Tag: panca tan matra

Senyawa Jazz dan Jegog di Bali

Sumber: yahoo.news, Jumat, 22 Oktober 2010

image007Panggung setinggi pinggang orang dewasa berdiri di depan Museum Rudana, Ubud, Gianyar, Bali. Patung Sang Hyang Basuki dan Taksaka mengapit panggung yang dipayungi pohon jepun. Malam menjelang, dua naga penjaga bumi Bali itu memberi nuansa mistis.

Ratusan undangan bergaun serba putih memasuki lokasi museum di lahan dua hektar itu. Lampu warna-warni menyinari. Para pengunjung, tak hanya menonton, juga menjadi bagian pertunjukan. Perlahan, bak sebuah ritual, mereka berjalan perlahan memasuki museum mengamati ribuan karya seni berupa lukisan dan patung.

Di antara yang dipamerkan adalah karya I Gusti Nyoman Lempad, Nyoman Gunarsa, dan Made Wianta. Selain itu ada juga karya maestro Affandi, Basuki Abdullah, Srihadi Soedarsono, dan Sunaryo Sutono. Ada juga lukisan seniman yang bermukim di Ubud Antonio Blanco, juga ada karya Yuri Gorbachev (Rusia), Jafar Islah(Kuwait), dan Iyama Tadayuki (Jepang).

Setelah menikmati lukisan, satu persatu menempati tempat duduknya di bawah tenda putih di depan panggung. Suasana senyap, menanti sebuah persembahan karya seni yang bertajuk “Panca Tan Matra” yang diselenggarakan pada Rabu 13 Oktober 2010 itu.

Panca Tan Matra bagi Bali memiliki makna yang sangat mendalam. Adalah lima sari inti hakiki alam semesta, yaitu akasa (langit), apah (zat cair), teja (sinar api), bayu (angin), dan pertiwi (tanah). Semua itu diyakini tak terpisahkan dari terjadinya penciptaan, meliputi bhuwana agung atau makrokosmos dan bhuwana alit atau mikrokosmos.

Di sini, makna Panca Tan Matra itu direfleksikan dalam kolaborasi suara, rupa, dan kata. Agar makin kuat, Presiden Direktur Museum Rudana Putu Supadma Rudana, memanggil musisi Dwiki Dharmawan, memadunya dengan gitaris Brasil Toninho Horta, penyair Warih Wisatsana, koreografer I Nyoman Sura, dan komposer Nyoman Windha.

Kehadiran musisi ternama ini tentu saja memanjakan pengunjung. Mereka, setelah menjalankan ritual rupa di dalam museum, menyaksikan kata dan suara.

Suasana museum mulai senyap saat 20 pemusik Jegog musik tradisi Bali yang diciptakan pada 1912 mulai bermunculan di atas panggung. Berpakaian serba gelap mereka menempati sisi kiri dan kanan panggung. Kemudian diikuti Dwiki Dharmawan yang menempati tempatnya di kursi keyboard.

Lalu Putu Supadma, menabuh gendang pertanda seni kata dan suara segera dimulai. Dia berteriak, “Heeeeee, silahkan.” Jegog bertalu-talu, Berpakaian serba putih dengan wajah bertopeng, Nyuoman Sura, masuk dengan gerak tari kontemporer. Menceritakan makna kehidupan. Berawal dari kecil, lalu membesar, dan berakhir kembali ke asalnya.
Terdengar penyair Warih Wisatsana mengucapkan makna Panca Tan Matra dalam bait-bait puisi, “Ketika suara menyentuh rupa, mengada dalam Kata, kembalilah semua makna ke mula segala yang pertama, kembalilah segenap arti ke inti sari yang hakiki.”

Selanjutnya Dwiki menyiramnya dengan irama jazz. Bersama dia ada Barry Likumahuwa dan basis Demas Narawangsa. Dira Sugandi, yang pernah berduet dengan Jason Mraz di gelaran Java Jazz 2010, mengumandangkan suara emasnya.

Puncaknya adalah Toninho Horta, yang lalu mengajak semua musisi untuk nge-jam. “Kami bermain bersama di sini sama sekali tanpa latihan,” kata Dwiki.

Torinho dan Dwiki menunjukkan kemampuannya memompa semangat pemusik Jegog untuk berkolaborasi bersama mereka. Hasilnya, musik jegog masuk dalam komposisi jazz yang unik. Laksana seekor ikan yang meliuk-liuk menari dalam akuarium.

Kolaborasi seperti ini memang pantas untuk tempat sekelas Museum Radana, penerima penghargaan Lalbero dellumanita Award (Pohon Perdamaian) dari pemerintah Italia. Ini museum yang dikunjungi tamu penting dari berbagai negara, seperti Presiden Cina Jiang Zemin pada 1995, juga Presiden Hongaria, Bulgaria, Pakistan, hingga mantan Presiden Amerika Jimmy Carter.

Tapi siapa sangka, gelaran besar Museum Rudana ini adalah tribute untuk seorang seniman kecil di Bali, Putu Pageh Yasa, yang lukisannya berciri khas anyaman bambu. Beberapa waktu lalu, dia tewas ditabrak truk saat mengenderai sepeda motor. Lukisan Pageh Yasa terpampang di dinding museum. Salah satunya berwujud wajah Barack Obama.
Pageh Yasa dan seniman lainnya-lah yang menghidupkan museum itu, sehingga ia tak hanya menjadi benda yang mati. “Museum diiberi energi agar terus menerus hidup,” kata Putu Supadma Rudana.

Usai pertunjukan, pengunjung tak juga pulang. Mereka menikmati suasana dan energi kehidupan yang dinyalakan para seniman.

Rudana Menggapai Wilayah Populer

Sumber: Kompas, Minggu, 17 Oktober 2010

Institusi seperti Museum Rudana telah lama mapan dengan citra ”tradisi”. Meski di museum ini juga dipajang karya-karya rupa modern, tradisionalitas tak pernah benar-benar hilang.

Kehadiran musisi jazz Dwiki Dharmawan yang menggandeng legenda hidup asal Brasil, Toninho Horta, Rabu (13/10), seolah menegaskan kiblat baru yang ingin dirambah museum yang berlokasi di Peliatan Ubud, Gianyar, Bali, ini. Apalagi dalam pentas kolaborasi yang diberi tajuk ”Panca Tan Matra” itu turut ambil bagian penyair Warih Wisatsana, koreografer I Nyoman Sura, dan komposer Nyoman Windha. Di dalam museum dipajang pula karya tiga perupa muda, Ida Bagus Indra, Putu Pageh Yasa, dan Wayan Darmika.

Sentuhan ke arah yang lebih populer ini tak lepas dari kehadiran Presiden Direktur Museum Rudana Putu Supadma Rudana, yang ingin membuat museum tidak menjadi institusi mati. Oleh sebab itu, museum harus terus-menerus diberi ”energi” baru ”Sehingga ia bisa terasa terus-menerus hidup bersama kita,” ujar Supadma Rudana.

Kemampuan Dwiki tak bisa diragukan lagi setelah malang melintang bersama Krakatau Band dengan mengusung gamelan Sunda. Kali ini ia bersama Nyoman Windha meramu musik jegog menjadi tampilan komposisi jazz yang unik. Jegog merupakan ensambel musik tradisi dari wilayah Jembrana, yang menggunakan bilah-bilah bambu dalam ukuran besar. Selain itu, musik ini memiliki laras transisi antara slendro dan pelog. Diperkirakan diciptakan tahun 1912.

Komposisi
Pada pementasan itu, Dwiki bersama Windha menciptakan komposisi berjudul ”Bima Kroda”. Dwiki sepenuhnya sadar tidak mudah mensenyawakan instrumentasi produk Barat, seperti piano atau keyboard dengan gamelan jegog. ”Oleh sebab itu, saya tidak berpatokan pada chord-chord reguler sebagaimana musik Barat. Saya tidak mau terkunci,” ujar Dwiki.

Komposisi ”Bima Kroda” menjadi lebih istimewa karena koreografer I Nyoman Sura dan penyair Warih Wisatsana secara spontan mengisi gerak dan makna. Dalam merespons tajuk ”Panca Tan Matra”, Warih berucap, ”Maka ketika Suara menyentuh Rupa/mengada dalam Kata/kembalilah semua makna ke mula segala yang pertama/kembalilah segenap arti ke inti sari yang hakiki/.”

Fragmen puisi ini boleh jadi mengisyaratkan pemaknaan ulang terhadap keberadaan institusi seperti Museum Rudana. Fondasi makna yang telah diletakkan oleh Rudana tahun 1995 sudah waktunya diperbarui mengikuti kencenderungan zaman, terutama dalam soal isi.

Di situlah kehadiran legenda hidup musik jazz asal Brasil Toninho Horta terasa tepat waktu. Walau kehadirannya kebetulan, karena Toninho sedang mengikuti festival jazz di Jepang dan Korea, dan mengisi waktu luangnya dengan hadir di Bali, tetapi ia memberi sentuhan kontemporer yang berarti.

Komposisi seperti ”For the Children” yang diciptakan Toninho pada era awal 1990-an, yang begitu populer dalam kancah Brasilian jazz, tiba-tiba memberi nuansa lain ketika dimainkan di halaman Museum Rudana. Kolaborasi tak hanya terjadi pada suara, kata, dan rupa di atas pentas, tetapi bangunan museum yang didesain dengan gaya tradisi Bali memperoleh ruang kreativitas baru. Di tembok-tembok museum seakan menempel petikan gitar Toninho yang memukau.

Harmoni dan melodi yang dominan pada gitar-gitar Toninho itu bahkan mengilhami Pat Metheny, salah satu gitaris jazz ternama, untuk menciptakan beberapa komposisi. Bahkan, Pat menobatkan Toninho sebagai salah satu komposer terbesar dalam bidang nylon-string guitar.

Pencapaian ini, meski tidak terlalu istimewa, penting artinya bagi eksistensi kebudayaan, khususnya museum seni rupa di Bali. Kebudayaan Bali sejauh ini sepekarena intervensi industri pariwisata. Lalu, kebudayaan seperti mati di dalam museum-museum. Dan Bali tidak boleh lari dari jati dirinya sebagai pengusung kebudayaan tradisional, yang sering diberi julukan adiluhung.

Kehadiran Toninho, Dwiki, Windha, Sura, dan Warih dalam nuansa jazzy itu bisa menjadi awal yang baik untuk menuju satu era, di mana kebudayaan adalah kreativitas yang tak pernah berhenti. Dan di Museum Rudana, yang selama ini dicitrakan tradisional dan bahkan klasik, kreativitas itu sudah dimulai….

Panca Tan Matra Kolaborasi Kreatif Suara, Rupa dan Kata

Melalui seni, kita bersentuhan dengan keindahan. Bahkan lebih jauh lagi, melalui seni pula, dengan beragam ekspresi dan bentuknya, terbuka kemungkinan seseorang memahami hakikat jati dirinya, entah itu sebagai individu yang soliter, ataukah sosok pribadi yang solider. Tak berhenti hanya sampai di situ, di segenap penjuru Nusantara termasuk juga di dalamnya, Bali, hingga sekarang ini, ritual sosial dan keagamaan tak terpisahkan dari laku kreatif berkesenian. Demikian juga sebaliknya, tak sedikit seniman meyakini bahwa karya-karya dan proses kreatifnya adalah suatu prosesi persembahan.

Mengacu pada visi Museum Rudana di atas, maka digelarlah acara sinergi seni yang menghadirkan seniman-seniman terpilih dari musik, tari, rupa, dan sastra. Masing-masing bidang tersebut dipadukan dalam suatu kesatuan ekspresi yang diharapkan tampil utuh secara keseluruhan, sekaligus merespon konsep yang sejak awal telah ditetapkan. Pertunjukan yang diselenggarakan pada Rabu, 13 Oktober 2010 ini boleh dikata adalah sebuah kolaborasi kreatif yang berupaya mengelaborasi acuan nilai-nilai filosofis, merupakan warisan leluhur, yakni segugusan pengertian yang terkandung dalam apa yang disebut Panca Tan Matra.

Dalam telaah paling mendasar, Panca Tan Matra[1] adalah lima anasir awal / sari inti yang bersifat hakiki, yang keberadaannya tak terpisahkan dari terjadinya penciptaan (Srsti), meliputi bhuwana agung atau makrokosmos, serta bhuwana alit atau mikrokosmos. Dengan demikian, kolaborasi kreatif ini mengandaikan bidang-bidang seni yang bersinergi adalah refleksi dari lima sari inti tersebut, di mana proses dan hasil akhirnya diharapkan mencerminkan keselarasan serta keharmonian, sebagaimana penciptaan jagat raya beserta isinya.

Layak diungkap, setiap upaya mensinergikan berbagai bidang seni, selalu melalui tahapan-tahapan yang memerlukan kesabaran, menuntut pihak-pihak yang terlibat untuk bersedia membuka diri; mendiskusikan aneka kemungkinan kreatif seraya mencermati potensi masing-masing dan mengeksplorasinya secara terukur serta terarah. Sebagai penggagas kolaborasi kreatif ini, saya pribadi berbahagia dapat mewujudkannya, terlebih lagi figur-figur yang bersedia bekerjasama adalah seniman-seniman mumpuni, yang tidak hanya bereputasi nasional, melainkan juga internasional. Untuk itu, terimakasih tak berhingga saya sampaikan kepada musikus penuh dedikasi Dwiki Dharmawan beserta rekan-rekan, koreografer Nyoman Sura, musikus Nyoman Winda, perupa Wayan Darmika, Ida Bagus Indra, serta penyair Warih Wisatsana. Demikian pula halnya, ucapan salut dan terimakasih saya tujukan kepada musikus Brazil tersohor, Toninho Horta, yang telah mengkhususkan waktunya guna berekspresi di Museum Rudana; berikut pihak-pihak terkait lainnya yang memungkinkan terwujudnya peristiwa kesenian bertajuk:

Panca Tan Matra Kolaborasi Kreatif Suara, Rupa dan Kata

Sinergi seni ini bukan semata kolaborasi kreatif yang mengekspresikan sentuhan keindahan, akan tetapi ditujukan pula sebagai sarana mempererat jalinan persahabatan dan persaudaraan kita, melampaui perbedaan sosial, budaya serta bangsa. Secara khusus, saya pribadi mendedikasikan acara ini kepada Putu Pageh Yasa (43) yang belum lama ini berpulang. Sebagai seorang pelukis, yang bersangkutan telah mempersembahkan hidupnya untuk menghasilkan karya-karya yang terpujikan.

Keseluruhan peristiwa, sebagaimana terurai di atas, mulai dari penyusunan konsep hingga rangkaian acara paripurna, semoga meyakinkan kita bahwa pada dasarnya setiap mereka yang hadir, termasuk semua undangan, adalah bagian yang tak terpisahkan dari proses Penciptaan ini; dari yang seluruh (terpisah) menuju yang utuh, yang boleh jadi selaras dengan makna semangat Bhinneka Tunggal Ika, walau berbeda-beda, tetap satu jua.

Salam,
Putu Supadma Rudana, MBA.

________________________________________
[1] Panca Tan Matra terdiri dari sabda tan matra (sari suara), rasa tan matra (sari rasa), sparsa tan matra (sari rabaan), rupa tan matra (sari warna), ganda tan matra (sari aroma).