Category: Kabar Terkini

Putu Supadma Rudana : Seni Bisnis Bisnis Seni

The art of business in business of art (seni berbisnis dalm bisnis seni). Itulah salah satu moto yang dijalankan Putu Supadma Rudana dalam menjalankan The Rudana. Tak semua orang paham cara-cara berbisnis dalam jagat kesenian.

PUTU Supadma Rudana tak bisa menganggap bisnis di dunia kesenian semata-mata sebagai transaksi jual beli. Baginya, seni “berdagang” benda-benda kesenian adalah ketika dia bisa memberikan nilai pada sebuah karya. Dan, nilai itu tak selalu terikat dalam dentuk rupiah saja.

“Bisnis di sini punya makna ketulusan. Ada saling memberi dan menerima, ada pengorbanan, “ kata Putu. Dia diwawancarai di kompleks Museum Rudana & Rudana Fine Art Gallery di Ubud, Bali, Selasa (17/1).
Sang pencipta karya seni, kata Putu, harus rela berkorban kehilangan karya. Sedangkan kolektor juga harus rela mendapatkan karya itu. namun, masing-masing juga harus rela mendapatkan penggantian kehilangan itu. Kolektor mendapat karya seni, sedangkan sang seniman mendapatkan nilai tukarnya.

“Itulah yang saya maksud sebagai seni berbisnis seni dan menjadikan bisnis itu sebagai seni tersendiri, “ ungkap sulung empat bersaudara tersebut. Putu harus hadir sebagai jembatan antara seniman dan end user.
Putu memang mengaku tak bisa dilepaskan dari seni. Dia tumbuh dan besar di lingkungan yang hampir seluruhnya nyeni. Ayahnya, Nyoman Rudana, merintis galeri lukisan sejak 1974 atau seumur dengan Putu sendiri. Galeri itu lantas tumbuh dan beranak-pinak.

Ia menjadi Museum Rudana yang menampung sekitar 500 karya seniman papan atas yang terpilih. Mulai dari I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978), Srihadi Soedarsono, Dullah, Basoeki Abdulah, Affandi, hingga seniman-seniman anonim yang berkarya di penghujung abad ke-19. Rasanya, hampir seluruh mazhab lukisan tertampung di museum yang terletak di lahan asri berpagar petak-petak sawah nan hijau tersebut.

Rudana Fine Art Gallery pun memajang tak kurang dari 10 ribu karya. Kalau karya di galeri masih bisa dikoleksi orang lain, yang di museum tidak. Karya di Museum Rudana memang disimpan agar menjadi abadi sebagai bentuk cinta keluarga Rudana kepada jagat seni. Selain museum dan galeri, The Rudana melingkupi yayasan seni (Rudana Art Foundation), Genta Fine Art Gallery, Candi Fine Art Gallery, serta Pusat Penelitian, Pengkajian dan Dokumentasi Budaya Destar.

Memang Putu akhirnya terbang ke Paman Sam untuk menuntut ilmu yang sama sekali tidak nyeni. Yakni, manajemen dan bisnis. Tapi, ilmu itu pula yang dia pakai untuk membesarkan The Rudana. Putu memang itu menjalankan roda The Rudana selepas kuliah. Tanggungjawabnya kian besar saat Nyoman Rudana, ayahnya, terpilih sebagai anggota DPD, mewakili Bali di MPR pada 2004-2009.

Di tangan keluarga Rudana, museum dan galeri seni itu punya gaung yang sangat besar. Tak cuma kolektor dalam dan luar negeri yang berdatangan. Sejumlah pemimpin negara tercatat pernah mengunjungi kompleks seni tersebut. Sebut saja mantan Presiden Soeharto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden Tiongkok Jiang Zemin, PM Tiongkok Zhu Rongji, mantan Presiden AS Jimmy Carter, dan masih banyak lagi. Apresiasi teranyar datang dari para ibu negara peserta KTT ASEAN pada November 2011. Sepuluh ibu negara plus istri Sekjen PBB Ban Ki Moon bersantap siang di areal museum dan galeri. “ Ya, di sini ini. Di meja ini, “ kata Putu. Ketika itu, wawancara dilakukan di pendapa etnik di bagian belakang area museum. Tempat itu sejuk dan dikelilingi pepohonan. Angin mempermainkan batang-batang padi yang hijau di sisi selatannya. “Sussounded by nature. Kami ingin, yang datang ke sini, belum bicara pun sudah tersentuh, “.

Meski punya passion begitu besar di bidang seni, Putu tak menutup mata pada bidang bisnis lain. Dia, misalnya, punya lima SPBU di bawah bendera GRP Investement Enterprise. Bisnis itu dimulai dari nol. Dari Putu yang buta sama sekali di bidang jual beli minyak. Di dalam bisnis itu pun Putu tak hanya jual beli. Tetapi ada edukasi dan penambahan nilai-nilai dalam berdagang. Dia adalah salah satu yang pertama menerapkan pakaian tradisional saat hari-hari tertentu di SPBU-nya. Misalnya pada perayaan Purnama Tilem Bali. “ Akhirnya menjadi inspirasi. Banyak SPBU hingga bank yang juga menerapkan kebijakan serupa,” kata Putu.

Memang inspirasi itulah salah satu tujuan hidup Putu. Dia ingin segala yang dilakukannya bisa menggerakkan orang untuk berbuat yang lebih baik. Menuju visi sempurna, katanya. Itu klop dengan judul buku pertamanya yang terbit pada 2009, Menuju Visi Sempurna. Buku itu disusul dengan The Journey of The Soul dan Bali Inspiring yang terbit pada 2011. (c2/dos)

Orang Tua Tetap Jago

Di tangan Putu Supadma Rudana, The Rudana tumbuh begitu pesat. Menggurita. Dari yang awalnya hanya komunitas lukis para seniman pada era 1970-an, The Rudana bisa menjadi holding (pemangku) anak-anak perusahaan yang bergerak di berbagai lini bisnis. Meski begitu, Putu Supadma Rudana tak mau menepuk dada. Di tetap merasa lebih kecil ketimbang Nyoman Rudana dan Ni Wayan Olasthini, orang tuanya, parafounder The Rudana.

“Saya tak akan pernah bisa melampaui mereka, “ kata Putu. Penggemar golft itu menyatakan, orang tuanya bisa melakukan banyak hal yang tak mampu dikerjakannya. “Mereka bisa melahirkan saya. Saya tidak, “ ujarnya, lantas tersenyum.

Sekembali dari kuliah di Amerika Serikat, Putu memang langsung diterjunkan untuk menangani bisnis seni The Rudana. Meski demikian, dia mengatakan, proses itu tak berlangsung formal. Tak ada serah terima jabatan, tak ada prosesi penyerahan tongkat estafet, juga tak ada penunjukkan formal dari orang tuanya. “Mengalir saja. Tidak ada pergantian resmi. Yang ada sinergitas kepemimpinan, “ ungkap pria 37 tahun tersebut.

Yang paling berat dalam melanjutkan usaha rintisan orang tua itu, kata Putu, adalah kebebasan yang diberikan orang tuanya. “Susah kan? Saya harus meneruskan sesuatu yang sudah hebat. Sementara orang tua membebaskan saya. Itu lebih membingungkan, “ ujar Putu. Hanya satu yang dia jadikan patokan, yakni pesan untuk mencurahkan semuanya, cinta dan ketulusan untuk seni, masyarakat dan kesejahteraan banyak pihak.
Karena itu, Putu berupaya membentuk perusahaan sebagai rumah bagi kurang lebih 300 karyawannya. Tempat berbagi, saling bertukar pengalalman, unjuk gagasan, dan penguatan nilai-nilai kehidupan.
Tak urung, Putu juga memaksimalkan ilmu yang didapatnya dari bangku kuliah untuk pelaksanaan menajerial perusahaan. Dia melakukan rekonstruksi hingga evaluasi branding. “ Saya ingin The Rudana bukan hanya mewakili orang per orang, mewakili keluarga Rudana, tapi The Rudana adalah wujud gagasan untuk memuliakan ketulusan kepada berbagai pihak, “ kata Putu. (c6/dos)

Bukan Syahwat Berkuasa
Muda, sukses, berwawasan luas, punya koneksi melimpah. Rasanya ada yang kurang memang kalau Putu Supadama Rudana tak mennceburkan diri ke kancah politik praktis. Walaupun sebagian khalayak menilai, jagat politik tak pas bagi Rudana yang mengagungkan ketulusan dan mengesampingkan syahwat kekuasaan, materi, ego, serta kepentingan.

“Itu karena ada pemaknaan politik praktis secara sempit, “ kata Putu Rudana. Bagi master of business administration (MBA) keluaran Negeri Paman Sam tersebut, politik berarti cara-cara untuk meraih tujuan atau mewujudkan gagasan. Nah, karena itu, dia harus masuk ke ranah politik untuk bisa memuluskan gagasannya, yakni mencintai, menjiwai dan menggaungkan ketulusan.

Karena itu, Putu mau tak mau harus ikut kendaraan politik, yakni partai. Dia memilih Demokrat, partai yang dianggapnya paling pas untuk menyebarkan gagasan tersebut. Pada 2009, Putu juga mencalonkan diri sebagai wakil rakyat ke Senayan. Tetapi, perolehan suaranya tak cukup. Dia gagal. “Itu kata orang. Saya sendiri tak merasa itu sebagai kegagalan. Itu adalah proses pembelajaran yang sangat indah kalau kita syukuri, “ ucap Putu. Katanya, life in about taking risk. (c6/dos)

Sumber : Jawa Post
Edisi Kamis 19 Januari 2012

Museum Laboratorium Kebudayaan

KOMPAS – Harus diakui, kondisi rata-rata museum di Indonesia relatif memprihatinkan. Tidak hanya soal pengelolaan, tetapi juga benda-benda koleksi di dalamnya yang berusia ratusan tahun pun dalam keadaan menyedihkan.

”Itu (kondisi) yang pantas dibenahi. Kita ingin museum bisa menjadi laboratorium kebudayaan,” ujar Ketua Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Putu Supadma Rudana (38), pekan lalu, di Denpasar, Bali.

Guna merintis jalan ke arah perbaikan tersebut, pada 12 Agustus lalu, Supadma menandatangani statement of commitment dan memorandum of understanding (MOU) dengan Museum Association of Thailand (MAT).
President MAT Somchai Na Nakhonphanom dan penasihat MAT, Somlak Charoenpot, pun hadir di Bali dalam penandatanganan kerja sama tersebut.

”Ini baru langkah awal kami untuk kembali menoleh pada museum. (Museum) Sudah terlalu lama tertidur…,” kata Supadma yang juga President of The Rudana Ubud.

Bersama MAT, AMI akan menyelenggarakan berbagai upaya edukasi, apresiasi, dan komunikasi kebudayaan.

”Prinsipnya, kita kembali harus memuliakan kebudayaan,” ujar Supadma.

Sebagai ikatan kerja sama dan persaudaraan, Supadma menyerahkan selendang yang disebutnya sebagai ”Selendang Tulus Hati” kepada Somchai dan Somlak.

”Selendang ini tanda pertautan kebudayaan intim antara Indonesia dan Thailand,” ujar Supadma. (CAN)

Sumber : KOMPAS, Senin, 27 Agustus 2012

Ketua Parlemen China Kunjungi Museum Rudana: Maknai Kepariwisataan Indonesia-China

Ketua Parlemen China, Wu Bangguo, pada Sabtu (7/11) lalu mengunjungi Museum Rudana, Ubud, Bali, serangkaian dengan jadwal kerjanya ke Indonesia guna bertemu para tokoh pemerintahan serta legislatif Indonesia untuk membahas berbagai permasalahan terkini antara Indonesia dan China. Kedatangan Wu Bangguo ke Museum Rudana diterima oleh Putu Rudana, President Director of Museum Rudana beserta Nyoman Rudana, Founder dari museum ini.

Dalam kunjungannya ini, Wu Bangguo menyatakan apresiasinya kepada Bali, dan juga segenap masyarakat Indonesia, yang mampu menerapkan serta mengembangkan suatu kebijakan pariwisata yang selaras dengan alam lingkungan.

“Saya berharap, sebuah hubungan yang kuat dan menyeluruh dapat terbangun antara Bali serta berbagai daerah di China, terutama dalam meningkatkan sekaligus mengembangkan kerjasama pariwisata, kajian di bidang agrikultur, serta membangun perekonomian yang rendah emisi karbon, dengan mengedepankan suatu studi banding berkelanjutan di berbagai bidang, termasuk di dalamnya seni-budaya. Saya yakin upaya ini merupakan langkah strategis untuk mempromosikan kesepahaman dan juga persahabatan yang selama ini telah, tengah serta akan terbangun antara Indonesia dan China,” ujar Wu Bangguo.

Putu Rudana, yang juga adalah Ketua Departemen Kebudayaan dan Pariwisata DPP Partai Demokrat, menyampaikan ungkapan terimakasih atas apresiasi Ketua Parlemen China ini. Ia juga menyatakan bahwa selain mengedepankan keindahan panorama alam, kebijakan kepariwisataan ke depan haruslah juga menyentuh sekaligus mengangkat nilai-nilai luhur seni budaya suatu tradisi, masyarakat, ataupun suku bangsa. Sementara itu, orientasi tourisme juga harus mulai mengarah pada kepariwisataan yang berlandaskan pada kualitas, bukan kuantitas atau mass-tourism.

“Permuseuman sesungguhnya memiliki andil yang amat signifikan. Selain menyimpan beragam kekayaan seni-budaya, baik berupa karya-karya para seniman maupun warisan-warisan sejarah lainnya, museum juga dapat menjadi center of excellence, dimana para generasi muda, peneliti ataupun lembaga-lembaga kajian kebudayaan memperoleh pengetahuan akan perjalanan sejarah suatu bangsa beserta nilai-nilai luhur dari para pendahulu kita. Dari museumlah, kita harapkan lahir berbagai kajian, telaah ataupun refleksi atas kekayaan juga pemaknaan seni-budaya di masa lalu, kini dan yang akan datang,” kata Putu Rudana yang juga Ketua IV Asosiasi Museum Indonesia (AMI) ini.
Kunjungan Wu Bangguo ke Indonesia sekaligus juga guna memaknai 60 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia dan China. Wu terbang ke Bali setelah empat hari kunjungan di Kamboja. Selain itu, Wu juga akan bertemu dengan petinggi pemerintahan Thailand selepas jadwal kerjanya di Indonesia.

Refleksi Nilai-Nilai Luhur Hari Pahlawan

Setiap memperingati hari bersejarah, bangsa Indonesia sesungguhnya memperoleh kesempatan untuk merenung ulang serta merefleksikan cita-cita luhur para founding fathers, pendiri negara ini.

Demikian pula berkenaan dengan tanggal 10 November ini. Peringatan Hari Pahlawan adalah memang suatu momen berharga bagi kita guna memaknai kegigihan, integritas, komitmen dan kecintaan atas negeri ini, dimana pada era revolusi dulu terwujud sebagai gelora kebersamaan untuk meraih kemerdekaan sekaligus mengukuhkan keberadaan NKRI.

Para pejuang pendiri negeri ini telah mendarmabaktikan hidupnya dengan segenap ketulusan serta semangat pantang menyerah. Dengan meresapi, menghayati serta merefleksikan nilai-nilai luhur warisan para patriot bangsa itu, kita, sebagai generasi penerus, akan memperoleh karunia energi kebersamaan yang kreatif sekaligus produktif.

Semangat kerbersamaan atau ‘Bersama Kita Bisa’ itu dapat mendorong kita untuk meraih capaian prestasi setinggi-tingginya di bidang masing-masing. Semangat itu pula yang akan memungkinkan lahirnya ‘pahlawan-pahlawan’ era kini, yang berjuang sepenuh pengabdian tanpa pamrih untuk kejayaan, kemakmuran dan keutuhan NKRI.

Dalam kebhinekaan dan keanekaragaman kultur negeri ini, mari kita satukan tekad mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam Mukadimah UUD 1945.

Gaungkan Kebahagiaan, Kedamaian dan Kesejatian dari Museum Rudana

Sumber: Denpasar Post, Rabu, 10 November 2010

image003Tujuh tokoh spiritual Bali, yakni Ida Pedanda Gede Ketewel Kemenuh, Ida Pedanda Gede Made Gunung, Ida Pandita Mpu Nabe Parama Daksa Natha Ratu Bagus, Merta Ada, dr. Gede Kamajaya, Kadek Suambara, serta Prabu Darmayasa, Jumat (5/11) lalu memperoleh penganugerahan Angkus Prana dari Museum Rudana, Peliatan, Ubud.
Museum Rudana mempersembahkan Anugerah Angkus Prana kepada tujuh tokoh spiritual Bali yang selama ini telah terbukti mendedikasikan baktinya guna melestarikan keselarasan dan keharmonian masyarakat Bali beserta adat, istiadat dan budayanya yang adiluhung. Pada acara yang digelar Jumat (5/11) di Museum Rudana kemarin, serangkaian dengan Bali Yoga Festival.

Anugerah Angkus Prana ini adalah renungan dan gagasan dari Bapak Putu Supadma Rudana, yang juga adalah President Director of Museum Rudana, yang berkeyakinan bahwa eksistensi dan keberadaan Bali yang tersohor hingga ke belahan dunia ini tentulah tidak lepas dari peranan para spiritualis dalam melakukan puja mantra dan doa agar masyarakat, lingkungan serta seluruh mahluk yang berdiam di pulau ini dalam naungan kedamaian dan kesentosaan, serta senantiasa selaras dan harmoni dengan Tuhan Yang Maha Esa. Penganugerahan ini dimaknai pula dengan peresmian Prasasti Angkus Prana berupa sentuhan langsung kedua telapak tangan para tokoh spiritual penerima Anugerah Angkus Prana beserta penandatanganan oleh Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Founder of Museum Rudana Nyoman Rudana.

Dalam sambutannya Nyoman Rudana menyampaikan bahwa Anugerah beserta Prasasti Angkus Prana merupakan persembahan keluarga besar Museum Rudana yang selama ini melaksanakan berbagai kegiatan budaya serta kesenian berikut ritual keagamaan sebagai sebuah wujud bakti kepada Yang Maha Agung. Dengan kata lain, keberadaan acara ini dapat dimaknai sebagai sumbangsih untuk mempererat tali batin dan kebersamaan sekaligus penghargaan kepada mereka yang setia mewujudkan cintanya kepada Bali, bangsa, dan umat manusia, melalui olah spiritual penuh ketulusan dan didasari oleh kebeningan serta keheningan hati.

“Yoga bukan hanya upaya kita untuk mencari kehidupan spiritual yang hakiki, namun juga dapat mempererat kebersamaan kita sebagai bagian dari alam semesta dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Untuk itu, Putu Supadma Rudana, President Director Museum Rudana, mengusulkan untuk menjadikan tanggal 5 November sebagai Hari Yoga Bali, Nasional bahkan semoga dapat menjadi perayaan Internasional,” Ujar Nyoman Rudana.

Di sisi lain, pada sambutannya Gubernur Bali Made Mangku Pastika menyatakan melalui Bali Yoga Festival yang mengambil tema energy from nature merupakan upaya untuk membangun sumber daya manusia yang sehat, bugar dan kompetitif serta sekaligus membangun semangat solidaritas. “Kegiatan ini sangatlah tepat untuk mendorong proses adaptasi dan akulturasi yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat dapat selaras dengan kehidupan nilai-nilai kearifan lokal yang ada,” ujar Gubernur Bali yang dalam pengantar pidatonya menyatakan, if there’s any heaven in our world, this is the truly heaven, at Museum Rudana (Jika ada surga di dunia kita, inilah tempatnya, di Museum Rudana).

Dia juga mengungkapkan dalam era globalisasi dewasa ini masyarakat Bali dihadapkan pada tantangan berupa transformasi sosial budaya yang pada akhirnya berdampak pada sikap dan cara pandang masyarakat menghayati dan mengimplementasikan nilai-nilai dalam kehidupan berbudaya. Berbagai pandangan mulai timbul di kalangan masyarakat terhadap tatanan nilai-nilai sosial-budaya yang dijiwai nilai-nilai religi. Demikian pula semakin meningkatnya arus migrasi menjadikan masyarakat semakin pluralistik. Hal ini, di samping akan bisa mewujudkan toleransi, di sisi lain akan dapat menimbulkan gesekan nilai-nilai sosial ekonomi. “Bila tidak disikapi secara cermat, maka bisa menimbulkan kesenjangan sosial, dan akan berimplikasi terhadap melemahnya tatanan budaya masyarakat lokal,” tegas Mangku Pastika.

Menurut Gubernur, bila kita mampu memaknai berbagai bentuk yoga yang ada dalam konsep holistik dari catur yoga, yaitu bakti, karma , jnana dan raja yoga adalah dimaksudkan membangun integritas diri untuk mewujudkan keharmonisan dalam tatanan hidup masyarakat Bali. Untuk itu kita semua mesti selalu berpegang pada norma agama dan tatanan nilai-nilai budaya demi kebaikan bersama serta akan lebih baik lagi bila disertai dengan peningkatan rasa kebersamaan yang dilandasi dengan hati nurani yang damai. ”Saya melihat bahwa dalam ajaran catur yoga di Bali ada tiga kekuatan manusia yang sering dilupakan yakni, mental, moral intelektual dan nilai-nilai kebersamaan. Ketiga kekuatan ini merupakan landasan untuk membangun cara berpikir universal. Melalui Bali Yoga Festival ini marilah kita kembangkan nilai-nilai universal utamanya mensinergikan kearifan lokal dengan nilai-nilai modern.” tandas Mangku Pastika.

Doa dan Uluran Keprihatinan Bagi Nusantara

Sumber: Bali Post, Rabu, 10 November 2010

image005Doa bagi Nusantara dilantunkan dengan keheningan dan kebeningan hati di Museum Rudana, Minggu (7/11) lalu serangkaian acara penutupan Bali Yoga Festival yang berlangsung sejak 5 November lalu.

Doa yang diprakarsai oleh Putu Supadma Rudana ini ditujukan untuk menyatukan energi spiritual penuh kasih guna turut membantu saudara-saudara sebangsa yang tengah mengalami cobaan dan ujian di Wasior, Mentawai dan juga di sekitar Gunung Merapi.

Lantunan doa bersama itu dihadiri pula oleh Ida Pandita Mpu Nabe Parama Daksa Natha Ratu Bagus, Founder of Museum Rudana Nyoman Rudana, beserta keluarga besar Museum Rudana, dimaknai pula sebagai kebersamaan dalam keprihatinan sebagai peneguh ikatan batin sesama anak bangsa di nusantara ini. Penyatuan prana dalam naungan daya spiritual kebersamaan ini, diyakini akan mendorong terciptanya keselarasan dan keharmonian antara manusia, alam, dan juga Sang Maha Agung.

“Semoga segala kebahagiaan, kedamaian dan kesejatian memancar ke segenap rasa, karsa, sparsa, cipta dan karya, di mana kita dapat kembali selaras dan harmoni dengan alam dan Yang Maha Agung. Dan semoga pula saudara-saudara kita yang tengah mengalami cobaan dan ujian diberi kekuatan dan kesanggupan untuk menghadapinya,” kata Putu Rudana.

Dalam kesempatan itu juga Keluarga Besar Museum Rudana menggelar aksi spontan berupa pengumpulan dana yang akan disalurkan kepada media-media terpilih, baik lokal maupun nasional, yang telah membuka posko penanggulangan bencana dan keprihatinan bersama.

Sebelumnya, tujuh tokoh spiritual Bali, yakni Ida Pedanda Gede Ketewel Kemenuh, Ida Pedanda Gede Made Gunung, Ida Pandita Mpu Nabe Parama Daksa Natha Ratu Bagus, Merta Ada, dr. Gede Kamajaya, Kadek Suambara, serta Prabu Darmayasa, Jumat (5/11) lalu memperoleh penganugerahan Angkus Prana dari Museum Rudana, Peliatan, Ubud.

Museum Rudana mempersembahkan Anugerah Angkus Prana kepada tujuh tokoh spiritual Bali yang selama ini telah terbukti mendedikasikan baktinya guna melestarikan keselarasan dan keharmonian masyarakat Bali beserta adat, istiadat dan budayanya yang adiluhung. Pada acara yang digelar Jumat (5/11) di Museum Rudana kemarin, serangkaian dengan Bali Yoga Festival.

Cerminan Doa Bersama

Sumber : Denpasar Post, Rabu, 10 November 2010

image004Prasasti Angkus Prana tidak hanya dapat dimaknai sebagai wujud persembahan, melainkan juga cerminan doa bersama untuk menyatukan berbagai prana atau unsur kehidupan yang hakiki guna mewujudkan pulau Bali yang lestari serta penuh dengan toleransi. Prasasti ini bukan hanya berdimensi masa kini, melainkan juga memiliki nilai-nilai pencerahan bagi generasi mendatang. Terukir dalam prasasti tersebut renungan Putu Supadma Rudana: Sebuah pesamuan kebersamaan kita dalam doa, puja dan bakti kepada Sang Maha Agung.

Di sinilah dimaknai karunia kasih dan cinta guna menjunjung dan menggaungkan nilai-nilai luhur keselarasan serta keharmonian antara sesama umat manusia, semesta raya, dan Sang Maha Pencipta. Semoga segala kebahagiaan, kedamaian dan kesejatian memancar ke segenap rasa, karsa, sparsa, cipta dan karya, di mana semua makna luluh menyatu ke mula yang pertama ke inti sari segala yang hakiki.

Angkus Prana sendiri dipetik dari Bahasa Sansekerta yang merujuk pada kisah Mahabarata yang menceritakan tentang bagaimana kepahlawanan Sang Bima, putra Pandu, yang menjunjung di bahunya keempat saudara beserta ibunda tercinta, Kunti, guna menghindari marabahaya berupa jebakan kobaran api yang direncanakan secara licik oleh Para Korawa. Terkandung dalam peristiwa ini, sebuah nilai-nilai filosofis luhur tentang kebersamaan dalam keselarasaan dan keharmonian, serta nilai-nilai kepahlawanan yang hakiki. Hanya melalui penyatuan segala prana dalam keseluruhan energi kosmis atau semesta, maka kebajikan yang terefleksi pada diri Bima, akan memperoleh wujud kekuatannya melalui puja, doa, serta bakti.

Selain melalui persembahan Anugerah Angkus Prana berserta peresmian prasasti, sebuah wujud doa bersama juga dilakukan demi keharmonian dunia, serta ditujukan agar masyarakat, lingkungan serta seluruh mahluk yang berdiam di pulau ini, bangsa Indonesia serta semesta raya, senantiasa dalam naungan kedamaian dan kesentosaan, selaras dan harmoni dengan Tuhan Yang Maha Esa. Doa bersama ini diwujudkan dengan penanaman pohon Bodhi oleh Gubernur Bali, Nyoman Rudana serta Ketua Panitia Bali Yoga Festival Dra. Made Suardewi.

Dra. Made Suardewi, dalam laporan, berharap supaya kegiatan ini dapat melibatkan segenap masyarakat pecinta yoga dan spiritual untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang damai dan tenteram. ”Bali Yoga Festival ini berupaya memberi pemahaman yoga secara holistik kepada masyarakat. Intinya, yoga itu bukan sebatas asana,” ujarnya. Melalui olah yoga, berikut tahapannya, yakni yama, niyama, asana, pranayama, pratyahara, dharana, dyana dan samadi, maka seorang anak akan menjadi baik seperti yang diidam-idamkan lahirnya anak suputra.

Merujuk Kisah Mahabarata

Sumber: Denpasar Post, Rabu 10 November 2010

image003 Angkus Prana dipetik dari Bahasa Sansekerta yang merujuk pada kisah Mahabarata yang menceritakan tentang bagaimana kepahlawanan Sang Bima, putra Pandu, yang menjunjung di bahunya keempat saudara beserta ibunda tercinta, Kunti, guna menghindari marabahaya berupa jebakan kobaran api yang direncanakan secara licik oleh Para Korawa. Terkandung dalam peristiwa ini, sebuah nilai-nilai filosofis luhur tentang kebersamaan dalam keselarasaan dan keharmonian, serta nilai-nilai kepahlawanan yang hakiki.

Hanya melalui penyatuan segala prana dalam keseluruhan energi kosmis atau semesta, maka kebajikan yang terfeleksi pada Bima akan memperoleh wujud kekuatan melalui puja, doa, serta bakti.

Prasasti Angkus Prana merupakan cerminan doa bersama untuk menyatukan berbagai prana atau unsur kehidupan yang hakiki guna mewujudkan pulau Bali yang lestari serta penuh dengan toleransi.

Prasasti ini bukan hanya berdimensi masa kini, melainkan juga memiliki nilai-nilai pencerahan bagi generasi mendatang.

Peresmian Prasasti Angkus Prana dilakukan di Museum Rudana, di mana batu prasasti dikelilingi oleh Mandala, salah satu lambang suci dalam agama Hindu, yang mencerminkan juga keharmonisan antara manusia, semesta alam, serta Yang Maha Agung.

Ketujuh tokoh spiritual ini meresmikan Prasasti Angkus Prana dengan menyentuh batu dengan telapak tangan ke prasasti bersama-sama, disaksikan Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, Founder of Museum Rudana serta Putu Supadma Rudana.

Doa bersama untuk keharmonian dunia, serta ditujukan agar masyarakat, lingkungan serta seluruh makhluk yang berdiam di pulau ini dalam naungan kedamaian dan kesentosaan, serta senantiasa selaras dan harmoni dengan Tuhan Yang Maha Esa

Senyawa Jazz dan Jegog di Bali

Sumber: yahoo.news, Jumat, 22 Oktober 2010

image007Panggung setinggi pinggang orang dewasa berdiri di depan Museum Rudana, Ubud, Gianyar, Bali. Patung Sang Hyang Basuki dan Taksaka mengapit panggung yang dipayungi pohon jepun. Malam menjelang, dua naga penjaga bumi Bali itu memberi nuansa mistis.

Ratusan undangan bergaun serba putih memasuki lokasi museum di lahan dua hektar itu. Lampu warna-warni menyinari. Para pengunjung, tak hanya menonton, juga menjadi bagian pertunjukan. Perlahan, bak sebuah ritual, mereka berjalan perlahan memasuki museum mengamati ribuan karya seni berupa lukisan dan patung.

Di antara yang dipamerkan adalah karya I Gusti Nyoman Lempad, Nyoman Gunarsa, dan Made Wianta. Selain itu ada juga karya maestro Affandi, Basuki Abdullah, Srihadi Soedarsono, dan Sunaryo Sutono. Ada juga lukisan seniman yang bermukim di Ubud Antonio Blanco, juga ada karya Yuri Gorbachev (Rusia), Jafar Islah(Kuwait), dan Iyama Tadayuki (Jepang).

Setelah menikmati lukisan, satu persatu menempati tempat duduknya di bawah tenda putih di depan panggung. Suasana senyap, menanti sebuah persembahan karya seni yang bertajuk “Panca Tan Matra” yang diselenggarakan pada Rabu 13 Oktober 2010 itu.

Panca Tan Matra bagi Bali memiliki makna yang sangat mendalam. Adalah lima sari inti hakiki alam semesta, yaitu akasa (langit), apah (zat cair), teja (sinar api), bayu (angin), dan pertiwi (tanah). Semua itu diyakini tak terpisahkan dari terjadinya penciptaan, meliputi bhuwana agung atau makrokosmos dan bhuwana alit atau mikrokosmos.

Di sini, makna Panca Tan Matra itu direfleksikan dalam kolaborasi suara, rupa, dan kata. Agar makin kuat, Presiden Direktur Museum Rudana Putu Supadma Rudana, memanggil musisi Dwiki Dharmawan, memadunya dengan gitaris Brasil Toninho Horta, penyair Warih Wisatsana, koreografer I Nyoman Sura, dan komposer Nyoman Windha.

Kehadiran musisi ternama ini tentu saja memanjakan pengunjung. Mereka, setelah menjalankan ritual rupa di dalam museum, menyaksikan kata dan suara.

Suasana museum mulai senyap saat 20 pemusik Jegog musik tradisi Bali yang diciptakan pada 1912 mulai bermunculan di atas panggung. Berpakaian serba gelap mereka menempati sisi kiri dan kanan panggung. Kemudian diikuti Dwiki Dharmawan yang menempati tempatnya di kursi keyboard.

Lalu Putu Supadma, menabuh gendang pertanda seni kata dan suara segera dimulai. Dia berteriak, “Heeeeee, silahkan.” Jegog bertalu-talu, Berpakaian serba putih dengan wajah bertopeng, Nyuoman Sura, masuk dengan gerak tari kontemporer. Menceritakan makna kehidupan. Berawal dari kecil, lalu membesar, dan berakhir kembali ke asalnya.
Terdengar penyair Warih Wisatsana mengucapkan makna Panca Tan Matra dalam bait-bait puisi, “Ketika suara menyentuh rupa, mengada dalam Kata, kembalilah semua makna ke mula segala yang pertama, kembalilah segenap arti ke inti sari yang hakiki.”

Selanjutnya Dwiki menyiramnya dengan irama jazz. Bersama dia ada Barry Likumahuwa dan basis Demas Narawangsa. Dira Sugandi, yang pernah berduet dengan Jason Mraz di gelaran Java Jazz 2010, mengumandangkan suara emasnya.

Puncaknya adalah Toninho Horta, yang lalu mengajak semua musisi untuk nge-jam. “Kami bermain bersama di sini sama sekali tanpa latihan,” kata Dwiki.

Torinho dan Dwiki menunjukkan kemampuannya memompa semangat pemusik Jegog untuk berkolaborasi bersama mereka. Hasilnya, musik jegog masuk dalam komposisi jazz yang unik. Laksana seekor ikan yang meliuk-liuk menari dalam akuarium.

Kolaborasi seperti ini memang pantas untuk tempat sekelas Museum Radana, penerima penghargaan Lalbero dellumanita Award (Pohon Perdamaian) dari pemerintah Italia. Ini museum yang dikunjungi tamu penting dari berbagai negara, seperti Presiden Cina Jiang Zemin pada 1995, juga Presiden Hongaria, Bulgaria, Pakistan, hingga mantan Presiden Amerika Jimmy Carter.

Tapi siapa sangka, gelaran besar Museum Rudana ini adalah tribute untuk seorang seniman kecil di Bali, Putu Pageh Yasa, yang lukisannya berciri khas anyaman bambu. Beberapa waktu lalu, dia tewas ditabrak truk saat mengenderai sepeda motor. Lukisan Pageh Yasa terpampang di dinding museum. Salah satunya berwujud wajah Barack Obama.
Pageh Yasa dan seniman lainnya-lah yang menghidupkan museum itu, sehingga ia tak hanya menjadi benda yang mati. “Museum diiberi energi agar terus menerus hidup,” kata Putu Supadma Rudana.

Usai pertunjukan, pengunjung tak juga pulang. Mereka menikmati suasana dan energi kehidupan yang dinyalakan para seniman.

Rudana Menggapai Wilayah Populer

Sumber: Kompas, Minggu, 17 Oktober 2010

Institusi seperti Museum Rudana telah lama mapan dengan citra ”tradisi”. Meski di museum ini juga dipajang karya-karya rupa modern, tradisionalitas tak pernah benar-benar hilang.

Kehadiran musisi jazz Dwiki Dharmawan yang menggandeng legenda hidup asal Brasil, Toninho Horta, Rabu (13/10), seolah menegaskan kiblat baru yang ingin dirambah museum yang berlokasi di Peliatan Ubud, Gianyar, Bali, ini. Apalagi dalam pentas kolaborasi yang diberi tajuk ”Panca Tan Matra” itu turut ambil bagian penyair Warih Wisatsana, koreografer I Nyoman Sura, dan komposer Nyoman Windha. Di dalam museum dipajang pula karya tiga perupa muda, Ida Bagus Indra, Putu Pageh Yasa, dan Wayan Darmika.

Sentuhan ke arah yang lebih populer ini tak lepas dari kehadiran Presiden Direktur Museum Rudana Putu Supadma Rudana, yang ingin membuat museum tidak menjadi institusi mati. Oleh sebab itu, museum harus terus-menerus diberi ”energi” baru ”Sehingga ia bisa terasa terus-menerus hidup bersama kita,” ujar Supadma Rudana.

Kemampuan Dwiki tak bisa diragukan lagi setelah malang melintang bersama Krakatau Band dengan mengusung gamelan Sunda. Kali ini ia bersama Nyoman Windha meramu musik jegog menjadi tampilan komposisi jazz yang unik. Jegog merupakan ensambel musik tradisi dari wilayah Jembrana, yang menggunakan bilah-bilah bambu dalam ukuran besar. Selain itu, musik ini memiliki laras transisi antara slendro dan pelog. Diperkirakan diciptakan tahun 1912.

Komposisi
Pada pementasan itu, Dwiki bersama Windha menciptakan komposisi berjudul ”Bima Kroda”. Dwiki sepenuhnya sadar tidak mudah mensenyawakan instrumentasi produk Barat, seperti piano atau keyboard dengan gamelan jegog. ”Oleh sebab itu, saya tidak berpatokan pada chord-chord reguler sebagaimana musik Barat. Saya tidak mau terkunci,” ujar Dwiki.

Komposisi ”Bima Kroda” menjadi lebih istimewa karena koreografer I Nyoman Sura dan penyair Warih Wisatsana secara spontan mengisi gerak dan makna. Dalam merespons tajuk ”Panca Tan Matra”, Warih berucap, ”Maka ketika Suara menyentuh Rupa/mengada dalam Kata/kembalilah semua makna ke mula segala yang pertama/kembalilah segenap arti ke inti sari yang hakiki/.”

Fragmen puisi ini boleh jadi mengisyaratkan pemaknaan ulang terhadap keberadaan institusi seperti Museum Rudana. Fondasi makna yang telah diletakkan oleh Rudana tahun 1995 sudah waktunya diperbarui mengikuti kencenderungan zaman, terutama dalam soal isi.

Di situlah kehadiran legenda hidup musik jazz asal Brasil Toninho Horta terasa tepat waktu. Walau kehadirannya kebetulan, karena Toninho sedang mengikuti festival jazz di Jepang dan Korea, dan mengisi waktu luangnya dengan hadir di Bali, tetapi ia memberi sentuhan kontemporer yang berarti.

Komposisi seperti ”For the Children” yang diciptakan Toninho pada era awal 1990-an, yang begitu populer dalam kancah Brasilian jazz, tiba-tiba memberi nuansa lain ketika dimainkan di halaman Museum Rudana. Kolaborasi tak hanya terjadi pada suara, kata, dan rupa di atas pentas, tetapi bangunan museum yang didesain dengan gaya tradisi Bali memperoleh ruang kreativitas baru. Di tembok-tembok museum seakan menempel petikan gitar Toninho yang memukau.

Harmoni dan melodi yang dominan pada gitar-gitar Toninho itu bahkan mengilhami Pat Metheny, salah satu gitaris jazz ternama, untuk menciptakan beberapa komposisi. Bahkan, Pat menobatkan Toninho sebagai salah satu komposer terbesar dalam bidang nylon-string guitar.

Pencapaian ini, meski tidak terlalu istimewa, penting artinya bagi eksistensi kebudayaan, khususnya museum seni rupa di Bali. Kebudayaan Bali sejauh ini sepekarena intervensi industri pariwisata. Lalu, kebudayaan seperti mati di dalam museum-museum. Dan Bali tidak boleh lari dari jati dirinya sebagai pengusung kebudayaan tradisional, yang sering diberi julukan adiluhung.

Kehadiran Toninho, Dwiki, Windha, Sura, dan Warih dalam nuansa jazzy itu bisa menjadi awal yang baik untuk menuju satu era, di mana kebudayaan adalah kreativitas yang tak pernah berhenti. Dan di Museum Rudana, yang selama ini dicitrakan tradisional dan bahkan klasik, kreativitas itu sudah dimulai….