Day: September 13, 2009

Museum Rudana presents “Modern Indonesia Masters”

Museum Rudana presents “Modern Indonesia Masters”

Celebrating its 12th anniversary, Museum Rudana in Ubud presents the works of four Indonesian maestros in an exhibition entitled ‘The World of Abstract’.

Rarely do four painting maestros appear at one group exhibition. But this month it is this rare art happening that takes place at the Museum Rudana in Ubud, where two of Bali’s foremost artists meet up with two of Java’s.
“It’s such a lot of work to make this happen. Therefore we’re proud to be able to stage this rare event, the first of its kind on the island, (and I am sure) in Indonesia”, said Putu Supadma Rudana, managing director of the Museum Rudana.

Bali’s maestros Nyoman Gunarsa and Made Wianta are showing off their ultimate creations together with Bandung-based master of color and horizon Srihadi Sudarsono and master of sculpture Sunaryo Sutono.

The four legends, arguably the country’s most sought after modern artists, will be accompanied by the island’s four rising stars, Made Djirna, Nyoman Erawan, Wayan Darmika and Made Budhiana.

The exhibition, entitled “The World of Abstract”, commences on August 16 and runs through October 1, featuring ten of the finest pieces from the collections of each painter. “There will be 80 abstract works. Even Mr. Srihadi Sudarsono, who is not known as a master of abstract, will present his own figurative works including the famous Borobudur in Horizon to represent the theme,” Supadma said.

Here is a brief background on the four legends.
Nyoman Gunarsa was born to a rice farmer’s family in Banda, Takmung in Klungkung, the same village where he established his own Museum of Classical and Contemporary Balinese Paintings. Uniquely, long before he grew his passion and reputation for classical paintings in the 1980s, especially of Balinese daily life, Gunarsa was much more interested in abstract paintings earlier in his career.

The upcoming exhibition at Rudana is therefore to show off his earlier bursting passion for the abstract world. The abstract ingrained from his surrounding environment includes village life, rice fields, gamelan music, shadow puppets, his father’s dance mastery, and the world beyond, including his vision of the West as he was once fascinated, as young boy, with Western artists and their world.

Made Wianta, by any measure, is Bali’s most successful artist of multiple talents and endless energy. He constantly moves from one art form to another, each with great energy and concentration. The result is that there are close to 15,000 works of arts of various forms ranging from paintings, dance and music performances, poetry, installations, happening arts and more.

Wianta’s mastery of color is yet matched by his mastery of words in poetry and body movements. He has earned his reputation as the island’s most progressive painter, with all the bravery to move from one style to another.
Born in Apuan, a village nestled in the rice paddy fields north of Tabanan, the painter’s strong sense of environmental awareness and social responsibility has brought him into various happening art in response to forest fires and illegal logging, the October 12 blast, poverty eradication, and the AIDS campaign. Last year, as among his special achievements, he was chosen as the only painter to represent Indonesia in presenting their works at the special exhibition marking the Italian sport carmaker Scuderia Ferrari 60th anniversary celebration.

Srihadi Sudarsono, the master of color and horizons, is what this Javanese painter is famous for. He grew up in an aristocrat family deeply ingrained in the philosophical concept of the complex Javanese system of life, synthesizing Hinduism, Buddhism, and Islam as well as mysticism. Thus, each of his paintings conveys a deep reflection of this philosophical value.

The master, whose favorite objects are landscapes, beaches, monuments, and human beings, has sold a painting worth US$ 150,000 at an auction, a landmark not many of his countrymen have ever reached. Uniquely, Srihadi has never been known as an abstract junkie (he would rather call his abstract painting more like figurative, or as some say, symbolic). Therefore his presence at this exhibition is highly anticipated.

Last but not least, Sunaryo is another Javanese golden boy his country should be proud of. Although he grew up as a sculpturer (he had been appointed a lecturer of fine arts and design and head of the Department of the Fine Arts and Sculpture Studio at Bandung Institute of Technology) Sunaryo has won various art awards including painting competitions entitled “the Phillip Morris Group of Companies Asean Art Awards” for the two consecutive years of 1995 and 1996, and received an honorable mention from the Indonesian Minister of Culture and Tourism for enhancing the country’s painting creativity.

Sunaryo’s achievement in his own world of sculpture has earned him dozens of prize awards from various establishments, ranging from universities, city councils, five star hotels, and the country’s telecommunication company. He once also won first place at an international creative textile competition. In 1998 he established a studio currently known as Selasar Sunaryo, a private museum and art space.

Photographic Exhibition
The four flair is accompanied by a two-week photo exhibition featuring the works of three photographers from three countries from August 16 – 31. They are Bundhowi of Indonesia, Anna Heggie of Australia and Sandra Phillips of Canada. The three artists feature works dedicated to world peace.

The Art of “Mr. Excellent”

The Art of “Mr. Excellent”

Di Bali, namanya lebih identik dengan bisnis resort eksotik khas Bali. Dia juga bermain dalam wilayah art lewat museum dan gallery. Tumbuh sebagai seorang putra yang menjalankan bisnis keluarga, kini ia sedang memasuki bisnis minyak. Bagaimana pandangannya soal filosofi dan kesenian?

Putu Supadma Rudana bukanlah orang Bali pada umumnya. Pria kelahiran Denpasar 23 April 1974 ini dikenal sebagai kolektor seni lukis dan pemilik museum, gallery lukisan, juga resort di daerah Ubud, Bali. Penampilannya yang bersahaja justru membuat dia lebih nampak seperti seniman muda ketimbang pengusaha muda.

Meski marak sebagai seorang pengusaha muda yang dekat dengan dunia kesenian, latar akademik Rudana cukup kuat. Ia adalah penyandang gelar Bachelor in Business Administration pada major Business Management & Information System di Maryville University, dan seorang penyandang gelar MBA.

Putu mengawali langkah dengan melakukan pembenahan manajemen museum dan gallery. Dari sana, Putu melakukan teroboson-terobosan bisnis dengan membidik peluang baru. Bidang usaha yang ia bangun diantaranya bermitra dengan Pertamina dan membangun sejumlah SPBU, hotel, dan investasi

Dalam kurun tujuh tahun, di usianya yang tergolong muda, sejumlah jabatan dan tanggung-jawab sudah dipegangnya. Dua tahun ini, nama Putu Rudana semakin diperhitungkan karena kepeduliannya pada pariwisata dan seni budaya Bali. Sejak empat tahun, lalu ia menggagas pemberian Satya Award, sebuah penghargaan seni tertinggi kepada mereka yang betul-betul mendedikasikan hidupnya di bidang seni.

Paling mutakhir, di penghujung 2007, ia berhasil mewujudkan gagasaan mengumpulkan 8 maestro seni Indonesia: Srihadi Soedarsono, Sunaryo, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Nyoman Erawan, Made Djirna, Made Budhiana, Wayan Dharmika, untuk berpameran dengan tajuk Modern Indonesia Masters di Museum & Gallery Art Rudana, Ubud, Bali, Indonesia.

Karena gagasan dan visinya yang memberi harapan baru bagi dunia pariwisata, seni dan budaya untuk pulau Bali itu juga, Putu membuat buku panduan tentang museum di Bali bertajuk “Treasure of Bali”. Buku ini memuat tanggapan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dengan memberi predikat “Mr. Excellent”untuk Putu. Berikut petikan wawancaranya dengan ME di Bali beberapa waktu lalu:
Tidak semua orang Bali punya sense of art yang kuat. Apa yang membuat Anda begitu mencintai dunia seni dan budaya?
Kalau saya tidak berlebihan, sejak saya masih dalam kandungan ibu, saya sudah merasakan adanya aroma seni. Di masa kecil, saya seringkali diajak orangtua ke tempat pelukis Affandi, Basuki Abdullah, Dullah, dan beberapa lainnya. Ketika itu saya tidak hanya melihat, tapi juga mendengar orang bicara tentang seni lukis, dan seni lainnya. Memasuki usia dewasa, saya mendapat ilmu tentang bagaimana mengelola seni.

Anda mencintai kesenian, tapi kenapa tidak lantas menjadi seniman saja? Apakah menurut menjadi seniman itu belum bisa dijadikan sandaran hidup?

Orangtua kami melihat talenta anak-anaknya, lalu memberi kebebasan, tapi diberi pula deadline. Saya dinilai memiliki cita rasa berkesenian, tetapi lebih cenderung pada pengelolaannya. Saya memang lebih tertarik me-manage seni dan seniman itu sendiri. Menurut saya, kelemahan di Indonesia adalah manajemen seni. Karena itu sekembali saya dari Amerika di tahun 1998, saya melibatkan diri dalam manajemen seni. Saya pun melakukan banyak perubahan secara internal. Termasuk mempersiapkan manajemen-manajemen yang kuat.

Kabarnya, nilai karya yang terpajang di gallery Anda berkisar antara angka ratusan juta hingga milyaran rupiah?

Karya seni tidak bisa begitu saja dihubungkan dengan urusan materi. Tidak sedikit dari mereka yang berkarya hanya melulu pada mengejar uang. Tetapi bagaimana mereka dengan tulus ikhlas menciptakan karya-karya itu, dan bagaimana karya-karya itu dapat mengangkat harkat martabat bangsa. Karena makna inilah harga sebuah karya seni bisa bernilai sangat tinggi.

Bagaimana cara Anda menilai suatu karya seni?

Karya seni selain menjadi pemandangan yang indah juga mampu memberikan kebahagiaan batin. Dan saya percaya seni budaya itu tidak saja mampu memberikan kebahagiaan secara nyata, tetapi juga yang tidak nyata. Ini memang agak sulit untuk diurai dengan kata-kata karena karya seni memang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki kepekaan.

Kenapa Anda memulai semua ini dari Bali? Apakah hanya karena kebetulan Anda seorang putra Bali?

Bukan sebab itu saja. Tetapi yang lebih utama, saya sangat memahami seni budaya Bali. Tidak bisa dipungkiri, Bali merupakan kekuatan jual pariwisata negeri ini. Lain hal kalau mau mengambil kekayaan alam atau minyaknya, bisa dimulai dari tempat lain di tanah air selain Bali.

Lantas, apa yang diperlukan agar Indonesia diperhitungkan oleh dunia?

Seni budaya kita sudah luar biasa. Bali memiliki nilai jual yang begitu tinggi. Untuk itu yang diperlukan ke depan adalah figur yang mampu mengimplementasikan secara internasional. Berkaitan dengan itu saya pun mempunyai ide tagline untuk Bali – Indonesia, yang berbunyi, “Bali the heart of Indonesia, Bali the heart of Asia, Bali the heart of the World”.

Selain mengelola museum dan gallery, bidang usaha apa saja yang Anda jalani, dan bagaimana pengembangannya?

Setelah membenahi internal perusahaan dengan melakukan sejumlah restrukturisasi, mulai tahun 2000 kita membentuk bisnis-bisnis lain. Diantaranya di bidang jasa, investment, bermitra dengan Pertamina dengan membawahi pengembangan SPBU, dan juga menjadi konsultan untuk beberapa perusahaan.

Sebagai pengusaha, bagaimana Anda menyikapi persaingan bisnis?

Bersaing secara terbuka, bukan mengejar ini dan itu dengan cara membunuh yang lainnya. Dalam berbinis, kita tidak perlu menyakiti orang lain. Sikap ini penting untuk kita agar menjadi pebisnis yang beretika dan berkualitas.

Kalau boleh tahu, apa filosofi hidup Anda dan filosofi Anda dalam berbisnis?

Saya tidak membedakannya. Buat saya, filosofi hidup dan bisnis itu sama. Berbuat dan melakukan yang baik untuk memperoleh hasil yang lebih baik lagi dan bermanfaat bagi orang lain. Dari sana trust akan terbentuk. Dengan begitu, yang didapat adalah karma yang baik bagi kita.

Setelah sukses di bidang bisnis, apakah Anda tidak tertarik untuk berpolitik?

Kebetulan bapak Rudana, ayah saya, masuk ke DPD RI untuk mengabdi sebagai utusan daerah. Beliau tidak terlalu terlibat dalam kepentingan politis, golongan, ataupun partai. Saya juga tertarik dengan kata pengabdian. Dan kalau pengabdian saya kelak harus lewat berpolitik, yah mengapa tidak?

Apa arti jabatan bagi Anda?

Jangan sampai mengejar jabatan. Saya pikir, jabatan akan datang dengan sendirinya. Kalaupun saya merasa memiliki kemampuan, maka saya akan berupaya memegang suatu jabatan. Tapi jika tidak, maka saya akan bangga mengatakan bahwa saya belum mampu.

Mana yang Anda pilih: power atau money?

Uang, kekuatan, dan politik itu sangat penting. Asal saja kita mampu membawanya dengan hati nurani dan mampu me-manage-nya. Ketiganya digunakan untuk hal yang baik agar karmanya akan baik buat kita.

Siapa tokoh yang Anda kagumi, dan siapa orang yang menjadi inspirasi Anda?

Saya melihat bapak Soeharto adalah pahlawan yang luar biasa dan sangat saya hormati. Buat saya, pelajaran yang bisa ditarik dari sana adalah bagaimana kita menghargai orang tua kita dan orang yang lebih tua dari kita. Sedangkan tokoh idola yang saya hormati adalah seniman Srihadi, karena memiliki kepekaan jiwa. Dia figur yang sangat saya banggakan karena melalui karya seni dia bisa mengharumkan nama bangsa.

Bagaimana nasionalisme & idealisme seorang Putu?

Saya memang selalu ingin menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang betul-betul cinta damai, menghargai seni budaya dan mempunyai cita rasa seni-budaya yang luar biasa. Saya pikir nasionalisme itu adalah soal bagaimana kita mengumandangkan kedamaian kepada dunia.

Beberapa waktu yang lalu Anda mendapat predikat “Mr. Excellent” dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Apa artinya untuk Anda?

Saya begitu terharu, dan tentu bangga. Dengan predikat ini berarti tanggung jawab saya lebih besar lagi untuk berbuat sesuatu demi masyarakat dan negara. Semoga pengabdian saya ini mendapat restu dari Yang Kuasa dan dapat dinikmati oleh masyarakat luas.

Di tengah kepadatan waktu Anda bekerja, Anda masih sempat bermain golf. Untuk memudahkan lobi bisnis, ya?

Hehe… Saya memilih golf karena banyak mengandung unsur seni. Mulai dari area lapangannya yang bernuansa keindahan alam, memukul bolapun ada seni dan strateginya serta di sana terkandung seni melatih diri. Lebih penting lagi, lewat golf ini saya ingin mencetak bibit-bibit atlet usia muda. Saya ingin Bali nantinya bisa menjadi tujuan pariwisata golf.

Nampaknya perjalanan bisnis Anda mulus dan lancar saja?

Kalau boleh saya bilang, kalaupun ada kendala, saya tidak merasakannya. Karena sewaktu saya mengalami satu kegagalan, saya akan mencobanya lagi, dan terus mencobanya hingga akhirnya berhasil.

Kalau begitu, kapan Anda merasa menjadi seorang ‘loser’?

Loser itu saya artikan begini, kalau saya pikir saya tidak bisa berbuat sesuatu untuk orang banyak. Oleh karena itu saya tidak pernah menunggu untuk berbuat. Saya berupaya tidak berpikir terlambat pada saat yang kritis. Kebetulan saya sudah dibentuk bagaimana membuat keputusan pada saat kritis.

Boleh tahu, apa sih mimpi Anda selanjutnya?

Dalam usia saya yang terhitung muda, banyak mimpi yang sudah menjadi kenyataan. Bisa jadi karena ketulusan hati, banyak berdoa, memiliki komitmen dan kesungguhan, maka sesuatu yang kita mimpikan akan menjadi sesuatu yang nyata.

Bila ada yang mengatakan Anda nampak “lebih tua” dari usia Anda, apa tanggapan Anda?

Begitu, ya? Selama ini saya memang banyak sekali mendapatkan pembelajaran hidup, terlebih saat berada di luar negeri. Selama ini saya juga terbilang banyak berkomunikasi dengan orang-orang yang usianya dua kali usia saya. Itu juga kayaknya yang bikin saya tampak lebih tua dari usia yang sebenarnya, hahaha….

Anda dan kedua adik bersekolah di luar negeri. Ada alasan tertentu memilih pendidikan di luar negeri?

Siapapun dan dimanapun pendidikannya, bukanlah jaminan itu lebih bagus dan pasti bakal sukses. Yang benar, ketika berada di luar negeri, kita membuka wawasan dan cara berpikir. Lebih penting lagi adalah saya menjadi lebih menghargai apa yang dimiliki negeri sendiri. Namun, orang sering lupa ketika berada di luar negeri dan malah menghargai apapun yang menyangkut luar negeri.

Selama bermukim di luar negeri, pernah kecantol wanita asing?

Ini menarik juga untuk dijawab. Justru karena saya berada jauh dari kota kelahiran saya, saya menjadi sangat memperhatikan dan ingin memiliki yang ada di dalam kota kelahiran saya itu. Lain ceritanya kalau saya selalu berada di dalam kota sendiri, mungkin saya akan mencari produk luar, hehe…

Anda jatuhkan pilihan pada wanita Bali. Apa itu “pesan-pesan” orangtua?

Ah, itu kan cuma cara pandang lama. Saya pikir, nantinya di Bali akan semakin tidak mengherankan jika orang-orangnya banyak yang menikah dengan orang asing.

Pilih mana: istri di rumah atau bekerja?

Kebetulan, istri saya berkarier. Dia seorang notaris, dan cukup sibuk karena banyak berkomitmen dengan banyak pihak. Sama seperti saya, visi dia adalah pengabdian. Saya bangga dengan sikapnya.

Apakah ada pengalaman romantis yang bisa Anda ceritakan?

Wah. Memang waktu kami berdua banyak tersita untuk urusan pekerjaan. Makanya ketika ada waktu luang, saya segera merancang acara. Paling sering mengajaknya ke luar rumah untuk makan malam di tempat yang romantis. Kunci dari hubungan kami bukan berdekatan secara fisik setiap saat, tetapi di hati. Itu juga yang membuat hubungan kami layaknya pasangan yang sedang pacaran yang dilanda kasmaran. Kami memang memegang prinsip saling melayani untuk dilayani.

Bagaimana seandainya ada seorang wanita lain jatuh cinta pada Anda?

Itu yang dibilang cinta fisik, dan bisa luntur. Dalam hidup, bisa saja ada kejadian yang seperti itu. Nah untuk menyikapinya, saya pikir ada baiknya kita menunjukkan siapa diri kita. Lalu berikan masukan pada dia dengan bahasa-bahasa yang baik agar tidak terjadi kontak fisik. Semoga orang tersebut berubah pandangan, tidak jatuh cinta pada fisik tetapi pada pemikiran kita. Itu kan lebih indah.

Bagaimana wanita di mata Anda?

Wanita adalah suatu yang indah, yang membuat dunia ini semakin indah. Wanita mampu memberi kedamaian dan kesuburan. Menariknya lagi, di balik kelembutan wanita, ada suatu kekuatan. Contohnya, semakin banyak wanita berperan dalam dunia politik, dunia olahraga dan berbagai lainnya yang selama ini hanya diisi kaum pria.

Text by: Andriza Hamzah
Photographs by : M.I. Mappasenge