Perkembangan senirupa di Indonesia menggeliat terus. Setelah terjadinya booming harga untuk lukisan-lukisan yang berasal dari Asia (termasuk Indonesia), kini dunia seni kita dihadapkan pada bagaimana para stakeholder menyiasati serta mempertahankan fenomena booming senirupa tersebut. Berikut wawancara antara Putu Supadma Rudana, The Fine Art Promotor, tentang promosi senirupa Indonesia.
Setelah sukses dengan perhelatan senirupa yang melibatkan 8 maestro senirupa di Indonesia, yaitu Modern Indonesian Masters sekarang apakah ada kegiatan senirupa lagi dalam kalender Museum Rudana?
Tentu. Kegiatan seni rupa merupakan jiwa dari museum senirupa. Sebuah institusi, termasuk museum baru bisa dikatakan hidup kalau ia bisa memberikan manfaat-manfaat kepada masyarakatnya. Untuk memberikan manfaat ini kegiatan harus dibungkus sedemikian rupa sehingga atraktif bagi semua pihak. Nah, Museum Rudana senantiasa mencoba menyuguhkan tampilan-tampilan atau peristiwa senirupa yang bukan hanya atraktif, namun juga memiliki nilai yang penting bagi pertumbuhan seni baik di Bali maupun di Indonesia.
Bagaimana peran seorang pemimpin dari sebuah museum dalam menggerakkan roda aktivitas museum ini, padahal kegiatan besar, misalnya dengan pameran maestro yang baru lalu, membutuhkan beragam resources serta perencanaan yang amat matang?
Seorang pemimpin juga manusia biasa. Mereka hanya memiliki dua buah tangan saja. Namun, bagi saya, seorang pemimpin adalah mereka yang mempunyai instinc yang kuat tentang kapabilitasnya untuk melaksanakan sebuah proyek dengan berhasil. Ia harus mampu mengelola sumber dayanya. Seorang pemimpin juga harus menjadi koordinator yang handal. Dalam mengkoordinasikan sebuah perhelatan besar seperti yang lalu, saya harus pandai-pandai dalam mendelegasikan tugas. Namun, karena kita, mampu memberikan kepercayaan kepada mitra internal kita, yakni para staf museum yang professional, untuk melaksanakan tugas yang diberikan mereka, maka terjadi saling kepercayaan yang mantap.
Secara personal, apa yang saat ini Anda geluti dalam konteks seni rupa di Bali, Indonesia?
Saya masih konsisten dengan cita-cita awal saya, yakni saya ingin berkiprah dalam mempromosikan senirupa Indonesia. Setelah perhelatan pameran 8 maestro seni rupa kondang, sekarang saya mulai memusatkan perhatian pada promosi senirupa untuk seniman-seniman muda (awal).
Apa kriteria seniman muda yang masuk dalam standar promosi Anda?
Sebetulnya usia memang menjadi patokan, namun bukan satu-satunya. Saya melihat banyak seniman muda yang sebetulnya memiliki potensi luar biasa. Karena pengalaman-pengalamannnya mengasah ketrampilan melukis, baik secara teknik, komposisi maupun kematangannya dalam belajar dari alam maupun dari pelukis-pelukis lain, pelukis-pelukis muda ini menjanjikan sebuah masa depan berkesenian yang cerah. Dengan demikian bisa saya katakan bahwa sebetulnya rentang waktu bukan satu-satunya tolak ukur. Namun pengalaman serta pendalaman berkesenian yang lebih berbicara. Yang kedua, seniman tersebut harus mempunyai kapabilitas untuk produktif. Dengan karya-karya yang berkualitas yang mampu dipertanggungjawabkan.
Sekarang banyak sekali pelukis-pelukis yang bermunculan, sementara karya-karya mereka banyak juga yang tidak selektif. Bagaimana Anda menilai kualitas karya-karya pelukis muda ini?
Masalah kualitas ini memang tidak boleh dilihat dari satu sisi, yaitu senimannya saja. Karena kata berkualitas dan bermutu itu relatif, sehingga saya harus menerapkan seleksi yang ketat terhadap seniman-seniman yang ingin saya promosikan. Dalam seleksi ini saya juga harus menggandeng pihak-pihak yang memang profesional di bidangnya, misalnya kritikus seni handal yang memang mampu memilah-milah mana karya-karya yang menjanjikan dari karya-karya yang ikut-ikutan. Saya dengan tim seleksi akan memilih karya-karya yang memiliki karakter-karakter unik yang hanya dimiliki oleh si seniman tersebut. Selanjutnya, antara seniman yang saya promotori dengan kami juga harus mampu menjalin kerja sama kooperatif yang kuat, dengan artian bahwa kita memiliki wilayah tersendiri yang saling mendukung, namun tidak saling mencampuri. Di wilayah seniman, mereka berkarya secara kualitatif, di wilayah promotor, kami mencari celah marketing, PR (Public Relation), serta memformulasikan presentasi yang terbaik bagi karya-karya seniman tersebut.
Sebagai seorang promotor seni rupa, kiat-kiat apa yang Anda pakai untuk berkecimpung dalam dunia promosi senirupa ini?
Istilahnya, promosi senirupa menjadi ujung tombak bagi karya-karya seni dalam memasuki kancah kesenian dalam konteks yang lebih luas. Sebagai promotor saya juga berupaya untuk selalu menerapkan sustainability dan accountability. Sustainability mencakup keberlangsungan kegiatan kreatif seniman semasa masih dalam promosi saya maupun setelah seniman tersebut lepas menjadi seniman yang lebih professional mandiri, sedangkan accountability merujuk pada akuntabilitas, yaitu kemampuan kita untuk mempertangggungjawabkan bisnis promosi secara open book. Dengan demikian, lewat kontak promosi yang setara, tidak ada pihak yang akan berada posisi yang dirugikan. Saya sadar bahwa seringkali seniman merasa bahwa pihak ke dua atau ke tiga dari sebuah hubungan bisnis senirupa menjadi benalu yang kuat, mengikat dan menghisap mereka, namun ada pula promotor atau manager seorang seniman yang merasa senimannya tersebut tidak mampu membuahkan karya-karya yang telah mereka targetkan bersama. Salah satu filosofi saya dalam dunia promosi senirupa ini adalah bahwa saya hanya akan mempromosikan karya-karya dari seniman yang punya potensi untuk memberikan kontribusi positif pada khazanah senirupa Indonesia.
Seperti kita ketahui, ekses booming senirupa Asia masih terasa. Mengikuti trend nilai serta harga karya-karya mutakhir dari pelukis-pelukis kontemporer China, banyak pula karya-karya senirupa Indonesia yang memetik harga yang cukup menggiurkan. Namun di sisi lain terjadi pula semacam euphoria booming ini. Sehingga banyak sekali karya-karya yang dipaksa untuk dipasok dengan harga yang melangit pula. Bagaimana komentar Anda?
Saya melihat terjadinya sebuah fenomena yang saya anggap bisa memberikan ekes yang cukup berbahaya bagi seniman yang dipromosikan di luar proporsi. Dengan membungkus konsep berkesenian si seniman muda ini sedemikian rupa, promotor penyewa kritikus seni yang bisa menulis dengan apik, ia mampu membuat karya-karya pelukis tersebut menjadi manis untuk di lempar ke publik. Tentunya dengan membuat move atau trick-trick tertentu, misalnya dengan membandrol harga yang membuat kita bergeleng-geleng kepala, dan dengan memasang pialang yang seakan-akan menawar harga yang dibandrol tersebut. Alhasil, publik pecinta seni bisa terkecoh dengan ulah promosi seperti ini. Dan akhirnya, setelah masa manis atau masa produktif dari seniman muda kontemporer ini habis, maka habis pulalah hubungan bisnis seni ini. Dan ketika pasar sudah mencapai titik saturasi, atau titik nadinya, terhadap karya-karya lukis seniman tersebut, si seniman akan terpuruk. Ia akan kesulitan menjual karya lukisnya, karena masa edarnya sebagai perupa kontemporer memang sudah habis. Yang tersisa hanyalah kesan-kesan masa lalu dan potongan-potongan artikel Koran dan majalah tentang pameran-pameran perdananya.
Jadi istilahnya, sebagai seorang promotor senirupa, saya akan berupaya untuk bertanggungjawab terhadap apa-apa yang keluar dari tangan-tangan bisnis saya. Saya tidak ingin hasil jerih payah saya menjadi mubazir, seperti buah yang matang diperam, namun bukan di pohonnya. Dengan niat yang iklas, saya ingin hal ini tidak terjadi pada seniman muda sehingga mereka mampu secara berhasil berdiri dengan kaki mereka sendiri memasuk arena kompetisi berkesenian yang kadang amat berat ini.
Apa yang harus dimiliki oleh seorang promotor seni? Apakah ia harus mempunyai darah seni atau latar belakang tentang seni? Bagaimana menurut Anda?
Saya beruntung sekali. Saya pikir saya diberkahi Tuhan kesempatann untuk terjun langsung belajar. Pertama, saya dilahirkan di keluarga yang bukan hanya mencintai namun juga tumbuh, dan berusaha dalam bidang seni rupa. Mau, tidak mau, exposure dengan dunia seni rupa membentuk sebagain instinct bisnis saya. Ini mengingatkan waktu kecil saya di mana Bapak saya kadang-kadang memvawa kami bertandang ke seniman-seniman mendiang maestro Dullah dan Affandi, maupun maestro dari Bali termasuk Nyoman Gunarsa serta Made Wianta. Jadi, sejak kecuali saya selalu dikelilingi karya-karya seni rupa dan bertemu dengan seniman-seniman, baik lokal maupun mancanegara, baik yang belum terdengar maupun yang kesohor di dunia. Saat ini kami memiliki lebih dari 10.000 karya lukis yang masing-masing nilainya tinggi. Nah, pengalaman-pengalaman inilah yang memperkaya perbendaharaan pengetahuan saya tentang seni. Exposure perjalanan saya di luar negeri ketika saya menimba ilmu juga memberikan perspektif yang luas tentang seluk-belukpromoting the art. Ketrampilan-ketrampilan honest image building tentang karya-karya yang akan dipamerkan. Meeting people’s interest in the artwork dan berbagai expertise lainnya bisa saja kita fusikan dengan local wisdom. Namun, satu hal lagi yang amat penting dari upaya promosi adalah kemampuan kita untuk melihat ke masa depan—forecasting the future untuk karya-karya maupun predictability sang senimannya sendiri. Kita harus mampu membaca seberapa jauh sang calon seniman tersebut bisa berkontribusi, bukan hanya dalam artian finansial namun dalam konteks yang senirupa di luar batasan-batasan bisnis.
Jadi, untuk bergerak dalam bidang seni rupa kita tidak harus menjadi seniman pencipta karya seni. Kita semua percaya bahwa dunia senirupa amat membutuhkan sinergi dari para stakeholder karena disiplinnya ternyata juga kompleks, penuh dengan lapis-lapisan yang saling mengikat. Seniman kemungkinan tidak bisa secara langsung melemparkan lukisannya ke pasar kalau ia punya tujuan untuk menjualnya. Di samping mereka mungkin tidak menguasai pasar seni, mereka juga kemungkinan tidak memiliki negotiating skill yang bisa mengangkat ataupun mempertahankan harga. Sebagai promotor, kita memiliki tim profesional yang bisa mengisi celah-celah di mana biasanya sang seniman itu lemah. Di sinilah, sebagai art promotor atau art manager, saya mengkoordinasikan, mensinergikan berbagai sumber tersebut untuk mengangkat hasil seni rupa karya sang seniman. Kecuali seniman-seniman tertentu yang memiliki kharisma serta kemampuan publik terlatih, pada dasarnya seniman-seniman memerlukan pendamping untuk mengartikulasikan visi karya mereka secara verbal maupun tertulis ke publik. Di bidang ini pulalah, seorang art promotor melalui koordinasinya dengan kritikus seni, muncul untuk menjembatani bahasa visual dengan bahasa publik agar dapat diserap oleh masyarakat umum.
Baik. Setelah membahas ekses booming senirupa akhir-akhir ini, bagaimana Anda melihat perkembangan bisnis seni rupa saat ini?
Saya melihat adanya kegairahan yang berdinamika. Dari banyak fluktuasi bisnis senirupa yang saya amati, banyak sekali terjadi transaksi karya-karya seni yang kontemporer. Apalagi sekarang bermunculan balai lelang seni rupa, terutama di ibukota dan beberapa kota besar lainnya.
Bagaimana dengan praktek bisnis senirupa yang akhir-akhir ini juga ditimpali dengan trik-trik yang kurang sehat?
Terus terang, saya juga merasa miris. Kita lihat fenomena miring yang dipicu dengan adanya nilai-nilai nominal yang fantastis dari deal senirupa tersebut. Sehingga timbullah kegiatan bisnis senirupa yang rela mengorbankan nilai-nilai etika, baik berkesenian maupun berbisnis. Di samping sekarang terjadi pula maraknya palsu memalsu lukisan, timbul pula sindikat yang melakukan goreng-menggoreng karya seniman baru di samping tak sedikit seniman yang mengambil jalan pintas dalam berkarya misalnya dengan jalan mencetak karya beratus-ratus kemudian hanya menempel sedikit cat, kemudian diberi tandatangan. Beres. Saya berharap, selama masih ada seniman-seniman yang intens dalam berkarya dan memiliki komitmen yang teguh, senirupa Indonesia tidak akan menjelma menjadi industri lukisan belaka.
Bagaimana idealnya?
Kalau bisa kita harus menempatkan senirupa dalam tempat yang lebih terhormat. Senirupa bukan merupakan komoditi bisnis belaka. Sebab dari senirupa kita bisa belajar tentang peradaban suatu bangsa atau sejarah perjalanan suatu negara. Karena, seni rupa yang serius dikerjakan dengan keringat dan darah, ia juga bisa berisi pesan-pesan, petitih, bahkan bisa merepresentasikan suatu yang sakral. Sehingga karya seni rupa juga bisa memiliki potensi mediasi kedamaian dan perdamaian di dunia ini, dan bukan hanya sekedar alat barter belaka.
Sekarang tampaknya jelas pertanyaan bagi kami antara promoting the fine art dari bisnis seni rupa, yang untuk sebagian pelaku bisnis hanya disikapi sebagai benda seni belaka, tanpa mengindahkan potensi non finansial yang dikandungnya. Apa pesan terakhir dari Anda?
Kegiatan bisnis seni rupa, termasuk promosi seni rupa, tanpa memerhatikan aspek kultural, spiritual yang bisa dikandung dari seni rupa, akan memberikan dampak finansial yang diinginkan. Namun, kemungkinan besar dampak seperti ini sifatnya hanya kasat mata. Dari hasil transaksi lukisan, dana yang diperoleh akan diinvestasikan ke benda lain, termasuk benda seni. Setelah itu, ya sudah….Bagi kita, pecinta seni yang memang hidup di dalam seni rupa (bukan hanya sebagai pedagang), nilai-nilai dan dampak kejiwaan merupakan konsekuensi logis dari kepemilikan atau perolehan suatu benda seni. Uang bisa membeli apa yang bisa kita akses dengan indra, namun pancaran rasa dan rasio dari karya seni rupa tersebu tidak bisa dibisniskan. Di sinilah letak filosofi promosi senirupa saya. Senirupa harus memiliki kandungan luhur yang berlangsung lama, bukan sekali pandang setelah itu dilupakan. Dengan demikian, pendekatan saya sebagai seorang promoter seni juga mungkin berbeda. Saya tidak ingin terkena arus euforia kontemporer yang sesaat. Saya ingin seniman dengan saya tumbuh bersama, mengakar, turut membangun dan memberikan kontribusi pada perkembangan seni di Indonesia.
Sumber : Katalog Joged
Wawancara oleh M. Bundhowi