Month: September 2012

MENGUBAH PARADIGMA ENTREPRENEURSHIP MEWUJUDKAN PRIBADI LUHUR BERKARAKTER

Oleh : Supadma Rudana*

Sebuah bangsa yang besar, demikian pula pribadi seseorang yang terpujikan dan berintegritas (terpercaya serta bermartabat), selalu dinyatakan karena memiliki karakter. Dalam pengertian paling dasar, karakter adalah segugusan nilai-nilai hakiki yang unggul, dan dalam prosesnya kemudian membentuk jati diri; merefleksikan keluhuran sikap dan perilaku yakni: beriman serta bertakwa, berbudi pekerti luhur, cerdas, berdisiplin, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian tangguh dan mandiri serta memiliki tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Di samping nilai-nilai hakiki tersebut di atas, bangsa yang besar atau pribadi yang unggul, juga memiliki semangat, sikap serta perilaku yang senantiasa sigap dan tanggap memperbarui kualitas kemampuannya, yaitu meliputi: kemampuan dalam produktivitas, kemampuan mengelola sumber daya, kemampuan berkomunikasi, kemampuan bekerjasama, kemampuan menggunakan data dan informasi, kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dengan kata lain, upaya kita membentuk karakter dan pekerti bangsa, atau nation and character building, pada hakikatnya adalah mewujudkan sosok-sosok generasi muda atau manusia Indonesia yang merangkum ciri-ciri luhur dan unggul sebagaimana terurai di depan. Dalam rangka pembentukan karakter demikian itulah, dibutuhkan adanya pendidikan karakter, yaitu suatu sistem penanaman nilai-nilai hakiki kepada generasi muda yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai luhur dimaksud.
Hal ini sejalan dengan upaya membentuk sumber daya manusia yang unggul, terangkum dalam UU No 20 tahun 2003, yang menyatakan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat. Bahkan lebih dari itu, dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005 hingga 2015 dinyatakan bahwa pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk visi pembangunan nasional, yaitu masyarakat berahlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab.

Nilai-nilai luhur yang membentuk jati diri bangsa atau kepribadian seseorang sesungguhnya tidak dengan serta merta terwujud dalam seketika, melainkan tumbuh dalam proses yang panjang, selaras dengan dinamika kehidupan masyarakat di gugusan kepulauan Nusantara yang kemudian disebut Indonesia, dimulai dari Masa Prasejarah; Masa Kerajaan; Masa Perjuangan dan Pergerakan Kebangsaan; Masa Revolusi Kemerdekaan; dan Masa Perkembangan serta Pembangunan. Proses yang panjang tersebut tercermin juga melalui kekayaan-kekayaan kultural negeri ini, yang dalam tataran filosofis terangkum menjadi apa yang disebut sebagai local-local genius yang melahirkan kearifan lokal atau local wisdom. Dengan kata lain, sejarah perjalanan bangsa Indonesia merefleksikan kronologis perjalanan sejarah kebudayaan Nusantara.

Kebhinnekaan Kita: Peluang dan Tantangan

Bila kita terpanggil merenungkan, maka akan kian disadari bahwa NKRI memiliki anugerah kekayaan yang luar biasa. Letaknya sangat strategis, di antara dua benua, Australia dan Asia, serta dua samudera yakni Pasifik dan Indonesia. Wilayahnya begitu luas, terdiri dari lebih dari 17.504 pulau berukuran besar dan kecil, terentang dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote.

Tuhan telah berkenan melimpahkan karunia tidak terhingga ke tanah air tercinta ini. Bukan hanya panorama pegunungan, pantai dan lembahnya yang jelita, namun di dalamnya terkandung pula sumber daya alam yang nilainya sungguh tak terhingga. Belum lagi berbagai suku bangsa yang mendiaminya, dengan adat istiadat, bahasa, agama serta mahakarya kebudayaan dan kesenian yang beraneka ragam, masing-masing kaya akan warna, rupa dan dinamika. Semuanya terhampar dalam jalinan kebersamaan: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, Indonesia. Berbeda-beda namun tetap satu jua, Bhinneka Tunggal Ika.

Di sisi lain, bila kita merenungkan lebih dalam lagi, sejalan dengan syukur dan kekaguman, betapa besar tanggungjawab semua pihak, khususnya generasi muda, untuk menjaga keutuhan NKRI, menghayati Pancasila dan UUD 1945, menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam keBhinnekaan yang Tunggal Ika. Derasnya globalisasi dengan nilai-nilai paradoks yang menyertainya adalah tantangan sekaligus peluang. Bila kita lalai, abai dan tak hati-hati dalam meniti arus sejarah ini, bukan mustahil semangat kebersamaan yang telah dirintis dengan susah payah oleh para pendiri bangsa atau founding fathers, cepat atau lambat akan terkikis dan tergerus.
Mencermati berbagai hal tersebut, adalah suatu tindakan yang strategis guna mengembangkan karakter melalui pendidikan nasional yang terencana, terukur dan terarah serta tepat guna, di mana kita dapat menyemai sumber daya manusia yang unggul, memiliki jati diri dan berkepribadian terpuji yang sarat dengan prestasi.
Pendidikan karakter ini juga diharapkan mampu menumbuhkembangkan suatu nilai-nilai solidaritas penuh toleransi serta penghormatan akan keberagaman. Terlebih lagi, kita adalah negara yang masyarakatnya terbilang majemuk, multietnis dan multikultur, boleh dikata cukup riskan akan munculnya benih-benih perpecahan. Sedari proklamasi dikumandangkan hingga kini, keseharian kita selalu dibayang-bayangi benturan berbagai kepentingan, ketegangan antara mayoritas dan minoritas, prasangka dan praduga yang berujung pada kesalahpahaman yang berkepanjangan.

Di samping itu, kita juga mencatat bahwa dalam perjalanan bangsa ini tidak lepas adanya intrik politik serta kepentingan-kepentingan kelompok yang mengalahkan kepentingan bangsa, termasuk di dalamnya ialah pudarnya rasa nasionalisme. Semua ini menimbulkan pertanyaan yang mendasar, yang menjadi salah satu pendorong terlaksananya Kongres Kebudayaan Pemuda Indonesia tahun 2012, sebuah peristiwa bersejarah yang semoga kelak, sebagaimana Sumpah Pemuda tahun 1928, terus-menerus memberikan inspirasi luhur bagi perjalanan peradaban negeri ini. Pertanyaan mendasar kita adalah: akan kemanakah atau dibawakah kemanakah bangsa dan negara ini?
Menjawab pertanyaan itu, sekaligus problematik sosial budaya yang menyertainya, maka kita layak mengembangkan suatu kesadaran bersama, bagaimana menciptakan sumber daya manusia Indonesia yang unggul, yang siap berkompetisi dan bersaing secara global, di tengah percepatan perubahan yang disebabkan oleh pesatnya perkembangan teknologi informasi dewasa ini.

Kesadaran bersama itu meliputi kegiatan-kegiatan pemberdayaan generasi muda, sinergisitas antarbidang dan lintas kultural menuju masyarakat Indonesia yang kreatif dan produktif. Sehingga capaian prestasi yang diraih bukanlah semata membentuk manusia yang mencapai kesuksesan lahiriah atau A Person of Successmelainkan A Person of Value atau manusia luhur, bernilai dan berkarakter unggul, di mana kearifan lokal ataulocal wisdom, tidak berhenti sebagai slogan semata atau filosofi, melainkan terekspresikan sebagai perilaku keseharian manusia Indonesia yang cerdas berkualitas secara intelektual (Intelligence Quotient), emosional dan sosial (Emotional Quotient), sekaligus spiritual (Spiritual Quotient).

Manusia Sukses sekaligus Bernilai (Entrepreneurship)

Upaya mewujudkan manusia yang sukses sekaligus bernilai tersebut melalui pendidikan karakter adalah sejalan dengan upaya mengaplikasikan nilai-nilai hakiki dan kearifan dalam ekspresi perilaku kita. Salah satu kelemahan mendasar sebagai bangsa yang tengah bertransformasi dari masyarakat berbudaya agraris komunal menuju masyarakat industri modern yang cenderung individual, adalah belum terbentuknya sikap kewirausahaan atau entrepreneurship yang mandiri dan penuh dedikasi. Konsep entrepreneurship macam apakah yang kita kembangkan, yang selaras dengan kultur masyarakat Indonesia, demi tercapainya cita-cita luhur bangsa yang gemah ripah loh jinawi?

Konsep kewirausahaan yang aplikatif sekaligus merefleksikan watak luhur bangsa yang guyub dan hangat, adalah kewirausahaan yang bersifat sosial atau social entrepreneurship yang dapat diimplementasikan dalam suatu program aksi berkelanjutan. Kewirausahaan ini menuntut suatu kemandirian yang lebih mengedepankan sinergisitas daripada keuntungan perseorangan semata atau kelompok tertentu belaka. Sehingga kemampuan melihat peluang yang dikembangkan adalah yang berbasis pada pengabdian atau panggilan yang lebih mulia dari sekadar mengumpulkan keuntungan finansial, yang hanya fokus pada sukses, tetapi abai akan Nilai. Program aksi social entrepreneurship yang berkelanjutan ini akan mendorong akselerasi perubahan bagi lingkungan sekitar secara signifikan; bermuara pada pembangunan Indonesia yang berbudaya (Indonesia Adibudaya). Di sinilah makna ‘Indonesia’ tidak hanya sebagai kata benda, melainkan juga sebuah kata kerja.

Dengan demikian, kewirausahaan sosial ini tidak terfokus pada kewirausahaan bidang ekonomi saja, tetapi juga sosial, budaya, politik serta bidang-bidang lain. Yang hakikatnya hendak dikembangkan adalah suatu sikap proporsionalisme dan profesionalisme, yang didasari atas semangat kemandirian yang penuh tanggungjawab. Sebagaimana para pelaku bidang ekonomi, entrepreneur di bidang politik, budaya, sosial, dan lain-lainnya, juga menghadapi rintangan dan tantangan yang memerlukan suatu solusi inovatif serta sinergi kreatif yang produktif.

Dalam konteks tersebut, yakni membentuk suatu jiwa social entrepreneurship melalui pendidikan karakter, penting diwacanakan dan sekaligus diaplikasikan adanya perubahan paradigma atau cara pandang secara mendasar, termasuk perubahan dalam pola pikir. Perubahan paradigma atau pola pikir tersebut, adalah menghasilkan kreasi-kreasi inovatif yang bermanfaat bagi pembangunan suatu bangsa, melibatkan para ahli untuk melakukan kajian secara tepat guna, sebuah pengembangan pemikiran yang thinking outside of the box yakni berpikir ke depan secara kreatif dan visioner (excellent vision).
A. Social Entrepreneur bidang Kebudayaan dan Kesenian
Adanya perubahan paradigma akan makna entrepreneurship, membuka peluang bagi para wirausahawan guna mengelola bidang kebudayaan dan kesenian dengan semangat pengabdian. Jiwa entrepreneurshipdalam konteks ini adalah sebentuk kemampuan untuk mengelola nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam mahakarya kebudayaan dan kesenian Indonesia, buah cipta dari para seniman-seniman tradisi mumpuni maupun kreator-kreator modern yang piawai.

Beruntung kita dapat melihat dan mempelajari karya-karya maestro tersebut yang sebagian besar menjadi koleksi dari museum-museum di tanah air. Keberadaan museum-museum telah mendorong pengunjung untuk merenung dan mendalami berbagai artefak yang mencerminkan dinamika kehidupan masyarakat Nusantara mulai dari: (1) Masa Prasejarah; (2) Masa Kerajaan; (3) Masa Perjuangan dan Pergerakan Kebangsaan; (4) Masa Revolusi Kemerdekaan; (5) Masa Perkembangan dan Pembangunan.

Tidak sebagaimana yang dibayangkan oleh masyarakat awam, museum terbukti dapat difungsikan sebagai laboratorium kebudayaan, di mana para ahli, pakar aneka bidang dan generasi muda dapat mengembangkan ide-ide kreatif serta gagasan-gagasan entrepreneurship yang cerdas berdasarkan suatu telaah yang mendalam terhadap apa yang telah dicapai oleh leluhur melalui karya-karya berupa apapun yang menjadi koleksi museum. Laboratorium itu memungkinkan pula suatu kajian dan program akademis yang tepat guna untuk mengembangkan pemikiran yang menghasilkan kreasi-kreasi inovatif yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa.

Program dan agenda enterpreneurship di bidang kebudayaan dan kesenian dapat berupa pameran, dialog, penerbitan atau pertunjukan. Yang dilaksanakan secara berkala dan berkelanjutan, mengundang budayawan, tokoh dan pakar berbagai bidang yang memiliki perhatian pada kemajuan kebudayaan dan pendidikan di Indonesia. Melalui kegiatan yang mentradisi tersebut, diharapkan tersemai gagasan-gagasan bernas, cerdas, dan visioner serta mencerahkan, sehingga melahirkan agenda-agenda aksi yang terarah, terukur dan terpadu.

Namun, guna mewujudkan gagasan menjadi tindakan serta aksi yang nyata, perlu dikedepankan semangat sinergisitas berbagai pihak, di antaranya melibatkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, lembaga-lembaga ataupun pusat penelitian kebudayaan, institusi pendidikan serta edukasi lainnya di Indonesia dan juga berbagai komunitas seni budaya di Nusantara. Melalui upaya keterpaduan ini, diharapkan dapat terjalin suatu hubungan yang saling mendukung, sehingga memungkinkan terjadinya akselerasi penyebaran gagasan serta implementasi nilai-nilai luhur kultural bangsa dalam kehidupan kemasyarakatan kita.

B. Social Entrepreneur bidang Gagasan dan Idealisme
Sebagai bangsa yang tengah membangun sistem demokrasinya agar lebih sehat dan kuat, patutlah mampu mengelola 4 (empat) pilar utama penyangganya, yakni keberadaan partai politik, media massa, partisipasi publik, dan supremasi hukum. Keempat pilar tersebut, sesungguhnya bermuara ke satu hal yang Hakiki yakni pentingnya menegakkan Gagasan dan Idealisme sebagai keniscayaan bermasyarakat dan bernegara.

Maka entrepreneurship di bidang Gagasan dan Idealisme, selaras dengan upaya-upaya pencerdasan masyarakat melalui kegiatan semacam dialog budaya termasuk bentuk-bentuk interaksi kaum cendekiawan dan pemerhati sosial budaya di ruang publik lainnya. Hal mana ini diperjuangkan menjadi sebentuk tradisi pengembangan intelektual dengan topik-topik yang lebih fokus serta rekomendasi solusi yang bisa langsung turut membantu menyelesaikan berbagai masalah dan problematik di masyarakat. Sejalan dengan itu pula, layak dikembangkan suatu semangat penghormatan atas gagasan atau buah pikiran seseorang sebagai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang harus dilindungi. Dengan demikian apabila menyadur atau mengutip konsep orang lain, secara etika dan kaidah hukum, kita juga sepatutnya mencantumkan nama yang bersangkutan; langsung ataupun tidak, akan memberikan nilai tambah ekonomi tersendiri.

Sehingga social entrepreneurship di bidang Gagasan dan Idealisme berhasil menjalankan program aksi pengembangan dan peningkatan pendidikan berkarakter atau penanaman nilai-nilai luhur pada khalayak luas, khususnya generasi muda. Para entrepreneur tersebut mampu menjadi pelopor sekaligus inspirator, bukan hanya pembangunan karakter luhur manusia Indonesia, melainkan turut mengkonstruksi tatanan baru peradaban dunia yang mengedepankan perdamaian, kemanusiaan, solidaritas, kesetaraan serta keadilan.

C. Social Entrepreneur bidang Politik
Dalam upaya mengembangkan social entrepreneurship di bidang politik sekaligus mengembangkan sinergi kreatif yang produktif, perlu adanya perubahan cara pandang masyarakat, termasuk generasi muda, perihal dunia politik yang di-stigmatis-kan sebagai dunia yang penuh intrik, dan siasat licik alias kotor. Dunia politik seakan-akan hanya identik dengan perebutan kekuasaan antar figur-figur ambisius yang rakus dan menghalalkan segala cara. Padahal, martabat suatu bangsa, ditentukan juga oleh kehidupan politik dan perilaku politikusnya. Bukankah salah satu soko guru demokrasi yang sehat adalah kehidupan partai politik yang juga sehat sekaligus produktif.

Bila stigmatis terhadap dunia politik tidak didekonstruksi, maka yang terjadi adalah sebagaimana kenyataan sekarang ini, di mana partai-partai tidak didukung oleh proses kaderisasi yang berkualitas. Perekrutan keanggotaan semata dilakukan dengan mengedepankan pragmatisme yang jauh dari idealisme partai yang bermartabat. Sebagai akibat enggannya masyarakat dan generasi muda yang potensial memasuki dunia politik, maka partai-partai politik kini lebih direpotkan oleh polah tingkah kader yang bermasalah. Bagaimana mungkin kita mengembangkan suatu social entrepreneurship bidang politik yang berkualitas bila paradigma dan cara pandang masyarakat tidak diubah. Bidang politik memerlukan semangat kewirausahaan dimana para pelakunya berintegritas (terpercaya dan bermartabat).

Bila paradigma dan stigmatis terhadap politik dapat dijernihkan, kita dapat berharap akan lahirnya pemimpin-pemimpin bangsa di segala bidang yang memiliki jiwa melayani yang dalam arti positif, mendahulukan kepentingan bersama atau bangsa di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Pemimpin yang memiliki jiwa besar untuk mengatakan mampu atau tidak mampu, bisa atau tidak bisa secara terbuka, ksatria secara penuh tanggungjawab. Dengan demikian, pemimpin-pemimpin kita akan mengabdi dengan visioner, didasari pemahaman akan kekayaan seni budaya warisan adihulung Nusantara, di dalamnya terkandung kekuatan spiritual maupun potensi finansial atau ekonomi.

Dialektika antara partai dan politikus serta masyarakat yang kritis, diyakini akan memperluas medan kesadaran baru dalam berbangsa dan bernegara, yang menjadikan era keterbukaan ini sebagai hal yang produktif, bukan semata pertikaian dan luapan kebencian lantaran berbeda ideologi atau pandangan. Bila ini berlangsung dalam suatu proses yang berkelanjutan, jelaslah demokrasi kita tidak akan terjebak pada sekadar prosedural, melainkan sungguh-sungguh mewarnai kehidupan keseharian sosial politik negeri ini. Terbuka peluang, melalui serangkaian tahapan dan proses itu, para politikus bermetamorfosis menjadi para negarawan.

REKOMENDASI AKSI
1. Perlu ditetapkan program-program aksi yang dapat mengasah kepribadian seseorang atau masyarakat agar memiliki karakter dasar yang terpujikan.
2. Perlu ditetapkan program-program aksi pengembangan karakter di mana kearifan lokal atau local wisdom di Nusantara, tidak berhenti sebagai slogan semata atau filosofi, melainkan terekspresikan sebagai perilaku keseharian manusia Indonesia yang paripurna.
3. Perlu dibangun upaya melakukan sinergi kreatif yang melibatkan seluruh potensi bangsa dalam semangatentrepreneurship yang mandiri dan bertanggungjawab secara lintas bidang, lintas kultural, serta lintas generasi.

*Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Pusat. Makalah ini disampaikan dalam Kongres Kebudayaan Pemuda Indonesia 2012, tanggal 6 – 9 November 2012 di Jakarta.

Mewujudkan Politik yang Berbudaya

Oleh: Putu Supadma Rudana, MBA*)

Tuhan Yang Maha Esa telah berkenan melimpahkan karunia tak terhingga ke tanah air tercinta ini. Bukan hanya panorama pegunungan, pantai dan lembahnya yang jelita, namun di dalamnya terkandung pula sumber daya alam yang nilainya sungguh tak terbilang. Belum lagi berbagai suku bangsa yang mendiaminya, dengan adat-istiadat, bahasa, agama, serta hasil-hasil kebudayaan dan keseniannya yang beraneka, yang masing-masing kaya akan warna dan dinamika. Semuanya terhampar dalam jalinan kebersamaan: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, Indonesia.

Menimbang keanekaragaman suku yang mendiami wilayah nusantara beserta kekayaan adat dan budayanya, saya meyakini bahwa jiwa bangsa ini pada hakikatnya bersumber dari seni budayanya yang telah tumbuh berkembang melampaui abad demi abad tak terbayangkan. Dalam suatu kesempatan berkunjung ke Monas (Monumen Nasional) Jakarta, saya berkesempatan untuk menyaksikan perjalanan bangsa ini melalui diorama serta berbagai peninggalan dan dokumen sejarah yang menunjukkan kesejatian negeri ini. Saya menyaksikan juga teks proklamasi yang asli dan berfoto di sana. Terlintas dalam pikiran bahwa kita memang telah merdeka sebagai negara yang berdaulat. Namun, sebagai bangsa tampaknya kita juga perlu menggaungkan kemerdekaan dan kekayaan kebudayaan kita, yang dengan itu terbuka peluang untuk memberi inspirasi bagi bangsa-bangsa lain di dunia tentang pentingnya seni budaya sebagai pemersatu umat manusia dalam perdamaian yang penuh saling pengertian.

Saya juga berkunjung ke Museum Nasional di Jakarta, menyaksikan beragam karya-karya seni dari para maestro bangsa yang sarat dengan keindahan berikut kedalaman makna yang luar biasa. Di sana disimpan pula peninggalan dan warisan-warisan para leluhur bangsa di antaranya prasasti, gerabah, keramik, lampu hias, meriam dan lain sebagainya. Kesemuanya bukan semata karya bangsa Indonesia, melainkan juga buah cipta dari luar negeri, seperti Belanda, Inggris, Jerman, Cina dan Jepang.

Melalui ziarah pada sejarah luhur bangsa kita itulah, terbersit renungan perihal pentingnya mengedepankan suatu perilaku politik yang berbudaya. Hal ini mengemuka justru karena kita menyaksikan fenomena belakangan ini, di mana kehidupan politik seakan-akan tak berjarak dengan berbagai intrik. Seolah-olah perilaku yang jauh dari kesantunan dan etika adalah keniscayaan dunia politik, di mana kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok mengabaikan kepentingan bersama sebagai bangsa.

Politik yang berbudaya, jelaslah memang pilihan dan tujuan dari pendirian Partai Demokrat, di mana para kadernya didorong untuk beretika politik yang bersih, cerdas dan santun, menjunjung nilai-nilai kebangsaan dan nasionalis sekaligus religius. Bagaimanakah hal itu dapat dicapai? Upaya pengkaderan macam apa yang layak dirancang dan diprogramkan guna mewujudkan perilaku politik yang beretika seperti itu?

Pertama-tama patut ditanamkan suatu kesadaran bahwa politik yang hendak kita perjuangkan bukanlah semata politik kekuasaan melainkan suatu politik yang mengedepankan panggilan pengabdian demi kesejahteraan masyarakat luas. Dengan demikian, nilai-nilai luhur warisan budaya bangsa ini dapat diimplementasikan dalam perilaku keseharian serta menjadi acuan bagi pengambil keputusan dan kebijakan. Di sisi lain, politik yang berbudaya juga mensyaratkan adanya masyarakat yang kritis, yang melihat perbedaan pandangan serta perdebatan wacana antarpartai sebagai suatu kewajaran demokrasi.

Dialektika antara partai dan politikus serta masyarakat yang kritis, diyakini akan memperluas medan kesadaran baru dalam berbangsa dan bernegara, yang menjadikan era keterbukaan ini sebagai hal yang produktif, bukan semata pertikaian dan luapan kebencian lantaran berbeda ideologi atau pandangan. Bila ini berlangsung dalam suatu proses yang berkelanjutan, jelaslah demokrasi kita tidak akan terjebak pada sekadar prosedural, melainkan sungguh-sungguh mewarnai kehidupan keseharian sosial politik negeri ini. Terbuka peluang, melalui serangkaian tahapan dan proses itu, para politikus bermetamorfosis menjadi para negarawan.

Terlebih lagi, bila kita sedia mengkaji tentang adanya kenyataan bahwa Indonesia adalah sebuah republik yang masyarakatnya majemuk, multietnis dan multikultur, serta tengah menghadapi dinamika percepatan perubahan sebagai akibat hadirnya nilai-nilai global, buah dari kemajuan teknologi informatika yang nan canggih itu. Di samping itu, Indonesia yang memiliki letak yang strategis antara dua benua, Asia dan Australia, serta dua samudera, Hindia dan Pasifik, menghadapi tantangan ke depan yang memerlukan suatu pola penanganan yang holistik berlandaskan kerja sama semua pihak tanpa terkecuali. Upaya mengatasi problematik bangsa ini, memang bukan hanya tugas Presiden sebagai eksekutif beserta jajaran pemerintahnya, akan tetapi juga merupakan tanggung jawab anggota legislatif, yudikatif dan, terkait di dalamnya, para profesional aneka bidang, serta para pelaku politik yang berbudaya.

Peran Museum

Guna membangun politik yang berbudaya tersebut, tak dapat diabaikan peran museum yang sesungguhnya terbilang strategis. Tidak seperti yang selama ini dibayangkan oleh sebagian masyarakat awam, museum terbukti dapat difungsikan sebagai laboratorium kebudayaan, di mana para ahli, pakar aneka bidang dan juga generasi muda dapat mengembangkan ide-ide kreatif dan gagasan-gagasan cerdasnya berdasarkan suatu telaah yang lebih mendalam terhadap apa yang telah dicapai para leluhur melalui karya-karya berupa apapun yang tersimpan di dalam museum. Saya kira adalah suatu yang tidak berlebihan bila kita berupaya menjadikan museum beserta organisasi pengelolanya menjadi semacam center of excellence. Yakni, semacam laboratorium yang memungkinkan para ahli untuk melakukan suatu kajian dan program akademis secara tepat guna dan tepat makna, guna mengembangkan pemikiran atau menghasilkan kreasi-kreasi inovatif yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa, baik itu tataran filosofis maupun tataran praksis. Masing-masing selayaknya terpanggil untuk mengadakan pembenahan menyeluruh serta pencanangan program yang saling sinergi seraya menyadari bahwa museum juga merupakan salah satu sarana pembangunan karakter dan pekerti bangsa (nation and character building).

Secara lebih fokus dan khusus, dengan menimbang bahwa museum bisa menjadi center of excellence serta laboratorium kebudayaan seperti disinggung di atas, sinergi seni tersebut patut diketengahkan dalam wujud program-program nyata yang lebih terarah dan berkelanjutan guna mendorong upaya-upaya pembentukan karakter dan watak bangsa. Sebab hanya negara yang telah menemukan jati dirinya serta kuasa mengukuhkan nation and character building-nya, berpeluang untuk unggul dalam persaingan global. Dengan demikian, sudah tidak pada tempatnya lagi di era demokratis ini untuk melakukan dikotomi antara berbagai kepentingan dan idealisme atas nama apapun. Bahkan dalam titik kesadaran tertentu, saya mencoba mewujudkan apa yang menjadi keyakinan hidup yakni the art of business in the business of art (seni berbisnis dalam bisnis seni), serta the art of excellence, atau seni kesempurnaan, di mana kita tidak puas hanya sekadar menjadi mediocre (setengah-setengah saja).

Bila politik yang berbudaya tersebut sudah mewujud dalam kenyataan demokrasi kita, maka pemilu akan berlangsung sebagai perayaan dan pesta kebersamaan, yang mengemuka adalah kegembiraan dan sportifitas serta pengakuan akan keunggulan kompetitor tanpa perlu merasa menjadi pecundang yang tak kunjung henti dari sakit hati.

*) Penulis adalah Ketua Departemen Kebudayaan dan Pariwisata DPP Partai Demokrat serta Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia (AMI)

Dimuat di situs resmi Partai Demokrat, www.demokrat.or.id pada 12 September 2012.

PUTU RUDANA Artistic Affluence

“IT HAS BEEN SUCH A BLESSING,” PUTU SUPADMA RUDANA START HIS STORY. “FROM EARLY CHILDHOOD, I HAVE BEEN IN TOUCH WITH BEAUTIFUL ARTWORKS AND HAVE GOTEN TO LEARN TO ABSORB ARTIST’ SOURCE OF INSPIRATION.”

THROUGH YEARS OF SUCH LEARNING PROCESS, PUTU IS NOW

Conditioned both visually and intuitively, to be able to categorize paintings on whether they are of solid composition, whether they are ones that will work and inspire the audience, or not. “ My senses are trained to understand that, behind an attractive painting composition, behind it facade of beauty and aesthetics, there is something more profound, such as precious values and nostalgic background that are tried to be transferred by painters to captivate the audience.”

Putu Supadma Rudana is the son of Nyoman Rudana, an art collector, founder and owner of the famed Rudana Museum and Rudana Fine Art Gallery of Ubud, in which Putu is managing director. Born in Denpasar on april 23, 1974, Putu reminisces on how he was never brought up to be a man focusing merely in business or other worldly matters. Spirituality and artistic feelings are things that he breathes on right from the minute he was born. Spent his whole childhood in Bali, Putu went to seek his master’s degree in Business Administration at Webster University of St Louis, United States, in 1998. Despite him pursuing his studies in business and his grand intentions to run his family business profitably, his love and pride in Indonesia art and culture perpetually affect his thoughts and actions.
Putu’s visions and commitments are always involving certain aspects of live he cherishes the most, which is to love and live fully and passionately, and to bring forth his beloved Baliness culture into events of international level. To achieve these goals Putu Supadma Rudana resolves to launch numerous projects over the years to promote positive and creative cultural conservations, to develop and maintain Baliness arts and culture as a significant part of the diversity and richness of the arts and culture in every other areas of Indonesia. Such activities include painting exhibitions and local or international cultural events. Putu, realizing that globalization must be addressed critically and intellectually, personally initiated the creation of a central for his causes that he named Supadma Rudana Center (SRC).

A non-profit institution since its estabilshment, SRC seeks to participate in develoving ideas based on thinking outside the box. Putu likes to encourage his team of young people to constantly think ahead to be able to create something for the common progress, all the while promoting awareness in how important it is to always respect the nation’s diversity as well as to encourage tolerance and solidarity amongst the people. Putu Rudana truly believes in the spirit of the diversity both in terms of behaviours or the social layers of Indonesia society. He thinks it is exceptionally important to erect social justice as the basis of the growing strength of the nation’s unity. SRC through its creative visionary aspires to be a centre of excellence, where any dynamic individual can get a chance to develop interests and talents towards the formation of Indonesia’s human resource excellence. Now, in addition to being chairman of the Central Executive Board (Dewan Pimpinan Pusat) Democratic Party of the Ministery of Culture and Tourism from 2010 to 2015, Putu Supadma Rudana is also appointed as one of the chairmans of AMI (Associations of Indonesian Museum), a duty for the nation that he feels most fulfilling and meaningful. Hobbies and interests in sports is golfing, while the 37-year-old man also owns a cultural interest in international travel, music and films, and an art interest in collecting fine arts paintings and antiques.

The values that his family and home-life have instilled in him are what putu believes to have built his personality. “everything my parents and my artistic environment have applied in my early life, has made an impact in me so much so that i can understand life’s meanings like i do now.” With his Baliness serene-looking features, Putu shares his opinions to HighEnd.” Culture is actually the most crucial part in encouraging humans to reach higher values, to process wisdom and to advocate nature-based learning.” With serious voice he adds, “The process from nature into an adolescent then into a grown man.” For Putu, a cultural process is one that any human has to undertake. At first instinctively, then gradually be based on one’s logic and ideas, before it is finally be in sync with one’s conscience.

As his whole life circles around museums, including his own family’s Rudana Museum, Putu shares his insight, “Whenever we go to a museum to watch and witness the magnificent creations of our predecessors, we’re actually not just learning about things seen with our eyes: be it their great artistic techniques, or their wonderful display of aesthetics,” he smiles. “We can also, and most importantly, learn about the spiritual content within each artwork, which makes the creation priceless and greatly inspiring to enrich our life and make it better.

Culture should be the much-needed push for this nation’s people, to not only appreciate properly the creations of traditional maestros, but as well as the modern-cotemporary artists’. The very values embedded in such artworks are truly significant as our base in building a national character. “As a matter of fact, in recent years, while our country is going trough so much changes caused by the fast-paced technology process, our old values tend to be doubted, taken as passe and no longer suitable for today’s mindset,” Putu claims. “Such profound values should instead be looked up to as something to touch and affect our day-to-day living.”

As an example, according to Putu Rudana, is an Indonesian person’s tendency to be easily self-conscious and embarrassed. In Putu’s opinion this actually show our modesty, as our ancestor used to teach us to hold back and never to be arrogant despite our achievements. Putu believes that if such character culture is embraced, this would prevent our countrymen’s negative traits. “I am positive this will take away our country’s worst stigmas, like corruption, collusion and nepotism.”

Putu continues, “ I am convinced that a character of quality can only be achieved through our efforts to maintain a just and fair nature. We should always be ready to sincerely congratulate other people for their achievements and winnings, and have a big enough heart to accept our losses or failures.” Taking everything as a part of internalization to further reach maturity, the man articulately insists on how he believes, in politics especially, that if there’s no touches of beauty involved it will only create mischief and malice, instead of achieving glory in togetherness.
“ MY SENSES ARE TRAINED TO UNDERSTAND THAT, BEHIND AN ATTRACTIVE PAINTING COMPOSITION, BEHIND IT FACADE OF BEAUTY AND AESTHETICS, THERE IS SOMETHING MORE PROFOUND”

By: Putri Minangsari
Sumber : HighEnd edisi Januari 2012 (www.highendmagz.com)

Mr. PUTU SUPADMA RUDANA EMBODIMENT of SINCERE DEVOTION

The Five Elements
FIRE “Have a strong passion like fire to achieve a fulfilling life”
WOOD “Be as multifungtional as wood, and thereby grown as an individual”
WIND “Be as invisible as wind and overcome any obstancles”
EARTH “Be as rich earth and let most beautiful things grow from you”
WATER “Be as flexible as water and become one with fate”

Wearing a crisp batik shirt with dark pants, sitting casually a coffee shop at Plaza Indonesia. Putu dons a welcoming and warm smile. His eyes display a deep contentment, as though he has not a hint of burdens or problems. Perhaps it is his beliefs and way of life that give him this calm disposure automatically drawing people in.

Born in denpasar on April 23rd, 1974, this talk dark skinned man runs the renowned The Rudana, is an author of two admirable books and an active politician. “ I do not work” he says with a smile. “everything i do is an act of sincere devotion and is in utmost alignment with my passion.” Putu has been surrounded by art since he was born and was always in love with it. “I feel extremely fortunate to have been born in Bali, a place so rich in heritage and culture; and most importantly, spirituality.”

Putu, who exercises regularly and enjoys golf, believes that the purpose in life is to continuously grow as a person, learn and become better on the inside. Art is a vehicle for this spiritual journey, and so it must be preserved and treasured.

His museum, The Rudana is located in a vast estate in Ubud. Overlooking beautiful rice paddy fields. Founded by his parents. Nyoman Rudana and Ni Wayan Olasthini, the museum was officiated by the then President Soeharto in 1995. It comprises of three units, namely the art gallery, the museum and the art foundation. “My father establised the museum to preserve and promote local art. For his devotion, he has won both local and international awards.” Putu exclaims proudly. The Rudana has been visited by many of the world’s most famous political figures including presidents, first wives and even royalty.

After returning from his studies in St. Louis US – he took his Bachelors’s in management and information System and double masters in Business Administration and Finance – Putu was entrusted to be the President of the Rudana.
“Having been exposed to the western culture, i was adamant to implement fresh ideas. I began to integrate activities of non fine art, but still within the realm of art, into the museum through events and exhibitions. In 2010 we organized a series of exhibitions that integrated exhibitions of paintings, drawing cartoons, jazz performances with famous musicians such as Dwiki Dharmawan and international jazz musician Toninho Horta called Panca Tan Mantra.

A synergy of yoga festival at the Museum Rudana called Angkus Prana and other art activities were organized a big art event called Bali Inspires incorporating art and cultural activities such as literature, art performances by seasoned dancers for the launch of his breathtaking book Bali Inspires.”

Bali inspires is a hardcover book on the best of Indonesia’s art. Distributed globally, it features Joop Ave as the editorial advisior. Flipping through the pages, readers will be delighted with the colorful images and many words of wisdom contained therein.

“ I would like to see Indonesia’s art to have more of a global context.” Putu explain.’ The benefits of this are multifold. Not only will we receive more appreciation, but it could also improve bilateral relationship.”

Another book that Putu has written is entitled Menuju Visi Sempurna, or translated means “moving towards perfections.” It is a book that provides enlightement and is more spiritual than anything else.

“ I believe that there are three concepts we must aspire to in order to reach the elusive perfection.” First it is Positive Character, contribute the best we can to our self and then to others. This is materialized from our day to day activities.” Secondly, it is becoming a True Democrat, it means that as an individual we become a component of our society and state and have some obligations to fulfill to this society. “The Essence of becoming a true democrat is when we, as a member of society, contribute positively to the diverse and heterogeneous society regardless of our racial, religious and political affiliation and background.”

Finally, it is the concept of the Peaceful Archipelago. According to Putu, this should be the guiding principle in the context of global and international arena. “As a citizen of the word, we at the Rudana strive to contribute to world peace with our devotion in art and culture.”

It is clear that Putu is wiser beyond his years. As seen in these pages, putu uses the symbols of Fire, Wind, Water, Earth, and Wood to showcase his character. “Fire to symbolize passion and strenght to overcome whatever life throws at is; Wind as invincibility and being able to go anywhere, water as flexibility, earth as strenght and Wood as being of multiple uses.”

His beliefs are manifested in all his activities, no matter how small. Happily married for ten years he jokes “My relatives who are teenagers, however, sometimes laugh when i try to share my words of wisdom. They say it is too heavy.”

Well, it certainly was not too heavy for us. It was pleasant and inspiring listening to Putu, who truly is the embodiment of sincere devotion.

Sumber : Registry Indonesia, Edisi Januari 2012 (www.registryindonesia.com)
Photography by : The Looop Indonesia
Jl. Jend.Sudirman Kav.52-53,Lot.14, SCBD (Bengkel Cafe Area),
Jakarta 12910.P. +62 21 7006 8388
Stylist by : HK

Putu Supadma Rudana : Seni Bisnis Bisnis Seni

The art of business in business of art (seni berbisnis dalm bisnis seni). Itulah salah satu moto yang dijalankan Putu Supadma Rudana dalam menjalankan The Rudana. Tak semua orang paham cara-cara berbisnis dalam jagat kesenian.

PUTU Supadma Rudana tak bisa menganggap bisnis di dunia kesenian semata-mata sebagai transaksi jual beli. Baginya, seni “berdagang” benda-benda kesenian adalah ketika dia bisa memberikan nilai pada sebuah karya. Dan, nilai itu tak selalu terikat dalam dentuk rupiah saja.

“Bisnis di sini punya makna ketulusan. Ada saling memberi dan menerima, ada pengorbanan, “ kata Putu. Dia diwawancarai di kompleks Museum Rudana & Rudana Fine Art Gallery di Ubud, Bali, Selasa (17/1).
Sang pencipta karya seni, kata Putu, harus rela berkorban kehilangan karya. Sedangkan kolektor juga harus rela mendapatkan karya itu. namun, masing-masing juga harus rela mendapatkan penggantian kehilangan itu. Kolektor mendapat karya seni, sedangkan sang seniman mendapatkan nilai tukarnya.

“Itulah yang saya maksud sebagai seni berbisnis seni dan menjadikan bisnis itu sebagai seni tersendiri, “ ungkap sulung empat bersaudara tersebut. Putu harus hadir sebagai jembatan antara seniman dan end user.
Putu memang mengaku tak bisa dilepaskan dari seni. Dia tumbuh dan besar di lingkungan yang hampir seluruhnya nyeni. Ayahnya, Nyoman Rudana, merintis galeri lukisan sejak 1974 atau seumur dengan Putu sendiri. Galeri itu lantas tumbuh dan beranak-pinak.

Ia menjadi Museum Rudana yang menampung sekitar 500 karya seniman papan atas yang terpilih. Mulai dari I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978), Srihadi Soedarsono, Dullah, Basoeki Abdulah, Affandi, hingga seniman-seniman anonim yang berkarya di penghujung abad ke-19. Rasanya, hampir seluruh mazhab lukisan tertampung di museum yang terletak di lahan asri berpagar petak-petak sawah nan hijau tersebut.

Rudana Fine Art Gallery pun memajang tak kurang dari 10 ribu karya. Kalau karya di galeri masih bisa dikoleksi orang lain, yang di museum tidak. Karya di Museum Rudana memang disimpan agar menjadi abadi sebagai bentuk cinta keluarga Rudana kepada jagat seni. Selain museum dan galeri, The Rudana melingkupi yayasan seni (Rudana Art Foundation), Genta Fine Art Gallery, Candi Fine Art Gallery, serta Pusat Penelitian, Pengkajian dan Dokumentasi Budaya Destar.

Memang Putu akhirnya terbang ke Paman Sam untuk menuntut ilmu yang sama sekali tidak nyeni. Yakni, manajemen dan bisnis. Tapi, ilmu itu pula yang dia pakai untuk membesarkan The Rudana. Putu memang itu menjalankan roda The Rudana selepas kuliah. Tanggungjawabnya kian besar saat Nyoman Rudana, ayahnya, terpilih sebagai anggota DPD, mewakili Bali di MPR pada 2004-2009.

Di tangan keluarga Rudana, museum dan galeri seni itu punya gaung yang sangat besar. Tak cuma kolektor dalam dan luar negeri yang berdatangan. Sejumlah pemimpin negara tercatat pernah mengunjungi kompleks seni tersebut. Sebut saja mantan Presiden Soeharto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden Tiongkok Jiang Zemin, PM Tiongkok Zhu Rongji, mantan Presiden AS Jimmy Carter, dan masih banyak lagi. Apresiasi teranyar datang dari para ibu negara peserta KTT ASEAN pada November 2011. Sepuluh ibu negara plus istri Sekjen PBB Ban Ki Moon bersantap siang di areal museum dan galeri. “ Ya, di sini ini. Di meja ini, “ kata Putu. Ketika itu, wawancara dilakukan di pendapa etnik di bagian belakang area museum. Tempat itu sejuk dan dikelilingi pepohonan. Angin mempermainkan batang-batang padi yang hijau di sisi selatannya. “Sussounded by nature. Kami ingin, yang datang ke sini, belum bicara pun sudah tersentuh, “.

Meski punya passion begitu besar di bidang seni, Putu tak menutup mata pada bidang bisnis lain. Dia, misalnya, punya lima SPBU di bawah bendera GRP Investement Enterprise. Bisnis itu dimulai dari nol. Dari Putu yang buta sama sekali di bidang jual beli minyak. Di dalam bisnis itu pun Putu tak hanya jual beli. Tetapi ada edukasi dan penambahan nilai-nilai dalam berdagang. Dia adalah salah satu yang pertama menerapkan pakaian tradisional saat hari-hari tertentu di SPBU-nya. Misalnya pada perayaan Purnama Tilem Bali. “ Akhirnya menjadi inspirasi. Banyak SPBU hingga bank yang juga menerapkan kebijakan serupa,” kata Putu.

Memang inspirasi itulah salah satu tujuan hidup Putu. Dia ingin segala yang dilakukannya bisa menggerakkan orang untuk berbuat yang lebih baik. Menuju visi sempurna, katanya. Itu klop dengan judul buku pertamanya yang terbit pada 2009, Menuju Visi Sempurna. Buku itu disusul dengan The Journey of The Soul dan Bali Inspiring yang terbit pada 2011. (c2/dos)

Orang Tua Tetap Jago

Di tangan Putu Supadma Rudana, The Rudana tumbuh begitu pesat. Menggurita. Dari yang awalnya hanya komunitas lukis para seniman pada era 1970-an, The Rudana bisa menjadi holding (pemangku) anak-anak perusahaan yang bergerak di berbagai lini bisnis. Meski begitu, Putu Supadma Rudana tak mau menepuk dada. Di tetap merasa lebih kecil ketimbang Nyoman Rudana dan Ni Wayan Olasthini, orang tuanya, parafounder The Rudana.

“Saya tak akan pernah bisa melampaui mereka, “ kata Putu. Penggemar golft itu menyatakan, orang tuanya bisa melakukan banyak hal yang tak mampu dikerjakannya. “Mereka bisa melahirkan saya. Saya tidak, “ ujarnya, lantas tersenyum.

Sekembali dari kuliah di Amerika Serikat, Putu memang langsung diterjunkan untuk menangani bisnis seni The Rudana. Meski demikian, dia mengatakan, proses itu tak berlangsung formal. Tak ada serah terima jabatan, tak ada prosesi penyerahan tongkat estafet, juga tak ada penunjukkan formal dari orang tuanya. “Mengalir saja. Tidak ada pergantian resmi. Yang ada sinergitas kepemimpinan, “ ungkap pria 37 tahun tersebut.

Yang paling berat dalam melanjutkan usaha rintisan orang tua itu, kata Putu, adalah kebebasan yang diberikan orang tuanya. “Susah kan? Saya harus meneruskan sesuatu yang sudah hebat. Sementara orang tua membebaskan saya. Itu lebih membingungkan, “ ujar Putu. Hanya satu yang dia jadikan patokan, yakni pesan untuk mencurahkan semuanya, cinta dan ketulusan untuk seni, masyarakat dan kesejahteraan banyak pihak.
Karena itu, Putu berupaya membentuk perusahaan sebagai rumah bagi kurang lebih 300 karyawannya. Tempat berbagi, saling bertukar pengalalman, unjuk gagasan, dan penguatan nilai-nilai kehidupan.
Tak urung, Putu juga memaksimalkan ilmu yang didapatnya dari bangku kuliah untuk pelaksanaan menajerial perusahaan. Dia melakukan rekonstruksi hingga evaluasi branding. “ Saya ingin The Rudana bukan hanya mewakili orang per orang, mewakili keluarga Rudana, tapi The Rudana adalah wujud gagasan untuk memuliakan ketulusan kepada berbagai pihak, “ kata Putu. (c6/dos)

Bukan Syahwat Berkuasa
Muda, sukses, berwawasan luas, punya koneksi melimpah. Rasanya ada yang kurang memang kalau Putu Supadama Rudana tak mennceburkan diri ke kancah politik praktis. Walaupun sebagian khalayak menilai, jagat politik tak pas bagi Rudana yang mengagungkan ketulusan dan mengesampingkan syahwat kekuasaan, materi, ego, serta kepentingan.

“Itu karena ada pemaknaan politik praktis secara sempit, “ kata Putu Rudana. Bagi master of business administration (MBA) keluaran Negeri Paman Sam tersebut, politik berarti cara-cara untuk meraih tujuan atau mewujudkan gagasan. Nah, karena itu, dia harus masuk ke ranah politik untuk bisa memuluskan gagasannya, yakni mencintai, menjiwai dan menggaungkan ketulusan.

Karena itu, Putu mau tak mau harus ikut kendaraan politik, yakni partai. Dia memilih Demokrat, partai yang dianggapnya paling pas untuk menyebarkan gagasan tersebut. Pada 2009, Putu juga mencalonkan diri sebagai wakil rakyat ke Senayan. Tetapi, perolehan suaranya tak cukup. Dia gagal. “Itu kata orang. Saya sendiri tak merasa itu sebagai kegagalan. Itu adalah proses pembelajaran yang sangat indah kalau kita syukuri, “ ucap Putu. Katanya, life in about taking risk. (c6/dos)

Sumber : Jawa Post
Edisi Kamis 19 Januari 2012