The art of business in business of art (seni berbisnis dalm bisnis seni). Itulah salah satu moto yang dijalankan Putu Supadma Rudana dalam menjalankan The Rudana. Tak semua orang paham cara-cara berbisnis dalam jagat kesenian.
PUTU Supadma Rudana tak bisa menganggap bisnis di dunia kesenian semata-mata sebagai transaksi jual beli. Baginya, seni “berdagang” benda-benda kesenian adalah ketika dia bisa memberikan nilai pada sebuah karya. Dan, nilai itu tak selalu terikat dalam dentuk rupiah saja.
“Bisnis di sini punya makna ketulusan. Ada saling memberi dan menerima, ada pengorbanan, “ kata Putu. Dia diwawancarai di kompleks Museum Rudana & Rudana Fine Art Gallery di Ubud, Bali, Selasa (17/1).
Sang pencipta karya seni, kata Putu, harus rela berkorban kehilangan karya. Sedangkan kolektor juga harus rela mendapatkan karya itu. namun, masing-masing juga harus rela mendapatkan penggantian kehilangan itu. Kolektor mendapat karya seni, sedangkan sang seniman mendapatkan nilai tukarnya.
“Itulah yang saya maksud sebagai seni berbisnis seni dan menjadikan bisnis itu sebagai seni tersendiri, “ ungkap sulung empat bersaudara tersebut. Putu harus hadir sebagai jembatan antara seniman dan end user.
Putu memang mengaku tak bisa dilepaskan dari seni. Dia tumbuh dan besar di lingkungan yang hampir seluruhnya nyeni. Ayahnya, Nyoman Rudana, merintis galeri lukisan sejak 1974 atau seumur dengan Putu sendiri. Galeri itu lantas tumbuh dan beranak-pinak.
Ia menjadi Museum Rudana yang menampung sekitar 500 karya seniman papan atas yang terpilih. Mulai dari I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978), Srihadi Soedarsono, Dullah, Basoeki Abdulah, Affandi, hingga seniman-seniman anonim yang berkarya di penghujung abad ke-19. Rasanya, hampir seluruh mazhab lukisan tertampung di museum yang terletak di lahan asri berpagar petak-petak sawah nan hijau tersebut.
Rudana Fine Art Gallery pun memajang tak kurang dari 10 ribu karya. Kalau karya di galeri masih bisa dikoleksi orang lain, yang di museum tidak. Karya di Museum Rudana memang disimpan agar menjadi abadi sebagai bentuk cinta keluarga Rudana kepada jagat seni. Selain museum dan galeri, The Rudana melingkupi yayasan seni (Rudana Art Foundation), Genta Fine Art Gallery, Candi Fine Art Gallery, serta Pusat Penelitian, Pengkajian dan Dokumentasi Budaya Destar.
Memang Putu akhirnya terbang ke Paman Sam untuk menuntut ilmu yang sama sekali tidak nyeni. Yakni, manajemen dan bisnis. Tapi, ilmu itu pula yang dia pakai untuk membesarkan The Rudana. Putu memang itu menjalankan roda The Rudana selepas kuliah. Tanggungjawabnya kian besar saat Nyoman Rudana, ayahnya, terpilih sebagai anggota DPD, mewakili Bali di MPR pada 2004-2009.
Di tangan keluarga Rudana, museum dan galeri seni itu punya gaung yang sangat besar. Tak cuma kolektor dalam dan luar negeri yang berdatangan. Sejumlah pemimpin negara tercatat pernah mengunjungi kompleks seni tersebut. Sebut saja mantan Presiden Soeharto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden Tiongkok Jiang Zemin, PM Tiongkok Zhu Rongji, mantan Presiden AS Jimmy Carter, dan masih banyak lagi. Apresiasi teranyar datang dari para ibu negara peserta KTT ASEAN pada November 2011. Sepuluh ibu negara plus istri Sekjen PBB Ban Ki Moon bersantap siang di areal museum dan galeri. “ Ya, di sini ini. Di meja ini, “ kata Putu. Ketika itu, wawancara dilakukan di pendapa etnik di bagian belakang area museum. Tempat itu sejuk dan dikelilingi pepohonan. Angin mempermainkan batang-batang padi yang hijau di sisi selatannya. “Sussounded by nature. Kami ingin, yang datang ke sini, belum bicara pun sudah tersentuh, “.
Meski punya passion begitu besar di bidang seni, Putu tak menutup mata pada bidang bisnis lain. Dia, misalnya, punya lima SPBU di bawah bendera GRP Investement Enterprise. Bisnis itu dimulai dari nol. Dari Putu yang buta sama sekali di bidang jual beli minyak. Di dalam bisnis itu pun Putu tak hanya jual beli. Tetapi ada edukasi dan penambahan nilai-nilai dalam berdagang. Dia adalah salah satu yang pertama menerapkan pakaian tradisional saat hari-hari tertentu di SPBU-nya. Misalnya pada perayaan Purnama Tilem Bali. “ Akhirnya menjadi inspirasi. Banyak SPBU hingga bank yang juga menerapkan kebijakan serupa,” kata Putu.
Memang inspirasi itulah salah satu tujuan hidup Putu. Dia ingin segala yang dilakukannya bisa menggerakkan orang untuk berbuat yang lebih baik. Menuju visi sempurna, katanya. Itu klop dengan judul buku pertamanya yang terbit pada 2009, Menuju Visi Sempurna. Buku itu disusul dengan The Journey of The Soul dan Bali Inspiring yang terbit pada 2011. (c2/dos)
Orang Tua Tetap Jago
Di tangan Putu Supadma Rudana, The Rudana tumbuh begitu pesat. Menggurita. Dari yang awalnya hanya komunitas lukis para seniman pada era 1970-an, The Rudana bisa menjadi holding (pemangku) anak-anak perusahaan yang bergerak di berbagai lini bisnis. Meski begitu, Putu Supadma Rudana tak mau menepuk dada. Di tetap merasa lebih kecil ketimbang Nyoman Rudana dan Ni Wayan Olasthini, orang tuanya, parafounder The Rudana.
“Saya tak akan pernah bisa melampaui mereka, “ kata Putu. Penggemar golft itu menyatakan, orang tuanya bisa melakukan banyak hal yang tak mampu dikerjakannya. “Mereka bisa melahirkan saya. Saya tidak, “ ujarnya, lantas tersenyum.
Sekembali dari kuliah di Amerika Serikat, Putu memang langsung diterjunkan untuk menangani bisnis seni The Rudana. Meski demikian, dia mengatakan, proses itu tak berlangsung formal. Tak ada serah terima jabatan, tak ada prosesi penyerahan tongkat estafet, juga tak ada penunjukkan formal dari orang tuanya. “Mengalir saja. Tidak ada pergantian resmi. Yang ada sinergitas kepemimpinan, “ ungkap pria 37 tahun tersebut.
Yang paling berat dalam melanjutkan usaha rintisan orang tua itu, kata Putu, adalah kebebasan yang diberikan orang tuanya. “Susah kan? Saya harus meneruskan sesuatu yang sudah hebat. Sementara orang tua membebaskan saya. Itu lebih membingungkan, “ ujar Putu. Hanya satu yang dia jadikan patokan, yakni pesan untuk mencurahkan semuanya, cinta dan ketulusan untuk seni, masyarakat dan kesejahteraan banyak pihak.
Karena itu, Putu berupaya membentuk perusahaan sebagai rumah bagi kurang lebih 300 karyawannya. Tempat berbagi, saling bertukar pengalalman, unjuk gagasan, dan penguatan nilai-nilai kehidupan.
Tak urung, Putu juga memaksimalkan ilmu yang didapatnya dari bangku kuliah untuk pelaksanaan menajerial perusahaan. Dia melakukan rekonstruksi hingga evaluasi branding. “ Saya ingin The Rudana bukan hanya mewakili orang per orang, mewakili keluarga Rudana, tapi The Rudana adalah wujud gagasan untuk memuliakan ketulusan kepada berbagai pihak, “ kata Putu. (c6/dos)
Bukan Syahwat Berkuasa
Muda, sukses, berwawasan luas, punya koneksi melimpah. Rasanya ada yang kurang memang kalau Putu Supadama Rudana tak mennceburkan diri ke kancah politik praktis. Walaupun sebagian khalayak menilai, jagat politik tak pas bagi Rudana yang mengagungkan ketulusan dan mengesampingkan syahwat kekuasaan, materi, ego, serta kepentingan.
“Itu karena ada pemaknaan politik praktis secara sempit, “ kata Putu Rudana. Bagi master of business administration (MBA) keluaran Negeri Paman Sam tersebut, politik berarti cara-cara untuk meraih tujuan atau mewujudkan gagasan. Nah, karena itu, dia harus masuk ke ranah politik untuk bisa memuluskan gagasannya, yakni mencintai, menjiwai dan menggaungkan ketulusan.
Karena itu, Putu mau tak mau harus ikut kendaraan politik, yakni partai. Dia memilih Demokrat, partai yang dianggapnya paling pas untuk menyebarkan gagasan tersebut. Pada 2009, Putu juga mencalonkan diri sebagai wakil rakyat ke Senayan. Tetapi, perolehan suaranya tak cukup. Dia gagal. “Itu kata orang. Saya sendiri tak merasa itu sebagai kegagalan. Itu adalah proses pembelajaran yang sangat indah kalau kita syukuri, “ ucap Putu. Katanya, life in about taking risk. (c6/dos)
Sumber : Jawa Post
Edisi Kamis 19 Januari 2012