Day: September 21, 2009

Putu Supadma Rudana : Nonverbal ke Masa Depan

Di usia 34 tahun, Putu Supadma Rudana sudah berinteraksi dengan seniman – seniman sekaliber master, juga dengan Presiden R.I. Jalan apa yang telah ia lewati untuk berada di titiknya sekarang ini?

Jalan Raya Ubud, Sabtu pagi, matahari cerah menembus daun-daun di pepohonan lebat, musik tradisional Bali merayap di sepanjang jalan, mengikuti orang-orang berpakaian adat putih dan gadis-gadis berkebaya, kendaraan di seisi jalanan terhenti, mengalah pada upacara adat pagi. Galeri-galeri kecil bersisian mengapit jalan, mereka berjejalan dengan aneka lukisan yang meramaikan Ubud. Inilah kawasan seniman, lukisan-lukisan begitu meresap sampai ke tepi-tepi jalan.

Tak jauh dari kemacetan, bergeser ke arah selatan, di tepian hamparan sawah hijau, suasana sangat berbeda, di sini (kawasan Peliatan) ketenangan seperti menyapu alam. Di dalam keheningan, pergesekan angin dan daun kelapa bisa jelas terdengar. Tiupan angin bisa turun ke bawah ke anak-anak tangga menuju pintu masuk sebuah bangunan besar yang menyimpan lukisan-lukisan agung karya pelukis handal Indonesia. Gedung ini berwarna abu-abu batu dan aksen warna tanah oranye yang khas Bali, inilah Museum Rudana yang sohor, museum yang menyimpan karya-karya kelas master.

Sebelum masuk seorang anak muda telah menunggu ramah, namanya Putu Supadma Rudana (34), orangnya sangat sederhana, tinggi dan ramping, berkulit gelap, murah tersenyum, bahasa tubuhnya santai dan pandangan mata yang damai. Semua yang ada dalam dirinya ini tergolong biasa saja, tapi ternyata elemen ‘biasa saja’ inilah yang membuatnya jadi powerful. Ia mampu menyandingkan karya delapan orang pelukis kaliber master di Indonesia dalam satu ruangan, siapa yang pernah melakukan? Belum ada. Semua seniman punya ego dan sensitivitas tinggi. Siapa yang sanggup menggandeng Srihadi Soedarsono, Made Budhiana dan Nyoman Erawan di satu dinding? Siapa yang kuat mempertemukan Made Wianta, Sunaryo dan Nyoman Gunarsa, untuk saling bersisian? Dan Putu sudah melakukannya. Bagaimana?

Dalam seni kelas unggul, tentu uang bukan alat untuk memersatukan segalanya. Karena kalau iya, tentu persandingan delapan pelukis master sudah lama ada. Berarti ada hal lain yang diperlukan. Coba lihat apa yang telah dilakukan Putu, ia menggunakan unsur yang paling dasar, kerendahan hati serta impian yang tinggi. Menurut Putu, berbicara dengan seniman itu tidak bisa mengandalkan bahasa verbal, kita harus menggunakan hati, cermat membaca sinyal-sinyal nonverbal, dan ini memerlukan kerendahan hati yang sabar.

Impian yang setinggi langit juga diperlukan, para seniman adalah para pemimpi, dan Putu mengimbangi mereka dengan impian pribadinya, ia percaya bahwa seni adalah aset besar untuk kemajuan Indonesia. Formula inilah yang ia pakai untuk mempertemukan para pelukis senior. Dalam prosesnya tentu ini disokong pula dengan kepandaian Putu dalam melobi dan bernegosiasi. Putu memiliki titel Bachelor of Science dari Maryville University, St. Louis, Amerika (1996). Juga titel Master of Business Administration dari Webster University of St. Louis, Amerika (1998).

Lalu bagaimana Putu tidak membabi buta untuk memasukkan setiap seniman dalam kelas master?

“Saya senang menilai karya seni, saya diberikan hal yang luar biasa, di samping mata saya dikaruniai hati dan jiwa, saya percaya bisa melihat karya seni mana yang bagus dan berpotensi. Mungkin karena saya dilahirkan dalam lingkungan seni, dari kecil sering bertemu dengan banyak seniman, Affandi sudah seperti kakek sendiri, dengan Nyoman Gunarsa ketika saya kecil, saya ikut-ikutan melukis di sampingnya. Pelukis-pelukis muda seperti Erawan dan Budhiana sudah seperti kakak sendiri, jadi dari awal secara alamiah memahami cara pikir dan pergaulan seniman. Saya kira saya punya indera keenam”.

Putu anak pertama dari empat bersaudara, ayahnya, Nyoman Rudana (tokoh yang sangat dekat dengan seniman) adalah pendiri Museum Rudana. Pergaulan Nyoman Rudana dengan seniman-seniman tentu mewarnai pertumbuhan Putu, termasuk kelihaiannya beredar di kalangan seniman seperti saat ini. Tidak hanya bergaul, Putu juga ikut berperan. Kini ia menjadi Ketua III Himpunan Museum Bali, dengan gebrakan nyata yang telah ia capai berupa penerbitan buku hardcover mewah berjudul Treasures of Bali, sebuah buku panduan tentang museum penting di Bali, dan telah didistribusikan secara internasional. Program bukunya ini tidak lenyap ditelan angin, ia memeroleh sambutan hangat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden menorehkan predikat Excellent kepada Putu, lewat tulis tangan langsung di atas cover buku yang diluncurkan. Tentu presiden tidak sembarang mengeluarkan statement, pasti telah ada perhitungan agar siapa saja bisa mencontoh apa yang telah dilakukan Putu.

Apa untungnya bergaul dengan seniman master ?

“Luar biasa. Yang saya dapatkan …, walau mereka diam dalam melukis dan berkarya, mereka sebenarnya berbahasa nonverbal, mereka berfilosofi. Kita kadang-kadang selalu berusaha mengucapkan sesuatu untuk menjelaskan banyak masalah, sementara seniman hanya menggores di kanvas, dan dengan kekuatan batin, mereka bisa menunjukan segalanya. Mereka jarang berkata tidak, tapi kita harus pandai memahami kapan mereka tidak setuju. Dalam hal ini saya belajar dari Bapak Joop Ave, dia guru saya untuk komunikasi, dia menekankan bahwa bahasa nonverbal ini harus dikuasai”.

Putu melangkah naik ke Museum Rudana, interior luas bersegi empat membuat semua lukisan yang tergantung bisa dilihat dari arah mana saja. Putu melangkah pelan menjelaskan satu per satu setiap lukisan yang dilewati di luar kepala. Tidak seperti museum atau galeri lain yang berpameran lalu selesai acara semua lukisan dikembalikan ke pelukisnya, Museum Rudana dan Rudana Fine Art Gallery yang dipimpin Putu melakukan sistem yang berbeda.

“Di sini kami investasikan dana untuk mengoleksi semua karya. Kami beli dulu semuanya, barulah berpameran. Setelah itu kami promosikan habis-habisan, ini memang tidak mudah, terutama untuk seniman-seniman kelas master, mereka akan menilai dulu tempat kelayakan karya mereka dipamerkan”.

Di awal kiprahnya di ladang seni ini, Putu kerap dihujani berbagai kritikan, menurutnya pujian malah jarang ada. “… tapi saya terus berbuat, tak mundur hanya karena kritikan, tujuan saya baik dan positif, saya ingin menunjukan bahwa Indonesia memiliki seniman-seniman terbaik yang luar biasa. Apa yang saya lakukan ini lengkap dengan konsekuensinya. Saya berbuat komplit dengan resikonya, tapi kalau kita sudah kenal tujuan kita, tentu kita bisa meminimalkan resikonya. Saya yakin, di masa depan nanti benefit yang timbul akan luar biasa berguna untuk bangsa Indonesia”, ujar Putu.

Kesibukan Putu bukan melulu di ladang seni, saat ini ia pun sibuk di ladang minyak dan gas bumi, ia menjabat Wakil Ketua Himpunan Pengusaha Minyak dan Gas Bumi Bali. Ia juga sibuk di ladang golf, Putu adalah Ketua III Persatuan Golf Indonesia Pengurus Daerah Bali. Dalam deretan kesibukan ini, Putu masih bekerja keras untuk persiapan membawa keliling dunia karya delapan seniman yang sudah ia tetapkan sebagai Modern Indonesian Masters. Putu Supadma Rudana tengah mempersiapkan World Tour untuk Srihadi Soedarsono, Nyoman Gunarsa, Nyoman Erawan, Made Budhiana, Sunaryo Sutono, Made Wianta, Made Djirna dan Wayan Darmika. Ia masih muda, tentu masih punya waktu untuk mengejar cita-cita mulia.

Soap Magazine
Edisi 03 Maret 2008
Teks : Syahmedi Dean, Foto : Yano Sumampow

MUSEUM RUDANA 13 YEARS ON

It was an impressive gathering indeed: Culture and Tourism Minister Jero Wacik and his earlier predecessor, Joop Ave (“the Father of Indonesian Tourism”), were there. So were former President Soeharto’s son-in-law and daughter, Miss Indonesia 2008 as well as Bali’s elite in the realm of art, including internationally-acclaimed painter Nyoman Gunarsa.

The occasion: the 13th anniversary of Musuem Rudana, a three-storey, 500sqm building built on 2.5 acres of land located in Peliatan village, Ubud, Bali, about 16km from Denpasar, in the Museum Rudana compound.

President Susilo B. Yudhoyono was slated to be present and put his signature on the plaque. He then decided that the event should take on a grander scale by holding it in Jakarta some time in December.

SBY would not be the first president to put his seal approval on Museum Rudana. 13 years ago no less than the late President Soeharto officially opened it (on 26 December 1995) as part of the commemoration of the 50th Indonesian Independence anniversary.

Museum Rudana is the brainchild of founder Nyoman Rudana, who started his business as an art dealer by setting up the Rudana Fine Art Gallery in his hometown Ubud, Bali, in 1978.

(Rudana, who is also a prominent politician, is also a successful businessman in his own right: he operates several gas stations and manages other businesses.)

Museum Rudana exhibits more than 400 pieces of the work of fine art and sculpture of various Indonesian artists. On the first and second floor one finds the works of modern Indonesian artists Affandi, Basuki Abdullah, Srihadi Soedarsono (he is famous for his series of Borobudur paintings) Nyoman Gunarsa, Made Wianta and others. The works of post-modern Indonesian artists Nyoman Erawan and Made Budhiana are also present.

Museum Rudana conducted several exhibitions overseas. In 1997 and 1998, it held exhibitions in Kuwait. In 2000 the museum held an expo in Rome, Italy, where Rudana received L’albero dell’umanita (The Tree of Humanity) Award from the Italian government.

One of the highlights of the anniversary was the “Trisakti” painting exhibition of three of Indonesia’s finest artists, Srihadi Soedarsono, Nyoman Gunarsa and Made Wianta. The three painters as well as Singaporean artist Kumari Nahappan are the recipients of the Ksatria Seni Award II presented on that same occasion, as well as Minister Wacik, Joop Ave, art patron Siti Hardiyati Rukmana and former Bali Governor Dewa Made Beratha.

“The three Indonesian maestros reflect Indonesia’s maginificent sense of artistry. Their works are equal to that of any world class artist,” says Putu Rudana, the son of Nyoman, who manages Museum Rudana. While the day saw the elderly Rudana and his musuem take center stage, it is likely that Putu, who will be running for the House next year, will take on a higher national profile in the near future. In the coming months he is set to unfurl before the president his grand plan “to synergize all elements of Indonesian art and culture in the framework of national development.” Stay tuned.

Text and by Taufik Darusman

Interview With Putu Rudana

He’s young, handsome and now exceedingly well known since his billboards and activities are all over the island and country. But what’s behind this stylish, modern, smiling presentation. NOW! Bali’s Alistair Speirs went to the quiet and peaceful, manicured grounds of Rudana Museum to meet the man himself. Here’s part of a wide ranging discussion on culture, politics, life, creativity, responsibility and the future of the world!

As we approach the Presidential elections how do you think democracy has help Bali?

Democracy is a process of inspiring people. At some point people will begin to understand that happiness is inside, that happiness is serving, and that democracy is not about sacrificing other people but sacrificing yourself.

If we see Bali in the perspective of culture, the palaces are always close the temples, and so everywhere people are equal through religion. Bali is part of Indonesia and our “Tatwam Asi” (I as you, you as me) philosophy can guide and inspire the both Indonesia and world.

Do you think Indonesia as a nation is heading in the right direction?

I have great respect for our founding fathers and what they have achieved for Indonesia:
• Sukarno (Indonesia’s first President) was a great leader who inspired the people.
• Suharto (the second president) I greatly admire for his politeness (santun) and his amazing ability to speak to the common people.
• SBY (the current President) this is a man who doesn’t just talk but actually does things
Yes we are absolutely going in the right direction, 2009 should be a year of consolidating our stability and only in 2014 should we begin to look for a greater vision for the future. One note of caution though is that the levels of education in Indonesia are not get high enough so people can only express what they actually see, and what they see is not always the correct version.

What about the tourism industry which is the backbone of the economy in Bali?

Tourism is really is the staple diet of Bali so I don’t want to criticize but I am sad when I see every tourists watching poor performances because everyone trying to keep prices down. The hotel rooms here should be much more expensive, it should be a privilege to visit this wonderful island. It does seem that tourism leaders are now all heading in the same direction which is good since tourism has infinite potential but based on the spirit of Nusantara, our archipelago nation, Bali should be united with the rest of Indonesia through the sea.

But is the tourism industry being well managed in Bali?

We in the Art and Culture Business are really dedicated to our industry, “Melalui Kecintaan kepada Jiwa Bangsa”, so we can always see areas that can be improved. For example we don’t need to ban billboards just insist they are beautiful! We should not just have the exterior of buildings looking architecturally Bali but the interiors as well can be carved and styled. Petrol stations can be Bali style as well—I have already started one—and so should the airport represent our culture, it should be an art gallery greeting guest on arrival. So yet it’s being well managed but its not focused enough on being spiritually Bali, Indonesia.

So we should concentrate even more on art and culture?

Absolutely! Every country has a soul which is reflected in the products it makes. Look at Germany with Mercedes, USA with Boeing, Japan with Sony and Korea with Samsung. We should also have products which reflect our soul, which is based on art and culture in addition to technology.

How can we achieve that?

First by seeing that tourism is a source of income, but that culture needs to be protected and funded to keep it pure and intact. These should be managed by separate ministries. Art and culture should be managed with love.

So you do recognize the importance of tourism as a foreign exchange earner?

Yes of course but we should concentrate on quality not quantity. When people come here they should “experience” Bali not just sightsee, they should join in the rice planting, understand the subak (irrigation system), and watch the padi (experiencing rice harvesting). There is great “Taksu” in this experience–added value to your life. Here you can really understand “Tri Hita Karana” the relationship between God, Man, and Nature. So there is so much more value we can give to tourists and so much more contribution we can expect from tourism.

And what is your vision for future?

Great nations understand the soul of their country. They cannot build the soul by copying from others, that’s just consumptive not creative. So we must understand our archipelago, use our rivers and oceans to their best potential. We must subsidize our farmers to ensure our roots in agriculture are preserved. And above all I have a dream that all sectors of our country; legislative, executive and corporate sectors will live art and culture. That’s why the program of the government to declare 2010 as “Visit Museum Year” to get people attention back to the richness of our own culture is a great starting point for Indonesia. (NOW)

A great vision. Many Thanks.

Sumber : Now! Bali Life on the Island edisi Agustus 2009
Text : Alistair Speirs

A Man With Spirit of Art

Fiori mendapatkan janji blind date dengan seorang pengusaha sukses asal Bali. Menurut kabar, ia adalah orang yang sangat terpandang dan aktif di dunia seni. Bagaimana jadinya kencan buta itu? Ikuti obrolan Fiori untuk mengenal lebih dalam Putu Supadma Rudana.

Perkenalan Fiori dengan Putu diawali dengan jabat tangan hangat dan saling bertukar kartu nama. Baru saja kami berkenalan, cerita mengalir deras dari bibirnya tentang kartu nama beliau yang sangat artsy dan saratpersonal touch. Ya, itulah Putu Rudana. Walaupun ia terhitung orang penting dan sibuk, keramahan dan kerendahan hatinya selalu bisa dirasakan bagi siapa saja yang menjadi lawan bicaranya.

The Subject of Change

Berbincang dengan Putu bagaikan membaca sebuah ensiklopedia seni yang mudah dipahami. Bukan karena ia sangat mengusasi seni saja, mengingat ia adalah seorang kolektor seni lukis, pemilik museum, dan gallery lukisan, namun karena ia selalu menyisipkan elemen seni di tiap pandangan dan pendapatnya. “Seni dan budaya adalah bahasa universal, bahasa global, bahasa cinta kasih. Berbicara dengan bahasa budaya akan mampu mengomunikasikan segala hal. Itulah sebabnya seni tidak dapat dipisahkan dari keberlangsungan hidup manusia,” urainya memberi penjelasan.

Terlahir dari keluarga yang sudah kental dilingkupi darah seni, memang membuat Putu sangat mendarah daging dengan dunia satu itu. Namun berkat racikannya, seni menjadi sebuah bisnis yang tak bisa dianggap sebelah mata keuntungannya. “Sinergi antara Museum Rudana dan Rudana Fine Art Gallery, layaknya sebuah badan dan jiwa. Keberlangsungan kedua hal tersebut menjadi nafas untuk Rudana Art Foundation, yayasan seni nonprofit. Memang ini tidak bisa dilihat hanya dari segi bisnis, namun bisnis juga tidak bisa ditinggalkan sepenuhnya,” terangnya lugas.

Luasnya ilmu yang dikuasai Putu, memang menjadikan ia seseorang yang cerdik dan berpikiran terbuka. Tidak puas hanya mengantungi ilmu seni dari lingkungan terdekatnya, Putu menekuni ilmu bisnis dan keuangan, yang memperkaya khazanahnya dalam mengelar usaha. Kini, ia tercatat tak hanya sebagai seseorang yang aktif di bidang seni, namun juga berpraktik di dunia investasi dan jasa.

The Art of Politic

Pembicaraan kami semakin berlanjut dan tercetuslah omongan tentang keterlibatan beliau di dunia politik. Seperti memahami rasa penasaran Fiori, Putu beralasan bijaksana tentang keputusannya itu. “Politik adalah tugas mulia. Jangan pernah membenci politik, karena semua hal yang dilakukan di dunia ini didasarkan atas politik, bahkan hewan pun berpolitik,”. Pria penyuka olahraga golf ini menjelaskan bahwa ia ingin menjadi aspirator bagi orang banyak dengan politik, bukan ingin mencari ketenaran atau keuntungan pribadi. “Saya ingin bisa menyentuh semua orang. Dengan berpolitik, saya bisa berada di tengah, menjadi jembatan penghubung antara rakyat dan petinggi negara,” tukasnya.

Sayangnya, niat baik Putu untuk menjadi penyalur aspirasi rakyat, tidak bisa terealisasi tahun ini. Ia kalah dalam pemilihan umum legislatif bulan April lalu, karena tidak mendapatkan jumlah suara yang cukup untuk terus melaju ke kursi dewan. “Kekalahan atau kemenangan adalah hikmah. Yang terpenting masyarakat telah menjatuhkan pilihan masing-masing. Seseorang yang gagal bukan berarti akan selamanya gagal. Bisa saja ini menjadi jalan terbaik yang dipilihkan Sang Hyang Widhi untuk saya. Buktinya, pascapileg ini, saya bukannya berhenti membangun bangsa, tapi terus beraktivitas positif, di antaranya mengikuti Munas Asosiasi Museum Indonesia (AMI) di Jambi pada 4 hingga 8 Mei lalu. Acara ini diikuti 250 museum, baik swasta dan negeri, dari seluruh Indonesia, termasuk Himpunan Museum Bali (Himusba) sebagai anggota AMI,” terangnya sumringah.

Lalu, apa sebenarnya relevansi berpolitik dengan seni? Putu dengan sigapnya menjelaskan bahwa politik bisa menjadi salah satu sarana untuk merealisasikan mimpi besarnya. ”Saya ingin mengangkat harkat dan martabat bangsa melalui aset yang dimiliki Indonesia. Apabila kita berpikir untuk membuat industri otomotif mewah, kita akan ketinggalan jauh. Tapi, bila kita berfokus di bidang budaya, sebenarnya kita sudah maju di depan. Tinggal pilar-pilarnya yang disatukan, sehingga kejayaan seni dan budaya Indonesia bisa tercapai,”jelas pria pelahap buku-buku seni, bisnis, dan golf ini.

The Man of Art

Melihat sendiri betapa banyaknya talenta dan kesibukan Putu, Fiori penasaran dengan sisi terdalam seorang Putu Rudana. ”Bila melepas semua ’pakaian’ yang menempel di diri saya selama ini, saya sebenarnya hanyalah seorang pribadi yang sangat mencintai seni. Saya adalah seorang yang sangat kaya, karena bangga bisa menjadi bagian dari kekayaan seni dan budaya. Saya tidak perlu mobil mewah atau barang-barang berharga mahal untuk merasa kaya,” tuturnya berfilosofis.

Penasaran dengan cara berpikirnya yang tulus dan tenang, ia mengaku sangat mengidolakan Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan, dalam pertemuan kami, berkali-kali Putu melontarkan nama SBY dalam bentukquote. ”Saya memang mengidolakan beliau dalam hal kepemimpinan. SBY di mata saya adalah sosok pemimpin yang berbudi luhur dan jujur,” pujinya tulus. ”Saya sangat tersentuh ketika ia memberi nilai ’excellence’ untuk buku panduan tentang museum di Bali bertajuk ”Treasure of Bali” yang saya buat. Tentu seorang sekelas SBY tidak akan mudah memberi nilai setinggi itu hanya dari satu sisi,” ceritanya riang.

Tak terasa obrolan kami harus berakhir karena pria lulusan Webster University of St. Louis, USA, ini, harus berlanjut ke aktivitas selanjutnya. Sebelum kami berpisah, ia meninggalkan kalimat yang melekat di pikiran saya hingga kencan singkat itu berakhir, ”Keterlibatan saya di dunia seni adalah sebuah pengabdian, tidak ada rasa lelah untuk menjalaninya. I’m willing work extra times. Saya mau dan akan bekerja dengan maksimal demi mencurahkan segalanya untuk seni dan budaya,”. What a man!

Sumber:
Fiori edisi Juni 2009
Teks:
Iera Sipahutar