakin dicintai masyarakat khususnya generasi muda.

Sedangkan Pande Wayan Suteja Neka banyak memaparkan pengalamannya dalam mengelola museum yang mengoleksi lukisan karya seniman yang terinspirasi dengan budaya Bali. Selain lukisan, Neka juga mengoleksi keris sebagai pusaka bangsa yang diakui UNESCO. (tap)

Putu Supadma Rudana : Nonverbal ke Masa Depan

Di usia 34 tahun, Putu Supadma Rudana sudah berinteraksi dengan seniman – seniman sekaliber master, juga dengan Presiden R.I. Jalan apa yang telah ia lewati untuk berada di titiknya sekarang ini?

Jalan Raya Ubud, Sabtu pagi, matahari cerah menembus daun-daun di pepohonan lebat, musik tradisional Bali merayap di sepanjang jalan, mengikuti orang-orang berpakaian adat putih dan gadis-gadis berkebaya, kendaraan di seisi jalanan terhenti, mengalah pada upacara adat pagi. Galeri-galeri kecil bersisian mengapit jalan, mereka berjejalan dengan aneka lukisan yang meramaikan Ubud. Inilah kawasan seniman, lukisan-lukisan begitu meresap sampai ke tepi-tepi jalan.

Tak jauh dari kemacetan, bergeser ke arah selatan, di tepian hamparan sawah hijau, suasana sangat berbeda, di sini (kawasan Peliatan) ketenangan seperti menyapu alam. Di dalam keheningan, pergesekan angin dan daun kelapa bisa jelas terdengar. Tiupan angin bisa turun ke bawah ke anak-anak tangga menuju pintu masuk sebuah bangunan besar yang menyimpan lukisan-lukisan agung karya pelukis handal Indonesia. Gedung ini berwarna abu-abu batu dan aksen warna tanah oranye yang khas Bali, inilah Museum Rudana yang sohor, museum yang menyimpan karya-karya kelas master.

Sebelum masuk seorang anak muda telah menunggu ramah, namanya Putu Supadma Rudana (34), orangnya sangat sederhana, tinggi dan ramping, berkulit gelap, murah tersenyum, bahasa tubuhnya santai dan pandangan mata yang damai. Semua yang ada dalam dirinya ini tergolong biasa saja, tapi ternyata elemen ‘biasa saja’ inilah yang membuatnya jadi powerful. Ia mampu menyandingkan karya delapan orang pelukis kaliber master di Indonesia dalam satu ruangan, siapa yang pernah melakukan? Belum ada. Semua seniman punya ego dan sensitivitas tinggi. Siapa yang sanggup menggandeng Srihadi Soedarsono, Made Budhiana dan Nyoman Erawan di satu dinding? Siapa yang kuat mempertemukan Made Wianta, Sunaryo dan Nyoman Gunarsa, untuk saling bersisian? Dan Putu sudah melakukannya. Bagaimana?

Dalam seni kelas unggul, tentu uang bukan alat untuk memersatukan segalanya. Karena kalau iya, tentu persandingan delapan pelukis master sudah lama ada. Berarti ada hal lain yang diperlukan. Coba lihat apa yang telah dilakukan Putu, ia menggunakan unsur yang paling dasar, kerendahan hati serta impian yang tinggi. Menurut Putu, berbicara dengan seniman itu tidak bisa mengandalkan bahasa verbal, kita harus menggunakan hati, cermat membaca sinyal-sinyal nonverbal, dan ini memerlukan kerendahan hati yang sabar.

Impian yang setinggi langit juga diperlukan, para seniman adalah para pemimpi, dan Putu mengimbangi mereka dengan impian pribadinya, ia percaya bahwa seni adalah aset besar untuk kemajuan Indonesia. Formula inilah yang ia pakai untuk mempertemukan para pelukis senior. Dalam prosesnya tentu ini disokong pula dengan kepandaian Putu dalam melobi dan bernegosiasi. Putu memiliki titel Bachelor of Science dari Maryville University, St. Louis, Amerika (1996). Juga titel Master of Business Administration dari Webster University of St. Louis, Amerika (1998).

Lalu bagaimana Putu tidak membabi buta untuk memasukkan setiap seniman dalam kelas master?

“Saya senang menilai karya seni, saya diberikan hal yang luar biasa, di samping mata saya dikaruniai hati dan jiwa, saya percaya bisa melihat karya seni mana yang bagus dan berpotensi. Mungkin karena saya dilahirkan dalam lingkungan seni, dari kecil sering bertemu dengan banyak seniman, Affandi sudah seperti kakek sendiri, dengan Nyoman Gunarsa ketika saya kecil, saya ikut-ikutan melukis di sampingnya. Pelukis-pelukis muda seperti Erawan dan Budhiana sudah seperti kakak sendiri, jadi dari awal secara alamiah memahami cara pikir dan pergaulan seniman. Saya kira saya punya indera keenam”.

Putu anak pertama dari empat bersaudara, ayahnya, Nyoman Rudana (tokoh yang sangat dekat dengan seniman) adalah pendiri Museum Rudana. Pergaulan Nyoman Rudana dengan seniman-seniman tentu mewarnai pertumbuhan Putu, termasuk kelihaiannya beredar di kalangan seniman seperti saat ini. Tidak hanya bergaul, Putu juga ikut berperan. Kini ia menjadi Ketua III Himpunan Museum Bali, dengan gebrakan nyata yang telah ia capai berupa penerbitan buku hardcover mewah berjudul Treasures of Bali, sebuah buku panduan tentang museum penting di Bali, dan telah didistribusikan secara internasional. Program bukunya ini tidak lenyap ditelan angin, ia memeroleh sambutan hangat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden menorehkan predikat Excellent kepada Putu, lewat tulis tangan langsung di atas cover buku yang diluncurkan. Tentu presiden tidak sembarang mengeluarkan statement, pasti telah ada perhitungan agar siapa saja bisa mencontoh apa yang telah dilakukan Putu.

Apa untungnya bergaul dengan seniman master ?

“Luar biasa. Yang saya dapatkan …, walau mereka diam dalam melukis dan berkarya, mereka sebenarnya berbahasa nonverbal, mereka berfilosofi. Kita kadang-kadang selalu berusaha mengucapkan sesuatu untuk menjelaskan banyak masalah, sementara seniman hanya menggores di kanvas, dan dengan kekuatan batin, mereka bisa menunjukan segalanya. Mereka jarang berkata tidak, tapi kita harus pandai memahami kapan mereka tidak setuju. Dalam hal ini saya belajar dari Bapak Joop Ave, dia guru saya untuk komunikasi, dia menekankan bahwa bahasa nonverbal ini harus dikuasai”.

Putu melangkah naik ke Museum Rudana, interior luas bersegi empat membuat semua lukisan yang tergantung bisa dilihat dari arah mana saja. Putu melangkah pelan menjelaskan satu per satu setiap lukisan yang dilewati di luar kepala. Tidak seperti museum atau galeri lain yang berpameran lalu selesai acara semua lukisan dikembalikan ke pelukisnya, Museum Rudana dan Rudana Fine Art Gallery yang dipimpin Putu melakukan sistem yang berbeda.

“Di sini kami investasikan dana untuk mengoleksi semua karya. Kami beli dulu semuanya, barulah berpameran. Setelah itu kami promosikan habis-habisan, ini memang tidak mudah, terutama untuk seniman-seniman kelas master, mereka akan menilai dulu tempat kelayakan karya mereka dipamerkan”.

Di awal kiprahnya di ladang seni ini, Putu kerap dihujani berbagai kritikan, menurutnya pujian malah jarang ada. “… tapi saya terus berbuat, tak mundur hanya karena kritikan, tujuan saya baik dan positif, saya ingin menunjukan bahwa Indonesia memiliki seniman-seniman terbaik yang luar biasa. Apa yang saya lakukan ini lengkap dengan konsekuensinya. Saya berbuat komplit dengan resikonya, tapi kalau kita sudah kenal tujuan kita, tentu kita bisa meminimalkan resikonya. Saya yakin, di masa depan nanti benefit yang timbul akan luar biasa berguna untuk bangsa Indonesia”, ujar Putu.

Kesibukan Putu bukan melulu di ladang seni, saat ini ia pun sibuk di ladang minyak dan gas bumi, ia menjabat Wakil Ketua Himpunan Pengusaha Minyak dan Gas Bumi Bali. Ia juga sibuk di ladang golf, Putu adalah Ketua III Persatuan Golf Indonesia Pengurus Daerah Bali. Dalam deretan kesibukan ini, Putu masih bekerja keras untuk persiapan membawa keliling dunia karya delapan seniman yang sudah ia tetapkan sebagai Modern Indonesian Masters. Putu Supadma Rudana tengah mempersiapkan World Tour untuk Srihadi Soedarsono, Nyoman Gunarsa, Nyoman Erawan, Made Budhiana, Sunaryo Sutono, Made Wianta, Made Djirna dan Wayan Darmika. Ia masih muda, tentu masih punya waktu untuk mengejar cita-cita mulia.

Soap Magazine
Edisi 03 Maret 2008
Teks : Syahmedi Dean, Foto : Yano Sumampow

Interview With Putu Rudana

He’s young, handsome and now exceedingly well known since his billboards and activities are all over the island and country. But what’s behind this stylish, modern, smiling presentation. NOW! Bali’s Alistair Speirs went to the quiet and peaceful, manicured grounds of Rudana Museum to meet the man himself. Here’s part of a wide ranging discussion on culture, politics, life, creativity, responsibility and the future of the world!

As we approach the Presidential elections how do you think democracy has help Bali?

Democracy is a process of inspiring people. At some point people will begin to understand that happiness is inside, that happiness is serving, and that democracy is not about sacrificing other people but sacrificing yourself.

If we see Bali in the perspective of culture, the palaces are always close the temples, and so everywhere people are equal through religion. Bali is part of Indonesia and our “Tatwam Asi” (I as you, you as me) philosophy can guide and inspire the both Indonesia and world.

Do you think Indonesia as a nation is heading in the right direction?

I have great respect for our founding fathers and what they have achieved for Indonesia:
• Sukarno (Indonesia’s first President) was a great leader who inspired the people.
• Suharto (the second president) I greatly admire for his politeness (santun) and his amazing ability to speak to the common people.
• SBY (the current President) this is a man who doesn’t just talk but actually does things
Yes we are absolutely going in the right direction, 2009 should be a year of consolidating our stability and only in 2014 should we begin to look for a greater vision for the future. One note of caution though is that the levels of education in Indonesia are not get high enough so people can only express what they actually see, and what they see is not always the correct version.

What about the tourism industry which is the backbone of the economy in Bali?

Tourism is really is the staple diet of Bali so I don’t want to criticize but I am sad when I see every tourists watching poor performances because everyone trying to keep prices down. The hotel rooms here should be much more expensive, it should be a privilege to visit this wonderful island. It does seem that tourism leaders are now all heading in the same direction which is good since tourism has infinite potential but based on the spirit of Nusantara, our archipelago nation, Bali should be united with the rest of Indonesia through the sea.

But is the tourism industry being well managed in Bali?

We in the Art and Culture Business are really dedicated to our industry, “Melalui Kecintaan kepada Jiwa Bangsa”, so we can always see areas that can be improved. For example we don’t need to ban billboards just insist they are beautiful! We should not just have the exterior of buildings looking architecturally Bali but the interiors as well can be carved and styled. Petrol stations can be Bali style as well—I have already started one—and so should the airport represent our culture, it should be an art gallery greeting guest on arrival. So yet it’s being well managed but its not focused enough on being spiritually Bali, Indonesia.

So we should concentrate even more on art and culture?

Absolutely! Every country has a soul which is reflected in the products it makes. Look at Germany with Mercedes, USA with Boeing, Japan with Sony and Korea with Samsung. We should also have products which reflect our soul, which is based on art and culture in addition to technology.

How can we achieve that?

First by seeing that tourism is a source of income, but that culture needs to be protected and funded to keep it pure and intact. These should be managed by separate ministries. Art and culture should be managed with love.

So you do recognize the importance of tourism as a foreign exchange earner?

Yes of course but we should concentrate on quality not quantity. When people come here they should “experience” Bali not just sightsee, they should join in the rice planting, understand the subak (irrigation system), and watch the padi (experiencing rice harvesting). There is great “Taksu” in this experience–added value to your life. Here you can really understand “Tri Hita Karana” the relationship between God, Man, and Nature. So there is so much more value we can give to tourists and so much more contribution we can expect from tourism.

And what is your vision for future?

Great nations understand the soul of their country. They cannot build the soul by copying from others, that’s just consumptive not creative. So we must understand our archipelago, use our rivers and oceans to their best potential. We must subsidize our farmers to ensure our roots in agriculture are preserved. And above all I have a dream that all sectors of our country; legislative, executive and corporate sectors will live art and culture. That’s why the program of the government to declare 2010 as “Visit Museum Year” to get people attention back to the richness of our own culture is a great starting point for Indonesia. (NOW)

A great vision. Many Thanks.

Sumber : Now! Bali Life on the Island edisi Agustus 2009
Text : Alistair Speirs

PUTU RUDANA: MANAGER SENI DARI BALI (II)

Apa pendapat Anda tentang museum di Indonesia?

Membandingkannya dengan museum di luar negeri, saya merasa tertantang dan sedih melihat karya seni di museum pemerintah. Karya yang tadinya luar biasa, diletakkan begitu saja pada posisi tidak tepat. Karya seni itu memiliki aura atau jiwa, yang di Bali dikenal dengan taksu. Nah, pada saat melihat kondisi tersebut saya merasa tertantang bagaimana caranya melakukan branding nama museum agar lebih baik. Pemerintah kalau perlu memberi gelar pahlawan pada pendiri museum karena mereka yang melestarikan semua karya-karya seni Indonesia supaya tidak dibawa ke luar negeri.

Apa yang harus dilakukan?

Museum harus clean. Clean dalam arti juga bersih spirit bangunan itu. Kita harus menyayangi seperti kita sayang pada anak kita. Orang mungkin menganggap saya gila, namun itulah bentuk kecintaan saya pada karya seni. Jika ini terjadi museum akan memberikan cintanya balik ke kita. Makanya bangunan itu harus dibersihkan juga, supaya memiliki spirit, kekuatan jiwa. Saya percaya sekali setiap saat kita selalu dekat dengan Yang Maha Kuasa. Seni itu berhubungan dengan Tri Hita Karana, berhubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.

Mengenai kasus pencurian barang-barang museum?

Kita harus melihat dulu apakah kondisi memang benar? Atau mungkin ada hal lain. Tapi tentu kelemahannya ada pada pengelolanya sendiri. Apakah kecintaannya terhadap seni cukup? Kalau sudah ada cinta, apa pun akan dipertahankan. Makanya saya ingin mengusulkan kepada pemerintah untuk membuat sebuah tempat – semacam taman – ratusan hektar, untuk menampung karya-karya seni. Kekayaan kita muncul dari sana.

Mengapa anda berbisnis minyak?

Minyak itu energi. Seni dan energi saling berhubungan karena hidup ini tidak bisa lepas dari energi, seni dan budaya. Dengan energi, badan bisa hidup, dengan seni jiwa kita mendapat makanan.

Bagaimana Anda melihat kasus pengurangan subsidi BBM?

Ini strategi yang tercepat, memilah penggunaan premium dan pertamax. Kenapa tidak dari dulu? Mungkin pemerintah sempat miss-management. Visinya kurang panjang. Saya tidak ingin mengkritik siapa pun. Ini wacana. Tapi satu hal yang bagus, pemerintah sudah menyesuaikan dengan harga dunia, tetapi mekanisme pelaksanaan di lapangan harus jelas aturannya. Sebagai pengusaha saya tentu melihat konsumsi BBM tidak akan menurun, bahkan omset bisa lebih tinggi. Kami sih oke dengan program apa saja asal dipikirkan integrasinya secara panjang. Kalau sebagai pengguna tidak masalah karena dari dulu saya selalu pakai pertamax.

Karena menjalankan bisnis keluarga, pernah ada konflik keluarga? Sulitkah?

Itu bergantung pada bagaimana kita diberi keleluasaan. Kalau ada yang tidak cocok bisa kita jelaskan. Semuanya kan masalah perception dan understanding. Perbedaan akan selalu ada, kita harus memahaminya. Tunjukkan dengan contoh sehingga bisa menjawab konflik-konflik yang ada. Ibu selalu menemani saya, sedangkan Bapak selalu memberi nasihat visi pada kami. Semuanya lebih pada toleransi, masing-masing menyadari kekurangan termasuk dengan adik pria saya Ari Putra Rudana. Sebagai manusia pasti ada kesalahan, tapi kita harus meminimalkan kesalahan itu menjadi opportunity. Sekarang ada the art of management dan the art of managing art itu sendiri.

Pernah merasa gagal?

Selama ini belum. Saya tidak mentolelir kegagalan. Makanya sebelum gagal, saya analisa dulu tapi tentunya dalam karier saya ke depan kegagalan itu pasti ada, makanya harus dikelola dulu.

Apa pencapaian tertinggi Anda?

Mampu mengelola SDM di Bali. Di sinis kan banyak seniman, pelukis. Semuanya bisa dapat rezeki. Tapi untuk seniman, please, if you have something, gunakan untuk membuat rumah, membangun keluarga, dan menyekolahkan anak-anak. Saya tidak suka jika uang yang didapat dari saya dipakai untuk foya-foya.

Siapa sumber inspirasi Anda?

Kekaguman saya bergitu besar pada Pak Srihadi. Beliau sangat sensitif, lembut, tapi dari kelembutan itu ada kekuatan yang tersembunyi. Kelembutan itu memiliki jiwa. Jadi tidak perlu berbadan besar.

Hobi Anda golf, kenapa?

Soalnya golf itu bersaing dengan diri sendiri. Saya tidak suka menyakiti orang lain untuk keberhasilan bisnis.Kita harus melangkah dengan cinta kasih dan kekuatan hati nurani.

Keluarga bagaimana?

Istri saya, Chandra Dewi seorang notaris. Saya sudah menikah 6 tahun, kebetulan belum diberi keturunan. Kami sibuk masing-masing, tetapi pada saat bertemu dapat lebih banyak berdiskusi sehingga lebih romantis. Dulu dia tidak suka seni tetapi sekarang suka bertanya. Kalau melihat karya seni tidak dia suka, ditanyakan kenapa dibeli, sedangkan jika karya seni kesukaannya dijual dia akan bertanya kenapa dijual? Filosofi saya, jika kita cinta pada sesuatu kita harus siap kehilangan sesuatu untuk memberikan sesuatu itu kepada orang lain.

Sumber: Esquire, edisi Januari 2008
Teks: Dwi Sutarjantono

PUTU RUDANA: MANAGER SENI DARI BALI (I)

Di balik usianya yang masih sangat muda, tersimpan kematangan berpikir dan ambisi besar untuk memajukan seni negeri ini.

Pagi yang artistik di Ubud Bali. Saat Esquire bertandang ke museum Rudana untuk bertemu bertemu denganManaging Director Museum Rudana & Rudana Fine Art Gallery, Presdir PT Villa Citra Padma Resort, Komisioner PT Putra Gajah Bali Perkasa, Managing Director GRP Trading Company dan PT Bali Simpang Siur Ritelindo serta CEO/Direktur Finance GRP Corporation – yang sebenarnya hanya jabatan dari satu orang – salah seorang pegawai bercerita, “Bapak baru pulang jam 1 pagi dari istana Presiden di Jakarta.”

Begitulah mungkin gambaran kesibukan ‘Bapak’ yang masih muda kelahiran Denpasar 23 April 1974 ini. Putu Supadma Rudana, putra pertama pasangan Nyoman Rudana dan Ni Wayan Olasthini. Namanya mengemuka beberapa waktu lalu ketika ia menggagas dan berhasil mengumpulkan 8 maestro seni Indonesia untuk berpameran dengan tajuk Modern Indonesia Masters (Srihadi Soedarsono, Sunaryo, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Nyoman Erawan, Made Djirna, Made Budhiana, dan Wayan Darmika.)

Kecintaan terhadap seni terutama seni lukis membuatnya tak bisa lepas dari dunia tersebut. “Memang dari kecil malah sebelum dilahirkan barangkali saya sudah sering mendengar Bapak dan Ibu saya membahas soal seni,” kata Putu yang membawahi Museum Rudana dengan koleksi sekitar 400 karya dan Rudana Fine Art Gallery, RudanaArt Foundation, Genta Fine Art Gallery, dan The Candi Fine Art Gallery yang memiliki koleksi sekitar 8000 karya.

Apa visi ataupun misi Anda di dunia seni?

Saya ingin setiap orang bisa menjadi duta promosi seni budaya yang dibekali nilai-nilai promosi. Setiap ada masalah, perlu dijadikan tantangan, jangan dilihat sebagai suatu kelemahan. Karena tantangan ke depan kita adalah kesenjangan informasi dan komunikasi, maka kita harus terus melakukannya.

Caranya? ?

Saya selalu ingin punya moto : Kalau anda ke Bali koleksilah karya seni Bali atau Indonesia. Bawalah ke rumah anda. Karena kalau sudah begitu, wisatawan mancanegara akan mulai memahami ada benda seni di rumah mereka. Dan kalau mereka nantinya punya anak, mereka pasti tanya, What is this? That’s Bali, Indonesia. One day you have to go there. Beautiful place, paradise. Paradise di sini bukan hanya dari sisi pemandangan tetapi juga memiliki orang-orang yang berkarya menciptakan karya seni dengan luar biasa dan tidak pamrih. Bahkan saking tulus ikhlasnya berkarya, mereka lupa dengan hak cipta. Seperti Pak Nyoman Gunarsa yang karyanya banyak dipalsukan.

Tidak tertarik menjadi seniman?

Kebetulan saya memang lebih suka me-manage seni. Dari kecil saya sudah seperti itu. Apalagi sekolah saya memang bisnis. Saya sekarang memosisikan untuk mampu me-manage seni dan seniman itu sendiri. Jadi seninya adalah me-manage seni.

Bagaimana anda melakukannya ?

Mantan Menparpostel Pak Joop Ave sering bilang, ”I’ve built building. I hope one day orang yang me-manage building itu adalah orang yang memahami, mencintai, dan mencurahkan segalanya untuk seni dan budaya. Pariwisata penting tetapi akarnya adalah seni dan budaya. Jiwanya di situ. Seni dan budaya yang memilikiattraction lengkap.” Ini yang harus saya lakukan untuk me-manage seni.

Ada konsep tertentu ?

Gunakanlah Bali karena memiliki nilai jual yang tinggi. Saya punya ide tagline untuk Indonesia, “Bali the heart of Asia, and the heart of the world”. Artinya Bali dicintai. Kalau kita sudah bilang cinta, Bali mau dibom kek,diapain kek, orang tetap akan datang. Indonesia sudah memiliki kekuatan untuk dicintai di seluruh dunia tinggal bagaimana kita me-manage hal itu, sehingga apa pun yang terjadi orang akan tetap mendukung Bali, dan tentunya Indonesia.

Untuk koleksi pribadi, bagaimana anda memilih?

Karya itu harus unik dan saya anggap memiliki kekuatan, serta memiliki story khusus. Contohnya salah satu lukisan Borobudur Pak Srihadi. Dari awal saya sudah melihat prosesnya. Beliau bilang karya itu memang dibuat untuk saya meskipun tidak pernah dijelaskan bagian mana yang berhubungan dengan saya dan untuk itu saya harus mencari tahu sendiri. Beliau hanya bilang, “Putu, Bapak sangat bangga pada perjuanganmu yang luar biasa.” Saya juga baru mendapat kursi kulit dari Bapak Joop Ave. Saya pikir kenapa harus kursi? Beliau hanya berpesan, “I trust the little boy.” Meski dianggap anak kecil, saya tidak merasa diremehkan, tetapi justru merasa tertantang dan termotivasi untuk berbuat yang terbaik. Untuk lukisan, saya suka gaya abstrak. Abstrak adalah pencapaian tertinggi seni lukis.

Itu sebabnya sekarang banyak pelukis abstrak?

Yang terjadi sekarang terbalik. Sesuatu malah dimulai dari yang abstrak padahal secara fundamental, realisnya belum kuat. Ini bukan mengkritisi, tetapi saya harus berani mengembalikan lagi pada kondisi bahwa para seniman besar sekarang berawal dari realis. Pak Affandi yang maestro abstrak juga mengawalinya dari realis. Untuk itu, seniman-seniman muda jangan mencari jalan pintas. Apapun yang instan tidak akan bisa kuat.

Apakah 2008 ini bagus untuk investasi di bidang seni?

Sangat-sangat oke. Para kolektor tentunya harus memiliki gambaran tentang seni. Karya yang dikoleksi sebaiknya harus sudah memiliki nama karena biasanya memiliki apresiasi tinggi. Bahkan bila lukisan Pak Srihadi dibilang harganya sudah tinggi, masih akan bisa lebih tinggi lagi.

Ada ‘ide gila’ yang ingin diwujudkan?

Saya ingin Indonesia secara budaya bisa dihargai, lalu membuat jaringan the biggest fine art in the world.Semuanya tentang seni Indonesia. Saya juga sedang merencanakan pembangunan galeri besar yang bisa memajang 10.000 karya seni kita pajang. Tahun ini Museum Rudana ingin memberikan Satria Seni Awardyang ketiga. Ini ajang 4 tahunan museum.

Pria santun ini mengaku ia sangat berbahagia sekali sewaktu Presiden SBY menjulukinya Mr.Excellent. “Saya merasa ini sebuah tanggung jawab sehingga saya tidak boleh salah dalam bertindak,” kata pria yang berambisi membangun ‘kerajaan bisnis seni’ dan menjadikan Bali sebagai living culture island.

Tahun 1998, setelah menamatkan S2-nya di Webster University of St. Louis, Amerika, Putu mantap menjalankan bisnis keluarga yang sudah dirintis ayahnya. Ia menyatukan anak perusahaan ke dalam satu payung, yakni GRP Corporation (Grup Rudana dan Putra) yang terbagi atas empat divisi: GRP Art Incorporated yang bergerak di bidang seni; GRP Investment Enterprises yang menginvestasikan dananya ke industri ritel bahan bakar minyak (SPBU Pertamina), vila, hotel, dan properti; GRP Trading Company, yang bergerak di bidang jasa; serta GRP Consulting untuk bidang konsultasi baik manajemen, legal dan bisnis administrasi.

Di tengah kesibukannya memimpin perusahaan, Putu—yang ternyata bersuara merdu saat bersenandung di mobil—juga aktif berorganisasi. Saat ini ia menjadi Wakil Ketua Hiswana Migas Bali (Himpunan Pengusaha Minyak dan Gas Bumi), Ketua III Persatuan Golf Indonesia (sering menjuarai turnamen di Bali dengan handicap 12), serta Ketua III Himusba (Himpunan Museum Bali).

Bersambung…