Tag: Putusupadmarudana

Melalui Museum, Sinergi Seni Membangun Bangsa

MELALUI MUSEUM, SINERGI SENI MEMBANGUN BANGSA
Sebuah Catatan tentang Visit Museum Year 2010
Oleh Putu Supadma Rudana, MBA*)

Bagaimanakah kita seharusnya memaknai pencanangan Tahun Kunjungan Museum 2010 (Visit Museum Year 2010)? Tentu jawabannya terpulang pada masing-masing pihak, sesuai dengan profesi, kepentingan, serta latar sosial-budaya yang bersangkutan. Namun sesuatu hal yang tak bisa disangkal, penetapan museum sebagai fokus program sekaligus branding acuan jelaslah menunjukkan bahwa pemerintah secara keseluruhan, tak terkecuali Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, menyadari peran strategis yang dapat disandang oleh museum, baik swasta maupun negeri.

Di sisi lain, patut dikemukakan, penetapan Tahun Kunjungan Museum 2010, merefleksikan pula kesadaran dari pengambil kebijakan bahwa museum hakikatnya bukan semata gedung tempat penyimpanan hasil-hasil kreativitas warisan leluhur atau peninggalan purbakala maupun arsip-arsip dokumentasi masa silam, melainkan memiliki tawaran akan nilai-nilai universal yang terkait kekinian serta berguna untuk turut merumuskan masa depan. Terlebih lagi, bila kita sedia mengkaji tentang adanya kenyataan bahwa Indonesia adalah sebuah republik yang masyarakatnya majemuk, multietnis dan multikultur, serta tengah menghadapi dinamika percepatan perubahan sebagai akibat hadirnya nilai-nilai global, buah dari kemajuan teknologi informatika yang nan canggih itu.

Dengan kata lain, Indonesia yang memiliki letak yang strategis antara dua benua, Asia dan Australia, serta dua samudera, Hindia dan Pasifik, menghadapi tantangan ke depan yang memerlukan suatu pola penanganan yang holistik berlandaskan kerja sama semua pihak tanpa terkecuali. Upaya mengatasi problematik bangsa ini, memang bukan hanya tugas Presiden sebagai eksekutif beserta jajaran pemerintahnya, akan tetapi juga merupakan tanggung jawab anggota legislatif, yudikatif dan, terkait di dalamnya, para profesional aneka bidang, serta tak ketinggalan masyarakat umum lainnya. Dalam konteks ini, sebagaimana berulang saya kemukakan dan juga wujudkan melalui berbagai kesempatan serta kegiatan, perlu dikedepankan oleh semua pihak suatu upaya sinergi menuju kesempurnaan. Bahkan dalam tataran tertentu, berlandaskan niat baik, saya percaya dengan upaya sinergi tersebut segala hal yang kelihatannya bertolakbelakang dapat di-manage untuk saling dukung dan saling topang.

Museum: Sinergi Seni Membangun Bangsa

Sebagaimana sekilas diulas di atas, peran museum, terlebih di era kompetisi global seperti sekarang ini, sungguh sangat strategis. Tidak seperti yang selama ini dibayangkan oleh sebagian masyarakat awam, museum terbukti dapat difungsikan sebagai laboratorium kebudayaan, di mana para ahli, pakar aneka bidang dan juga generasi muda dapat mengembangkan ide-ide kreatif dan gagasan-gagasan cerdasnya berdasarkan suatu telaah yang lebih mendalam terhadap apa yang telah dicapai para leluhur melalui karya-karya berupa apapun yang tersimpan di dalam museum. Saya kira adalah suatu yang tidak berlebihan bila dalam Diskusi dan Komunikasi Museum Indonesia serta Musyawarah Asosiasi Museum Indonesia di Jambi belum lama ini, mengemuka suatu dialog tentang layaknya menjadikan museum beserta organisasi pengelolanya menjadi semacam center of excellent. Yakni, semacam laboratorium yang memungkinkan para ahli untuk melakukan suatu kajian dan program akademis secara tepat guna dan tepat makna, guna mengembangkan pemikiran atau menghasilkan kreasi-kreasi inovatif yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa, baik itu tataran filosofis maupun tataran praksis.

Mencermati hal tersebut, sebagaimana juga apresiasi masyarakat dan pemerintah di mancanegara terhadap keberadaan museum, seyogyanya kita melakukan upaya-upaya terpadu dan terkoordinasi untuk mendorong peningkatan profesionalisme di kalangan pekerja dan pengelola lembaga ini. Belajar dari luar, terlihat benar bahwa tumbuhnya apresiasi dan penghargaan publik selalu sejalan dengan capain pihak museum untuk meningkatkan pengelolaan dan fasilitasnya serta penyempurnaan koleksinya dengan dukungan segala data berikut fakta-fakta sejarah yang teruji. Tentu saja, Asosiasi Museum Indonesia (AMI) beserta anggotanya, dalam hal ini HIMUSBA Bali, perlu menyamakan visi, misi serta persepsi, dalam menyongsong Tahun Kunjungan Museum 2010. Masing-masing selayaknya terpanggil untuk mengadakan pembenahan menyeluruh serta pencanangan program yang saling sinergi seraya menyadari bahwa museum juga merupakan salah satu sarana pembangunan karakter dan pekerti bangsa (nation and character building).

Boleh dikata, jauh sebelum pemerintah mencanangkan Tahun Kunjungan Museum 2010, Museum Rudana telah berulang mengadakan event-event seni budaya yang menegaskan bahwa museum dapat pula menjadi wadah aktivitas yang turut menggelorakan upaya-upaya pencapaian seni yang bersemangat kekinian tanpa hafrus tercerabut dari akar kultur warisan para leluhur. Bahkan lebih jauh dari itu, saya juga menggagas diadakannya suatu lomba esai, ditujukan untuk generasi muda, bertopik “Harapan Masyarakat Terhadap Pemimpin Masa Depan Indonesia”. Di luar dugaan, lomba ini disambut antusias oleh generasi muda, diikuti oleh lebih kurang dari 1.000 peserta, mewakili anak-anak muda pelajar serta mahasiswa serta umum lainnya yang mencoba berpikir cerdas dan kritis tentang bagaimana dan akan kemana nasib negara ini kelak di kemudian hari. Kegiatan tersebut juga dilanjutkan dengan acara malam apresiasi seni yang diadakan tiga malam berturut-turut, menyajikan aneka kreatifitas; dari teater, dramatisasi dan pembacaan puisi, musik serta film pendek kreasi anak muda. Hal mana itu menunjukkan bahwa melalui museum dapat diperjuangkan suatu sinergi seni untuk membangun bangsa.

Secara lebih fokus dan khusus, dengan menimbang bahwa museum bisa menjadi center of excellent serta laboratorium kebudayaan seperti disinggung di awal tulisan ini, sinergi seni tersebut patut diketengahkan dalam wujud program-program nyata yang lebih terarah dan berkelanjutan guna mendorong upaya-upaya pembentukan karakter dan watak bangsa. Sebab hanya negara yang telah menemukan jati dirinya serta kuasa mengukuhkan nation and character building-nya, berpeluang untuk unggul dalam persaingan global. Dengan demikian, sudah tidak pada tempatnya lagi di era demokratis ini untuk melakukan dikotomi antara berbagai kepentingan dan idealisme atas nama apapun. Bahkan dalam titik kesadaran tertentu, saya dengan sungguh-sungguh mencoba mewujudkan apa yang menjadi keyakinan hidup yakni the art of business in the business of art (seni berbisnis dalam bisnis seni), serta the art of excellent, atau seni kesempurnaan, di mana kita tidak puas hanya sekadar menjadi mediocre (setengah-setengah saja).

Melalui museum, beserta koleksi adiluhungnya, kita dapat mempelajari keagungan masa silam seraya menggagas kemungkinan masa depan tanpa lalai atau abai pada upaya menyikapi dan memaknai kekinian secara lebih kreatif. Saya yakin, melalui Tahun Kunjungan Museum 2010, secara pasti akhirnya Indonesiaakan menjadi the heart of Asia and heart of the world.

Selamat berjuang dan selamat bersinergi!

*) Penulis adalah salah satu Ketua Asosiasi Museum Indonesia (AMI)
Tulisan ini telah dimuat di Majalah Musea edisi 2009

Putu Supadma Rudana : Nonverbal ke Masa Depan

Di usia 34 tahun, Putu Supadma Rudana sudah berinteraksi dengan seniman – seniman sekaliber master, juga dengan Presiden R.I. Jalan apa yang telah ia lewati untuk berada di titiknya sekarang ini?

Jalan Raya Ubud, Sabtu pagi, matahari cerah menembus daun-daun di pepohonan lebat, musik tradisional Bali merayap di sepanjang jalan, mengikuti orang-orang berpakaian adat putih dan gadis-gadis berkebaya, kendaraan di seisi jalanan terhenti, mengalah pada upacara adat pagi. Galeri-galeri kecil bersisian mengapit jalan, mereka berjejalan dengan aneka lukisan yang meramaikan Ubud. Inilah kawasan seniman, lukisan-lukisan begitu meresap sampai ke tepi-tepi jalan.

Tak jauh dari kemacetan, bergeser ke arah selatan, di tepian hamparan sawah hijau, suasana sangat berbeda, di sini (kawasan Peliatan) ketenangan seperti menyapu alam. Di dalam keheningan, pergesekan angin dan daun kelapa bisa jelas terdengar. Tiupan angin bisa turun ke bawah ke anak-anak tangga menuju pintu masuk sebuah bangunan besar yang menyimpan lukisan-lukisan agung karya pelukis handal Indonesia. Gedung ini berwarna abu-abu batu dan aksen warna tanah oranye yang khas Bali, inilah Museum Rudana yang sohor, museum yang menyimpan karya-karya kelas master.

Sebelum masuk seorang anak muda telah menunggu ramah, namanya Putu Supadma Rudana (34), orangnya sangat sederhana, tinggi dan ramping, berkulit gelap, murah tersenyum, bahasa tubuhnya santai dan pandangan mata yang damai. Semua yang ada dalam dirinya ini tergolong biasa saja, tapi ternyata elemen ‘biasa saja’ inilah yang membuatnya jadi powerful. Ia mampu menyandingkan karya delapan orang pelukis kaliber master di Indonesia dalam satu ruangan, siapa yang pernah melakukan? Belum ada. Semua seniman punya ego dan sensitivitas tinggi. Siapa yang sanggup menggandeng Srihadi Soedarsono, Made Budhiana dan Nyoman Erawan di satu dinding? Siapa yang kuat mempertemukan Made Wianta, Sunaryo dan Nyoman Gunarsa, untuk saling bersisian? Dan Putu sudah melakukannya. Bagaimana?

Dalam seni kelas unggul, tentu uang bukan alat untuk memersatukan segalanya. Karena kalau iya, tentu persandingan delapan pelukis master sudah lama ada. Berarti ada hal lain yang diperlukan. Coba lihat apa yang telah dilakukan Putu, ia menggunakan unsur yang paling dasar, kerendahan hati serta impian yang tinggi. Menurut Putu, berbicara dengan seniman itu tidak bisa mengandalkan bahasa verbal, kita harus menggunakan hati, cermat membaca sinyal-sinyal nonverbal, dan ini memerlukan kerendahan hati yang sabar.

Impian yang setinggi langit juga diperlukan, para seniman adalah para pemimpi, dan Putu mengimbangi mereka dengan impian pribadinya, ia percaya bahwa seni adalah aset besar untuk kemajuan Indonesia. Formula inilah yang ia pakai untuk mempertemukan para pelukis senior. Dalam prosesnya tentu ini disokong pula dengan kepandaian Putu dalam melobi dan bernegosiasi. Putu memiliki titel Bachelor of Science dari Maryville University, St. Louis, Amerika (1996). Juga titel Master of Business Administration dari Webster University of St. Louis, Amerika (1998).

Lalu bagaimana Putu tidak membabi buta untuk memasukkan setiap seniman dalam kelas master?

“Saya senang menilai karya seni, saya diberikan hal yang luar biasa, di samping mata saya dikaruniai hati dan jiwa, saya percaya bisa melihat karya seni mana yang bagus dan berpotensi. Mungkin karena saya dilahirkan dalam lingkungan seni, dari kecil sering bertemu dengan banyak seniman, Affandi sudah seperti kakek sendiri, dengan Nyoman Gunarsa ketika saya kecil, saya ikut-ikutan melukis di sampingnya. Pelukis-pelukis muda seperti Erawan dan Budhiana sudah seperti kakak sendiri, jadi dari awal secara alamiah memahami cara pikir dan pergaulan seniman. Saya kira saya punya indera keenam”.

Putu anak pertama dari empat bersaudara, ayahnya, Nyoman Rudana (tokoh yang sangat dekat dengan seniman) adalah pendiri Museum Rudana. Pergaulan Nyoman Rudana dengan seniman-seniman tentu mewarnai pertumbuhan Putu, termasuk kelihaiannya beredar di kalangan seniman seperti saat ini. Tidak hanya bergaul, Putu juga ikut berperan. Kini ia menjadi Ketua III Himpunan Museum Bali, dengan gebrakan nyata yang telah ia capai berupa penerbitan buku hardcover mewah berjudul Treasures of Bali, sebuah buku panduan tentang museum penting di Bali, dan telah didistribusikan secara internasional. Program bukunya ini tidak lenyap ditelan angin, ia memeroleh sambutan hangat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden menorehkan predikat Excellent kepada Putu, lewat tulis tangan langsung di atas cover buku yang diluncurkan. Tentu presiden tidak sembarang mengeluarkan statement, pasti telah ada perhitungan agar siapa saja bisa mencontoh apa yang telah dilakukan Putu.

Apa untungnya bergaul dengan seniman master ?

“Luar biasa. Yang saya dapatkan …, walau mereka diam dalam melukis dan berkarya, mereka sebenarnya berbahasa nonverbal, mereka berfilosofi. Kita kadang-kadang selalu berusaha mengucapkan sesuatu untuk menjelaskan banyak masalah, sementara seniman hanya menggores di kanvas, dan dengan kekuatan batin, mereka bisa menunjukan segalanya. Mereka jarang berkata tidak, tapi kita harus pandai memahami kapan mereka tidak setuju. Dalam hal ini saya belajar dari Bapak Joop Ave, dia guru saya untuk komunikasi, dia menekankan bahwa bahasa nonverbal ini harus dikuasai”.

Putu melangkah naik ke Museum Rudana, interior luas bersegi empat membuat semua lukisan yang tergantung bisa dilihat dari arah mana saja. Putu melangkah pelan menjelaskan satu per satu setiap lukisan yang dilewati di luar kepala. Tidak seperti museum atau galeri lain yang berpameran lalu selesai acara semua lukisan dikembalikan ke pelukisnya, Museum Rudana dan Rudana Fine Art Gallery yang dipimpin Putu melakukan sistem yang berbeda.

“Di sini kami investasikan dana untuk mengoleksi semua karya. Kami beli dulu semuanya, barulah berpameran. Setelah itu kami promosikan habis-habisan, ini memang tidak mudah, terutama untuk seniman-seniman kelas master, mereka akan menilai dulu tempat kelayakan karya mereka dipamerkan”.

Di awal kiprahnya di ladang seni ini, Putu kerap dihujani berbagai kritikan, menurutnya pujian malah jarang ada. “… tapi saya terus berbuat, tak mundur hanya karena kritikan, tujuan saya baik dan positif, saya ingin menunjukan bahwa Indonesia memiliki seniman-seniman terbaik yang luar biasa. Apa yang saya lakukan ini lengkap dengan konsekuensinya. Saya berbuat komplit dengan resikonya, tapi kalau kita sudah kenal tujuan kita, tentu kita bisa meminimalkan resikonya. Saya yakin, di masa depan nanti benefit yang timbul akan luar biasa berguna untuk bangsa Indonesia”, ujar Putu.

Kesibukan Putu bukan melulu di ladang seni, saat ini ia pun sibuk di ladang minyak dan gas bumi, ia menjabat Wakil Ketua Himpunan Pengusaha Minyak dan Gas Bumi Bali. Ia juga sibuk di ladang golf, Putu adalah Ketua III Persatuan Golf Indonesia Pengurus Daerah Bali. Dalam deretan kesibukan ini, Putu masih bekerja keras untuk persiapan membawa keliling dunia karya delapan seniman yang sudah ia tetapkan sebagai Modern Indonesian Masters. Putu Supadma Rudana tengah mempersiapkan World Tour untuk Srihadi Soedarsono, Nyoman Gunarsa, Nyoman Erawan, Made Budhiana, Sunaryo Sutono, Made Wianta, Made Djirna dan Wayan Darmika. Ia masih muda, tentu masih punya waktu untuk mengejar cita-cita mulia.

Soap Magazine
Edisi 03 Maret 2008
Teks : Syahmedi Dean, Foto : Yano Sumampow

Putu Supadma Rudana: Synergy to Perfection

Putu Supadma Rudana: SYNERGY TO PERFECTION

He is not a common Balinese. For those who consider art piece as part of their soul and not as representation of their lifestyle must know who this sporty young golfer really is. Just take an opportunity to nudge him discussing about the synergy of art and common aspects, then your perspective will open and get amazed by the value of art and piece that you owned.

 As a generation who grew up at the time Indonesia was experiencing tumble and jumble in political and economical condition, Putu Rudana seemed occupied an envisage through art to regain the glory of Indonesia. For him art is not only a medium to win balance in life, but also becoming part of life it self.

“There are two important points in art; invaluable inner satisfaction and from material point of view, the fact that art pieces are always sought after because of its increasing value. So, if you are an art collector, you have to understand the soul of what you collect, because if you do, then you will be able to value your collection. The result is, you will win the synergy that bring great impact to your life,” said the 3rd Chairman of the Association of Balinese Museums.

There is another reason why Putu Rudana found art as his personal passion. In his opinion each art pieces contained the element of love that consisted taste and its own vibrant. Art makes its admirer not to see everything solely on its surface but taking them directly to its core, which is its soul, its inner beauty. His commitment to art expressed by this luxurious automotives lover by managing several art galleries on Bali Island. Among other is Museum Rudana. Under his management, Museum Rudana bears the name as South East Asia’s Louvre. Its countless collection came from painters that attracted by the beauty of Indonesia from each art period; from Affandi to Made Wianta, from Walter Spies to Antonio Blanco. In fact the Museum itself may compare as giant vault of creation of Indonesian masters.

The invaluable collections that owned by Museum Rudana are intrinsically a historically inheritance, which becomes a source of information and educational media. These are all most important for the development and transformation of culture and civilization from one generation to the next. This museum is also intended for artists and people of interest in this area to gather. Here they can exchange experiences and ideas on their respective fields of interest.

His communication ability put him on the gate of wider opportunities that may not experienced by his fellow countrymen. He was able to be in touch with The Indonesian President, Susilo Bambang Yudhoyono, and presented him his idea through a book which titled “Treasures of Bali.” This seized Mr. President’s attention and honored him not only a famous nickname Mr. Excellence, but the President himself takes a great concern by involving in the second edition of the book by putting his words as introduction. In the real life, The President is not only Putu Rudana’s closest clique, the Tourism Minister Jero Wacik and his predecessor, Joop Ave, are whom Mr. Rudana absorbed their experiences and valuable inputs regarding on how to manage the potentials that Bali owned—but not known worldwide—that is art. From both of these prominent figures in Indonesia’s tourism, Putu Rudana has been granted sobriquet Mr. Synergy (from Mr. Joop Ave) and Mr Brilliant (from Mr Jero Wacik) as Putu Rudana successfully organized Joged art activity that synergized painting, dance, and exhibition to put Bali culture on the front line of Indonesia Government’s promotion Visit Indonesia 2008. However, as we try to confirm whether these great personages are his role model, he was suddenly silent and said, “Srihadi Soedarsono.” Solemnly and with a certain dramatic tone.

Srihadi Soedarsono is one of globally acknowledge maestros. Most of his strokes articulated deep magical figures of Borobudur, which represented only in two noir colors. Specially made for Putu Rudana, Srihadi Sudarsono created an astonishing landscape of Borobudur, daringly broke his own signature by stoking colorful image of Borobudur in full interpretation between dawn and dusk. This is the first painting that astonished Putu Rudana, not only based on its magical nuance, but also philosophical value inside it.

“Srihadi Soedarsono himself told me that he creates his masterpiece especially for me because this painting reflected my soul,” expressed the CEO of Grup Rudana and Putra Company. The soul that distinguishes Putu Rudana from other art investor.

Focusing on his business activities, Putu Rudana in his young age of 34 years old is able to control fives other crucial positions. The MBA granted of Webster University of St. Louis USA implemented his sense on art to each of his business network. His focus in the art business gives him greater challenges and more satisfaction. Fine art for him (especially in the form of painting) is extremely powerful.

“You can feel the soul of art created by the maestros. Such as the exhibition that I just have conceived, promoted and organized, Modern Indonesian Masters, with works from eigth artists—Srihadi Soedarsono, Sunaryo, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Nyoman Erawan, Made Djirna, Made Budhiana and Wayan Darmika. In art as in business you have to be able to understand and forecast the future. That’s art investment. I believe Indonesia has a great culture that I can promote,” said the CEO and Director of Finance of GRP Corporation.

“Because I love Bali, I cannot sacrifice one element of Tri Hita Karana, the synergy between human, nature, and the creator of nature. I valued the synergy on every life’s aspects, therefore I will work on my best to meet each of it, including in business, so that business will not only be environtmentally friendly but also financially benefitable,” said the husband of Putu Diah Chandra Dewi, SH. MKn.

This reflected his vision on Bali. He is aware that Bali owned countless potential, based on that he launched a tagline for Bali and Indonesia which is: “Bali the heart of Indonesia, Bali the heart of Asia, Bali the heart of the world.” The political label considered not as common for Putu Rudana, he put it in first priority as his reflection to built Bali and Indonesia to be considered again internationally.

“My father is a Senator. I am proud to be his son because I can see the contribution he makes on behalf of the Baliness people in helping to fulfill their aspirations. For a long time, I have dreamt that Indonesian leaders will grow to have a love and understanding of art and culture, because I believe this is where the strength of Indonesia truly lives. I also believe that bringing an appreciation of art into politics will make us more peaceful and responsive to the needs of the community,” quoted him.

For Registry Indonesia, Putu Rudana has transformed to a complex individual that is not only multi talented but also occupy positive esteem that is not easily founded in the core all business man’s, politician’s or artist’s soul.

“I am just a visionary art investor, art collector and art lover,” said Putu Rudana answering our last question regarding who Putu Rudana according to Putu Rudana himself.

Sumber : Registry, Volume 2 Number 3, May 2008

Sinergi Menuju Kesempurnaan Wawancara Seni dengan Putu Supadma Rudana

Sinergi Menuju Kesempurnaan Wawancara Seni dengan Putu Supadma Rudana

MUSEA mengirim pewartanya untuk mewawancarai Putu Supadma Rudana-project coordinator MUSEA. Dinding dipenuhi dengan foto bersama para dignitaries-mulai dari presiden RI, beberapa Menteri dan petinggi dari dalam negeri maupun luar negeri. Lukisan apik dekoratif membuat ruangan ber-AC ini nyaman untuk melakukan wawancara dengan Managing Director Museum Rudana, Putu Supadma Rudana yang, berkat promosi seni yang atraktif, kreatif dan segar, beberapa saat lalu menerima sebutan Mr. Excellent dari Presiden RI, SBY. Interview ini membahas beberapa visi, pemikiran seputar kesenian di Bali, Indonesia.

Selamat atas julukan Excellent dari SBY kepada Anda. Bagaimana perasaan Anda dan bagaimana Anda mendapatkan anugerah ini?

Beberapa saat saya merasa gembira. Saya tidak mengira akan mendapatkan anugerah ini. Namun demikian, setelah saya merenungkannya dalam-dalam, anugerah ini bahkan menjadi cambuk bagi saya untuk lebih bergiat dalam dunia permuseuman serta pengembangan kesenian di Bali. Saya pikir ini juga merupakan tanggung jawab besar. Lebih lanjut, saya juga merasakan bahwa julukan ini bukan hanya mencerminkan keberhasilan saya, namun ini juga keberhasilan Bali dalam tataran dunia permuseuman, khususnya dari dunia seni budaya pada umumnya. Saya ingin melihat ada orang-orang lain, terutama yang muda-muda yang mendapat anugerah-anugerah serupa dari pemerintah atau dari presiden langsung. Saya memimpikan Bali dipenuhi dengan para pemuda yang berpotensi memimpin lewat segala aktivitasnya.

Apakah Anda pernah mendapatkan penghargaan serupa di tingkat lokal, misalnya dari Dewan Kesenian Bali, Gubernur atau dari Stake Holder lainnya?

Belum pernah. Saya langsung mendapatkan anugerah ini dari pak SBY. Saya harap ke depan kita bisa melihat para pemegang kepentingan di Bali bisa mengapresiasi kerja keras serta potensi-potensi yang berada di Bali. lnilah masalahnya. Pak SBY saya pikir tidak gegabah dalam memberikan sebutan seperti ini pasti ada pertimbangan-pertimbangan yang diambil. Sekali lagi, semoga anugerah yang diberikan kepada saya ini bisa menjadi pendorong bagi pegiat seni dan permuseuman untuk semakin berkiprah dan terjun langsung dalam pengembangan seni Bali dan Indonesia.

Bisa ceritakan mengapa Anda mendapatkan anugerah ini?

Semua ini diawali dengan upaya penulisan, pengumpulan informasi, wawancara dengan berbagai pihak yang kami tuangkan dalam buku Treasure of Bali. Pengkoordinasian penciptaan buku ini memang makan banyak waktu dan tenaga, karena kita harus mensinergikan berbagai museum yang memiliki koleksi beragam dan afiliasinya pun bermacam-macam. Di samping itu, kami juga harus mampu mensinkronkan banyak ikon dan tokoh kesenian Bali yang mungkin juga memiliki karakter personal yang berbeda-beda pula. Kami haturkan buku ini kepada Pak SBY. Dan beliau sangat impressed (terkesan sekali) dengan keprofesionalan penulisan, tata letak dan tata artsistik dsb, yang membuat buku ini sempurna.

Apa yang mendorong Anda untuk melakukan upaya yang tidak gampang ini?

Kecintaan pada Bali dan tentunya Indonesia. Pada hakekatnya, saya jarang mempedulikan nilai untung akhir atau nominal dari kegiatan sosial seperti ini Saya berpartisipasi dan berkiprah melakukan pengembangan permuseuman dan seni udaya Bali lebih dari sekedar untuk pencapaian finansial, karena pada hakekatnya, dalam opini saya, kita bersentuhan dengan dunia jiwa, dunia cita, atau katakanlah dunia seni itu adalah dunia yang profan.

Dengan keberhasilannya dalam menghantarkan perhelatan Modern Indonesian Masters, Putu Rudana telah membuktikan keberhasilannya dalam mengkoordinasikan dan mengimplementasikan tugas berat untuk mengarahkan perhatian dunia ke seniman-seniman maestro Indonesia yang, dengan curahan kreatifitasnya, menciptakan karya-karya yang turut memperindah dunia.

Pada usia yang masih muda ini (33 tahun-Red). Anda mampu memimpin beberapa kegiatan, bukan hanya kesenian, namun juga olahraga, yaitu golf, serta bisnis perminyakan. Apakah hal ini tidak bertolak belakang dengan visi Anda untuk mengembangkan seni dan budaya Bali?

Saya melihatnya ketiga-tiganya dalam konteks yang lebih luas. Saya percaya dengan sinergi yang sebetulnya bisa saling menopang segala kegiatan yang kelihatannya saling bertolak belakang. Lewat bisnis BBM, sebagai salah satu menjadi energi dari usaha pengembangan seni dan budaya. Aktivitas pengembangan seni, sebagaimana aktivitas lain, memerlukan bahan sumber-sumber lain bahan bakar, energi untuk membantu langkah maju. ini adalah bagian dari sumber untuk mengakselerasi dunia seni. Di bidang olahraga, saat ini saya menjadi ketua III Pengurus Daerah PGI (Persatuan Golf Indonesia Bali). Saya tidak henti-hentinya mendorong para atlit muda, misalnya mereka yang akan berpartisipasi di PON atau yang akan bertanding ke luar negeri, untuk mengenal Bali-Indonesia, untuk mencintai seni dan budaya Bali-Indonesia, karena saya percaya bahwa para atlet tersebut adalah wakil muhibah Bali bahkan Indonesia untuk berkiprah di perhelatan internasional. Bisa Anda bayangkan kalau para atlet kita mampu menjadi agent of promotion bagi Indonesia dengan pengetahuan seni dan budayanya.

Anda tidak khawatir dengan pembangunan lapangan golf yang rakus dengan lahan? Bukankah ini bisa menjadi counter productive terhadap apa yang kita cita-citakan bagi Bali, yakni konsep Tri Hita Karana keselarasan antara manusia, alam dan sang maha pencipta?

Karena didasari rasa cinta Bali, kita tidak mungkin mengorbankan salah satu pilar Tri Hita Karana tersebut yang dalam hal ini merujuk pada keselarasan dengan alam. Dalam pengurusan PGI tentunya kita punya niat yang luhur. Kita akan memantau, dalam koridor kewenangan kita, bahwa segala pembangunan lapangan golf tidak boleh menelan lahan produktif. Bahkan sebaliknya, lahan tidak produktif bisa diupayakan menjadi lahan hijau yang bisa menarik devisa penduduk di sekitarnya dengan menyediakan lapangan pekerjaan. Bukankah dengan demikian olahraga ini menjadi environmentally friendly danfinancially benefitable bagi semua? Pada intinya, saya masih menopangkan segala kegiatan ini untuk kegunaan manusia dan lingkungannya
Anda tentunya sangat sibuk dengan segala kegiatan Anda, baik di core business Anda sebagai CEO dan Direktur Finansial di GRP (Group Rudana Putra), menjadi pelaksana kemudian kegiatan lain sebagai Ketua III PGI, dan sebagai ketua III dari organisasi Hiswana Migas, serta jabatan-jabatan lainnya. Bagaimana Anda melakukan ini semua?
Pada esensinya semuanya terletak pada the art of managing resources. Sedangkan sumber daya merujuk bukan hanya finansial atau manusia saja. Lebih kompleks dari itu semua. Namun kalau kita bisa mensinerjikan sumber daya tersebut untuk memberikan mutu terbaik pada klien kita, niscaya customer kita akan terpuaskan. Dengan mengadopsi moto yang saya yakini penting dalam hidup, yakni the art of business in the business of art (seni bisnis dalam bisnis seni), the art of excellence, seni kesempurnaan, di mana kita tidak akan puas dengan sesuatu yang mediocre (setengah-setengah saja). Klien kita, baik yang internal maupun external mengharapkan sesuatu yang sempurna, tentunya kita harus menjumput bola itu. Kita menyajikan yang par excellent juga. Tentunya, bagi saya ini bukan hanya sebagai jargon atau istilah linguistik yang maknanya kosong. Ini adalah sebuah guiding principle (prinsip pemandu) yang saya anut dan saya terapkan dalam kiprah hidup saya.

Bagaimana Anda mensikapi keterpurukan dunia bisnis seni yang pada perempat dasawarsa belakangan ini dan apa kiat-kiat yang Anda terapkan sehingga Museum, Rudana, kemudian Rudana Fine Art Gallery, maupun core business Anda lainnya tetap eksis?

Memang dalam siklus fluktuasi ekonomi sebuah bisnis tentu ada naik turunnya. Namun demikian, dengan menerapkan pendekatan kreatif -thinking outside the box-atau berpikir secara lateral, dengan lain kata kita mengantisipasi hal-hal tak terduga yang akan terjadi dengan creative future problem solutions kita bisa mengurai simpul-simpul yang biasanya membelenggu kelajuan bisnis. Saya percaya Yang Maha Kuasa memberikan kita limpahan rezeki dan salah satu limpahan tak ternilainya adalah kemauan kita untuk melakukan pemikiran dan upaya-upaya kreatif. Dengan demikian kita tidak akan berbangga dengan limpahan rezeki yang pada akhirnya bisa menjerumuskan kita pada keserakahan yang bisa membuahkan kutukan. Nah, salah satu dari upaya untuk mencapai the art of excellence tadi adalah kita harus berani berusaha, berjuang dan berkorban. Bagaimana kita bisa memberikan yang terbaik. Dengan demikian sering kali kita kemudian secara tidak sadar telah ‘memberikan lebih dari yang atau exceeding people’s expectation.

Waktu berlalu dengan cepat sekali. Tak terasa wawancara ini telah berlangsung hampir separuh hari. Diselingi dengan beberapa kopi, wawancara berlangsung dengan hangat.

Pertanyaan terakhir sebelum kita akhiri wawancara ini. Dengan seni budayanya, bagaimana Anda melihat Bali ke depan?

Saya melihat Bali dengan impian. Saya memimpikan Bali sebagai the Heart of Indonesia, the Heart of Asia and the Heart of the World. Namun perlu saya tandaskan di sini bahwa bukan semata-mata keindahan fisiknya dengan faktor-faktor budaya yang kasap mata. Lebih dari itu, budaya ini bagaikan sebuah gunung es. Apa yang tampak mata merupakan puncak, sedangkan kandungan-kandungan lainnya tersimpan di bawah laut. Limpahan kandungan budaya Bali masih banyak yang bisa diungkap oleh kita untuk dipaparkan ke dunia. Istilah heart tidak hanya merujuk pada jantung saja. Karena kita tidak hanya menjadi sebuah pusat kegiatan, namun lebih dari itu saya memimpikan Bali menjadi opsi yang damai dan lomba adi kuasa dengan keserakahan destruktif, dengan difinisi heart yang lainnya, yakni ‘hati’ atau ‘jiwa’ atau jantung merujuk pada cinta kita pada kehidupan yang penuh damai dengan sesama manusia, untuk alam dan kepada Tuhan Sang Pencipta. Saya impikan Bali, bukan hanya menjadi sesinggahan sementara untuk para pemimpin dunia bertemu, berembug dan menelorkan kebijakan-kebijakan dunia dalam konperensi-konperensinya. Namun lebih dari itu, Bali, dengan segala komponen masyarakat lintas etnis dan agamanya, sebagai pencerminan masyarakat majemuk Indonesia yang cinta damai yang ideal mampu mampu menawarkan konsep damainya. Ini memang sebuah impian, namun bukankah semua keberhasilan itu berawal dari sebuah mimpi yang kemudian menjelma menjadi visi, misi dan akhirnya menjadi kenyataan. Di sinilah letak rahasianya. Mungkin dengan the art of realising dreams, saya sudah mencapai beberapa mimpi personal, namun impian untuk kemaslahatan bersama sesama manusia, sebangsa harus menjadi mimpi kita semua. Dengan dan lewat Bali, kalau Tuhan mengizinkan, saya ingin memberikan kontribusi ke bangsa ini. Dengan apapun yang kita punyai kita mampu mencapai mimpi menjadi bagian kemanusian dunia yang beradab.

Museum Rudana presents “Modern Indonesia Masters”

Museum Rudana presents “Modern Indonesia Masters”

Celebrating its 12th anniversary, Museum Rudana in Ubud presents the works of four Indonesian maestros in an exhibition entitled ‘The World of Abstract’.

Rarely do four painting maestros appear at one group exhibition. But this month it is this rare art happening that takes place at the Museum Rudana in Ubud, where two of Bali’s foremost artists meet up with two of Java’s.
“It’s such a lot of work to make this happen. Therefore we’re proud to be able to stage this rare event, the first of its kind on the island, (and I am sure) in Indonesia”, said Putu Supadma Rudana, managing director of the Museum Rudana.

Bali’s maestros Nyoman Gunarsa and Made Wianta are showing off their ultimate creations together with Bandung-based master of color and horizon Srihadi Sudarsono and master of sculpture Sunaryo Sutono.

The four legends, arguably the country’s most sought after modern artists, will be accompanied by the island’s four rising stars, Made Djirna, Nyoman Erawan, Wayan Darmika and Made Budhiana.

The exhibition, entitled “The World of Abstract”, commences on August 16 and runs through October 1, featuring ten of the finest pieces from the collections of each painter. “There will be 80 abstract works. Even Mr. Srihadi Sudarsono, who is not known as a master of abstract, will present his own figurative works including the famous Borobudur in Horizon to represent the theme,” Supadma said.

Here is a brief background on the four legends.
Nyoman Gunarsa was born to a rice farmer’s family in Banda, Takmung in Klungkung, the same village where he established his own Museum of Classical and Contemporary Balinese Paintings. Uniquely, long before he grew his passion and reputation for classical paintings in the 1980s, especially of Balinese daily life, Gunarsa was much more interested in abstract paintings earlier in his career.

The upcoming exhibition at Rudana is therefore to show off his earlier bursting passion for the abstract world. The abstract ingrained from his surrounding environment includes village life, rice fields, gamelan music, shadow puppets, his father’s dance mastery, and the world beyond, including his vision of the West as he was once fascinated, as young boy, with Western artists and their world.

Made Wianta, by any measure, is Bali’s most successful artist of multiple talents and endless energy. He constantly moves from one art form to another, each with great energy and concentration. The result is that there are close to 15,000 works of arts of various forms ranging from paintings, dance and music performances, poetry, installations, happening arts and more.

Wianta’s mastery of color is yet matched by his mastery of words in poetry and body movements. He has earned his reputation as the island’s most progressive painter, with all the bravery to move from one style to another.
Born in Apuan, a village nestled in the rice paddy fields north of Tabanan, the painter’s strong sense of environmental awareness and social responsibility has brought him into various happening art in response to forest fires and illegal logging, the October 12 blast, poverty eradication, and the AIDS campaign. Last year, as among his special achievements, he was chosen as the only painter to represent Indonesia in presenting their works at the special exhibition marking the Italian sport carmaker Scuderia Ferrari 60th anniversary celebration.

Srihadi Sudarsono, the master of color and horizons, is what this Javanese painter is famous for. He grew up in an aristocrat family deeply ingrained in the philosophical concept of the complex Javanese system of life, synthesizing Hinduism, Buddhism, and Islam as well as mysticism. Thus, each of his paintings conveys a deep reflection of this philosophical value.

The master, whose favorite objects are landscapes, beaches, monuments, and human beings, has sold a painting worth US$ 150,000 at an auction, a landmark not many of his countrymen have ever reached. Uniquely, Srihadi has never been known as an abstract junkie (he would rather call his abstract painting more like figurative, or as some say, symbolic). Therefore his presence at this exhibition is highly anticipated.

Last but not least, Sunaryo is another Javanese golden boy his country should be proud of. Although he grew up as a sculpturer (he had been appointed a lecturer of fine arts and design and head of the Department of the Fine Arts and Sculpture Studio at Bandung Institute of Technology) Sunaryo has won various art awards including painting competitions entitled “the Phillip Morris Group of Companies Asean Art Awards” for the two consecutive years of 1995 and 1996, and received an honorable mention from the Indonesian Minister of Culture and Tourism for enhancing the country’s painting creativity.

Sunaryo’s achievement in his own world of sculpture has earned him dozens of prize awards from various establishments, ranging from universities, city councils, five star hotels, and the country’s telecommunication company. He once also won first place at an international creative textile competition. In 1998 he established a studio currently known as Selasar Sunaryo, a private museum and art space.

Photographic Exhibition
The four flair is accompanied by a two-week photo exhibition featuring the works of three photographers from three countries from August 16 – 31. They are Bundhowi of Indonesia, Anna Heggie of Australia and Sandra Phillips of Canada. The three artists feature works dedicated to world peace.

The Art of “Mr. Excellent”

The Art of “Mr. Excellent”

Di Bali, namanya lebih identik dengan bisnis resort eksotik khas Bali. Dia juga bermain dalam wilayah art lewat museum dan gallery. Tumbuh sebagai seorang putra yang menjalankan bisnis keluarga, kini ia sedang memasuki bisnis minyak. Bagaimana pandangannya soal filosofi dan kesenian?

Putu Supadma Rudana bukanlah orang Bali pada umumnya. Pria kelahiran Denpasar 23 April 1974 ini dikenal sebagai kolektor seni lukis dan pemilik museum, gallery lukisan, juga resort di daerah Ubud, Bali. Penampilannya yang bersahaja justru membuat dia lebih nampak seperti seniman muda ketimbang pengusaha muda.

Meski marak sebagai seorang pengusaha muda yang dekat dengan dunia kesenian, latar akademik Rudana cukup kuat. Ia adalah penyandang gelar Bachelor in Business Administration pada major Business Management & Information System di Maryville University, dan seorang penyandang gelar MBA.

Putu mengawali langkah dengan melakukan pembenahan manajemen museum dan gallery. Dari sana, Putu melakukan teroboson-terobosan bisnis dengan membidik peluang baru. Bidang usaha yang ia bangun diantaranya bermitra dengan Pertamina dan membangun sejumlah SPBU, hotel, dan investasi

Dalam kurun tujuh tahun, di usianya yang tergolong muda, sejumlah jabatan dan tanggung-jawab sudah dipegangnya. Dua tahun ini, nama Putu Rudana semakin diperhitungkan karena kepeduliannya pada pariwisata dan seni budaya Bali. Sejak empat tahun, lalu ia menggagas pemberian Satya Award, sebuah penghargaan seni tertinggi kepada mereka yang betul-betul mendedikasikan hidupnya di bidang seni.

Paling mutakhir, di penghujung 2007, ia berhasil mewujudkan gagasaan mengumpulkan 8 maestro seni Indonesia: Srihadi Soedarsono, Sunaryo, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Nyoman Erawan, Made Djirna, Made Budhiana, Wayan Dharmika, untuk berpameran dengan tajuk Modern Indonesia Masters di Museum & Gallery Art Rudana, Ubud, Bali, Indonesia.

Karena gagasan dan visinya yang memberi harapan baru bagi dunia pariwisata, seni dan budaya untuk pulau Bali itu juga, Putu membuat buku panduan tentang museum di Bali bertajuk “Treasure of Bali”. Buku ini memuat tanggapan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dengan memberi predikat “Mr. Excellent”untuk Putu. Berikut petikan wawancaranya dengan ME di Bali beberapa waktu lalu:
Tidak semua orang Bali punya sense of art yang kuat. Apa yang membuat Anda begitu mencintai dunia seni dan budaya?
Kalau saya tidak berlebihan, sejak saya masih dalam kandungan ibu, saya sudah merasakan adanya aroma seni. Di masa kecil, saya seringkali diajak orangtua ke tempat pelukis Affandi, Basuki Abdullah, Dullah, dan beberapa lainnya. Ketika itu saya tidak hanya melihat, tapi juga mendengar orang bicara tentang seni lukis, dan seni lainnya. Memasuki usia dewasa, saya mendapat ilmu tentang bagaimana mengelola seni.

Anda mencintai kesenian, tapi kenapa tidak lantas menjadi seniman saja? Apakah menurut menjadi seniman itu belum bisa dijadikan sandaran hidup?

Orangtua kami melihat talenta anak-anaknya, lalu memberi kebebasan, tapi diberi pula deadline. Saya dinilai memiliki cita rasa berkesenian, tetapi lebih cenderung pada pengelolaannya. Saya memang lebih tertarik me-manage seni dan seniman itu sendiri. Menurut saya, kelemahan di Indonesia adalah manajemen seni. Karena itu sekembali saya dari Amerika di tahun 1998, saya melibatkan diri dalam manajemen seni. Saya pun melakukan banyak perubahan secara internal. Termasuk mempersiapkan manajemen-manajemen yang kuat.

Kabarnya, nilai karya yang terpajang di gallery Anda berkisar antara angka ratusan juta hingga milyaran rupiah?

Karya seni tidak bisa begitu saja dihubungkan dengan urusan materi. Tidak sedikit dari mereka yang berkarya hanya melulu pada mengejar uang. Tetapi bagaimana mereka dengan tulus ikhlas menciptakan karya-karya itu, dan bagaimana karya-karya itu dapat mengangkat harkat martabat bangsa. Karena makna inilah harga sebuah karya seni bisa bernilai sangat tinggi.

Bagaimana cara Anda menilai suatu karya seni?

Karya seni selain menjadi pemandangan yang indah juga mampu memberikan kebahagiaan batin. Dan saya percaya seni budaya itu tidak saja mampu memberikan kebahagiaan secara nyata, tetapi juga yang tidak nyata. Ini memang agak sulit untuk diurai dengan kata-kata karena karya seni memang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki kepekaan.

Kenapa Anda memulai semua ini dari Bali? Apakah hanya karena kebetulan Anda seorang putra Bali?

Bukan sebab itu saja. Tetapi yang lebih utama, saya sangat memahami seni budaya Bali. Tidak bisa dipungkiri, Bali merupakan kekuatan jual pariwisata negeri ini. Lain hal kalau mau mengambil kekayaan alam atau minyaknya, bisa dimulai dari tempat lain di tanah air selain Bali.

Lantas, apa yang diperlukan agar Indonesia diperhitungkan oleh dunia?

Seni budaya kita sudah luar biasa. Bali memiliki nilai jual yang begitu tinggi. Untuk itu yang diperlukan ke depan adalah figur yang mampu mengimplementasikan secara internasional. Berkaitan dengan itu saya pun mempunyai ide tagline untuk Bali – Indonesia, yang berbunyi, “Bali the heart of Indonesia, Bali the heart of Asia, Bali the heart of the World”.

Selain mengelola museum dan gallery, bidang usaha apa saja yang Anda jalani, dan bagaimana pengembangannya?

Setelah membenahi internal perusahaan dengan melakukan sejumlah restrukturisasi, mulai tahun 2000 kita membentuk bisnis-bisnis lain. Diantaranya di bidang jasa, investment, bermitra dengan Pertamina dengan membawahi pengembangan SPBU, dan juga menjadi konsultan untuk beberapa perusahaan.

Sebagai pengusaha, bagaimana Anda menyikapi persaingan bisnis?

Bersaing secara terbuka, bukan mengejar ini dan itu dengan cara membunuh yang lainnya. Dalam berbinis, kita tidak perlu menyakiti orang lain. Sikap ini penting untuk kita agar menjadi pebisnis yang beretika dan berkualitas.

Kalau boleh tahu, apa filosofi hidup Anda dan filosofi Anda dalam berbisnis?

Saya tidak membedakannya. Buat saya, filosofi hidup dan bisnis itu sama. Berbuat dan melakukan yang baik untuk memperoleh hasil yang lebih baik lagi dan bermanfaat bagi orang lain. Dari sana trust akan terbentuk. Dengan begitu, yang didapat adalah karma yang baik bagi kita.

Setelah sukses di bidang bisnis, apakah Anda tidak tertarik untuk berpolitik?

Kebetulan bapak Rudana, ayah saya, masuk ke DPD RI untuk mengabdi sebagai utusan daerah. Beliau tidak terlalu terlibat dalam kepentingan politis, golongan, ataupun partai. Saya juga tertarik dengan kata pengabdian. Dan kalau pengabdian saya kelak harus lewat berpolitik, yah mengapa tidak?

Apa arti jabatan bagi Anda?

Jangan sampai mengejar jabatan. Saya pikir, jabatan akan datang dengan sendirinya. Kalaupun saya merasa memiliki kemampuan, maka saya akan berupaya memegang suatu jabatan. Tapi jika tidak, maka saya akan bangga mengatakan bahwa saya belum mampu.

Mana yang Anda pilih: power atau money?

Uang, kekuatan, dan politik itu sangat penting. Asal saja kita mampu membawanya dengan hati nurani dan mampu me-manage-nya. Ketiganya digunakan untuk hal yang baik agar karmanya akan baik buat kita.

Siapa tokoh yang Anda kagumi, dan siapa orang yang menjadi inspirasi Anda?

Saya melihat bapak Soeharto adalah pahlawan yang luar biasa dan sangat saya hormati. Buat saya, pelajaran yang bisa ditarik dari sana adalah bagaimana kita menghargai orang tua kita dan orang yang lebih tua dari kita. Sedangkan tokoh idola yang saya hormati adalah seniman Srihadi, karena memiliki kepekaan jiwa. Dia figur yang sangat saya banggakan karena melalui karya seni dia bisa mengharumkan nama bangsa.

Bagaimana nasionalisme & idealisme seorang Putu?

Saya memang selalu ingin menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang betul-betul cinta damai, menghargai seni budaya dan mempunyai cita rasa seni-budaya yang luar biasa. Saya pikir nasionalisme itu adalah soal bagaimana kita mengumandangkan kedamaian kepada dunia.

Beberapa waktu yang lalu Anda mendapat predikat “Mr. Excellent” dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Apa artinya untuk Anda?

Saya begitu terharu, dan tentu bangga. Dengan predikat ini berarti tanggung jawab saya lebih besar lagi untuk berbuat sesuatu demi masyarakat dan negara. Semoga pengabdian saya ini mendapat restu dari Yang Kuasa dan dapat dinikmati oleh masyarakat luas.

Di tengah kepadatan waktu Anda bekerja, Anda masih sempat bermain golf. Untuk memudahkan lobi bisnis, ya?

Hehe… Saya memilih golf karena banyak mengandung unsur seni. Mulai dari area lapangannya yang bernuansa keindahan alam, memukul bolapun ada seni dan strateginya serta di sana terkandung seni melatih diri. Lebih penting lagi, lewat golf ini saya ingin mencetak bibit-bibit atlet usia muda. Saya ingin Bali nantinya bisa menjadi tujuan pariwisata golf.

Nampaknya perjalanan bisnis Anda mulus dan lancar saja?

Kalau boleh saya bilang, kalaupun ada kendala, saya tidak merasakannya. Karena sewaktu saya mengalami satu kegagalan, saya akan mencobanya lagi, dan terus mencobanya hingga akhirnya berhasil.

Kalau begitu, kapan Anda merasa menjadi seorang ‘loser’?

Loser itu saya artikan begini, kalau saya pikir saya tidak bisa berbuat sesuatu untuk orang banyak. Oleh karena itu saya tidak pernah menunggu untuk berbuat. Saya berupaya tidak berpikir terlambat pada saat yang kritis. Kebetulan saya sudah dibentuk bagaimana membuat keputusan pada saat kritis.

Boleh tahu, apa sih mimpi Anda selanjutnya?

Dalam usia saya yang terhitung muda, banyak mimpi yang sudah menjadi kenyataan. Bisa jadi karena ketulusan hati, banyak berdoa, memiliki komitmen dan kesungguhan, maka sesuatu yang kita mimpikan akan menjadi sesuatu yang nyata.

Bila ada yang mengatakan Anda nampak “lebih tua” dari usia Anda, apa tanggapan Anda?

Begitu, ya? Selama ini saya memang banyak sekali mendapatkan pembelajaran hidup, terlebih saat berada di luar negeri. Selama ini saya juga terbilang banyak berkomunikasi dengan orang-orang yang usianya dua kali usia saya. Itu juga kayaknya yang bikin saya tampak lebih tua dari usia yang sebenarnya, hahaha….

Anda dan kedua adik bersekolah di luar negeri. Ada alasan tertentu memilih pendidikan di luar negeri?

Siapapun dan dimanapun pendidikannya, bukanlah jaminan itu lebih bagus dan pasti bakal sukses. Yang benar, ketika berada di luar negeri, kita membuka wawasan dan cara berpikir. Lebih penting lagi adalah saya menjadi lebih menghargai apa yang dimiliki negeri sendiri. Namun, orang sering lupa ketika berada di luar negeri dan malah menghargai apapun yang menyangkut luar negeri.

Selama bermukim di luar negeri, pernah kecantol wanita asing?

Ini menarik juga untuk dijawab. Justru karena saya berada jauh dari kota kelahiran saya, saya menjadi sangat memperhatikan dan ingin memiliki yang ada di dalam kota kelahiran saya itu. Lain ceritanya kalau saya selalu berada di dalam kota sendiri, mungkin saya akan mencari produk luar, hehe…

Anda jatuhkan pilihan pada wanita Bali. Apa itu “pesan-pesan” orangtua?

Ah, itu kan cuma cara pandang lama. Saya pikir, nantinya di Bali akan semakin tidak mengherankan jika orang-orangnya banyak yang menikah dengan orang asing.

Pilih mana: istri di rumah atau bekerja?

Kebetulan, istri saya berkarier. Dia seorang notaris, dan cukup sibuk karena banyak berkomitmen dengan banyak pihak. Sama seperti saya, visi dia adalah pengabdian. Saya bangga dengan sikapnya.

Apakah ada pengalaman romantis yang bisa Anda ceritakan?

Wah. Memang waktu kami berdua banyak tersita untuk urusan pekerjaan. Makanya ketika ada waktu luang, saya segera merancang acara. Paling sering mengajaknya ke luar rumah untuk makan malam di tempat yang romantis. Kunci dari hubungan kami bukan berdekatan secara fisik setiap saat, tetapi di hati. Itu juga yang membuat hubungan kami layaknya pasangan yang sedang pacaran yang dilanda kasmaran. Kami memang memegang prinsip saling melayani untuk dilayani.

Bagaimana seandainya ada seorang wanita lain jatuh cinta pada Anda?

Itu yang dibilang cinta fisik, dan bisa luntur. Dalam hidup, bisa saja ada kejadian yang seperti itu. Nah untuk menyikapinya, saya pikir ada baiknya kita menunjukkan siapa diri kita. Lalu berikan masukan pada dia dengan bahasa-bahasa yang baik agar tidak terjadi kontak fisik. Semoga orang tersebut berubah pandangan, tidak jatuh cinta pada fisik tetapi pada pemikiran kita. Itu kan lebih indah.

Bagaimana wanita di mata Anda?

Wanita adalah suatu yang indah, yang membuat dunia ini semakin indah. Wanita mampu memberi kedamaian dan kesuburan. Menariknya lagi, di balik kelembutan wanita, ada suatu kekuatan. Contohnya, semakin banyak wanita berperan dalam dunia politik, dunia olahraga dan berbagai lainnya yang selama ini hanya diisi kaum pria.

Text by: Andriza Hamzah
Photographs by : M.I. Mappasenge