PUTU RUDANA: MANAGER SENI DARI BALI (I)

Di balik usianya yang masih sangat muda, tersimpan kematangan berpikir dan ambisi besar untuk memajukan seni negeri ini.

Pagi yang artistik di Ubud Bali. Saat Esquire bertandang ke museum Rudana untuk bertemu bertemu denganManaging Director Museum Rudana & Rudana Fine Art Gallery, Presdir PT Villa Citra Padma Resort, Komisioner PT Putra Gajah Bali Perkasa, Managing Director GRP Trading Company dan PT Bali Simpang Siur Ritelindo serta CEO/Direktur Finance GRP Corporation – yang sebenarnya hanya jabatan dari satu orang – salah seorang pegawai bercerita, “Bapak baru pulang jam 1 pagi dari istana Presiden di Jakarta.”

Begitulah mungkin gambaran kesibukan ‘Bapak’ yang masih muda kelahiran Denpasar 23 April 1974 ini. Putu Supadma Rudana, putra pertama pasangan Nyoman Rudana dan Ni Wayan Olasthini. Namanya mengemuka beberapa waktu lalu ketika ia menggagas dan berhasil mengumpulkan 8 maestro seni Indonesia untuk berpameran dengan tajuk Modern Indonesia Masters (Srihadi Soedarsono, Sunaryo, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Nyoman Erawan, Made Djirna, Made Budhiana, dan Wayan Darmika.)

Kecintaan terhadap seni terutama seni lukis membuatnya tak bisa lepas dari dunia tersebut. “Memang dari kecil malah sebelum dilahirkan barangkali saya sudah sering mendengar Bapak dan Ibu saya membahas soal seni,” kata Putu yang membawahi Museum Rudana dengan koleksi sekitar 400 karya dan Rudana Fine Art Gallery, RudanaArt Foundation, Genta Fine Art Gallery, dan The Candi Fine Art Gallery yang memiliki koleksi sekitar 8000 karya.

Apa visi ataupun misi Anda di dunia seni?

Saya ingin setiap orang bisa menjadi duta promosi seni budaya yang dibekali nilai-nilai promosi. Setiap ada masalah, perlu dijadikan tantangan, jangan dilihat sebagai suatu kelemahan. Karena tantangan ke depan kita adalah kesenjangan informasi dan komunikasi, maka kita harus terus melakukannya.

Caranya? ?

Saya selalu ingin punya moto : Kalau anda ke Bali koleksilah karya seni Bali atau Indonesia. Bawalah ke rumah anda. Karena kalau sudah begitu, wisatawan mancanegara akan mulai memahami ada benda seni di rumah mereka. Dan kalau mereka nantinya punya anak, mereka pasti tanya, What is this? That’s Bali, Indonesia. One day you have to go there. Beautiful place, paradise. Paradise di sini bukan hanya dari sisi pemandangan tetapi juga memiliki orang-orang yang berkarya menciptakan karya seni dengan luar biasa dan tidak pamrih. Bahkan saking tulus ikhlasnya berkarya, mereka lupa dengan hak cipta. Seperti Pak Nyoman Gunarsa yang karyanya banyak dipalsukan.

Tidak tertarik menjadi seniman?

Kebetulan saya memang lebih suka me-manage seni. Dari kecil saya sudah seperti itu. Apalagi sekolah saya memang bisnis. Saya sekarang memosisikan untuk mampu me-manage seni dan seniman itu sendiri. Jadi seninya adalah me-manage seni.

Bagaimana anda melakukannya ?

Mantan Menparpostel Pak Joop Ave sering bilang, ”I’ve built building. I hope one day orang yang me-manage building itu adalah orang yang memahami, mencintai, dan mencurahkan segalanya untuk seni dan budaya. Pariwisata penting tetapi akarnya adalah seni dan budaya. Jiwanya di situ. Seni dan budaya yang memilikiattraction lengkap.” Ini yang harus saya lakukan untuk me-manage seni.

Ada konsep tertentu ?

Gunakanlah Bali karena memiliki nilai jual yang tinggi. Saya punya ide tagline untuk Indonesia, “Bali the heart of Asia, and the heart of the world”. Artinya Bali dicintai. Kalau kita sudah bilang cinta, Bali mau dibom kek,diapain kek, orang tetap akan datang. Indonesia sudah memiliki kekuatan untuk dicintai di seluruh dunia tinggal bagaimana kita me-manage hal itu, sehingga apa pun yang terjadi orang akan tetap mendukung Bali, dan tentunya Indonesia.

Untuk koleksi pribadi, bagaimana anda memilih?

Karya itu harus unik dan saya anggap memiliki kekuatan, serta memiliki story khusus. Contohnya salah satu lukisan Borobudur Pak Srihadi. Dari awal saya sudah melihat prosesnya. Beliau bilang karya itu memang dibuat untuk saya meskipun tidak pernah dijelaskan bagian mana yang berhubungan dengan saya dan untuk itu saya harus mencari tahu sendiri. Beliau hanya bilang, “Putu, Bapak sangat bangga pada perjuanganmu yang luar biasa.” Saya juga baru mendapat kursi kulit dari Bapak Joop Ave. Saya pikir kenapa harus kursi? Beliau hanya berpesan, “I trust the little boy.” Meski dianggap anak kecil, saya tidak merasa diremehkan, tetapi justru merasa tertantang dan termotivasi untuk berbuat yang terbaik. Untuk lukisan, saya suka gaya abstrak. Abstrak adalah pencapaian tertinggi seni lukis.

Itu sebabnya sekarang banyak pelukis abstrak?

Yang terjadi sekarang terbalik. Sesuatu malah dimulai dari yang abstrak padahal secara fundamental, realisnya belum kuat. Ini bukan mengkritisi, tetapi saya harus berani mengembalikan lagi pada kondisi bahwa para seniman besar sekarang berawal dari realis. Pak Affandi yang maestro abstrak juga mengawalinya dari realis. Untuk itu, seniman-seniman muda jangan mencari jalan pintas. Apapun yang instan tidak akan bisa kuat.

Apakah 2008 ini bagus untuk investasi di bidang seni?

Sangat-sangat oke. Para kolektor tentunya harus memiliki gambaran tentang seni. Karya yang dikoleksi sebaiknya harus sudah memiliki nama karena biasanya memiliki apresiasi tinggi. Bahkan bila lukisan Pak Srihadi dibilang harganya sudah tinggi, masih akan bisa lebih tinggi lagi.

Ada ‘ide gila’ yang ingin diwujudkan?

Saya ingin Indonesia secara budaya bisa dihargai, lalu membuat jaringan the biggest fine art in the world.Semuanya tentang seni Indonesia. Saya juga sedang merencanakan pembangunan galeri besar yang bisa memajang 10.000 karya seni kita pajang. Tahun ini Museum Rudana ingin memberikan Satria Seni Awardyang ketiga. Ini ajang 4 tahunan museum.

Pria santun ini mengaku ia sangat berbahagia sekali sewaktu Presiden SBY menjulukinya Mr.Excellent. “Saya merasa ini sebuah tanggung jawab sehingga saya tidak boleh salah dalam bertindak,” kata pria yang berambisi membangun ‘kerajaan bisnis seni’ dan menjadikan Bali sebagai living culture island.

Tahun 1998, setelah menamatkan S2-nya di Webster University of St. Louis, Amerika, Putu mantap menjalankan bisnis keluarga yang sudah dirintis ayahnya. Ia menyatukan anak perusahaan ke dalam satu payung, yakni GRP Corporation (Grup Rudana dan Putra) yang terbagi atas empat divisi: GRP Art Incorporated yang bergerak di bidang seni; GRP Investment Enterprises yang menginvestasikan dananya ke industri ritel bahan bakar minyak (SPBU Pertamina), vila, hotel, dan properti; GRP Trading Company, yang bergerak di bidang jasa; serta GRP Consulting untuk bidang konsultasi baik manajemen, legal dan bisnis administrasi.

Di tengah kesibukannya memimpin perusahaan, Putu—yang ternyata bersuara merdu saat bersenandung di mobil—juga aktif berorganisasi. Saat ini ia menjadi Wakil Ketua Hiswana Migas Bali (Himpunan Pengusaha Minyak dan Gas Bumi), Ketua III Persatuan Golf Indonesia (sering menjuarai turnamen di Bali dengan handicap 12), serta Ketua III Himusba (Himpunan Museum Bali).

Bersambung…

Leave a Reply

Your email address will not be published.