Year: 2009

Pidato Dalam Acara The Launch of Indonesian Tatler Home

St. Regis, Nusa Dua, Bali, 15 Desember 2009
Sungguh adalah sebuah kehormatan bagi saya bisa hadir dan berada di tengah Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, Saudara-Saudara serta undangan, dalam acara penuh arti, The Launch of Indonesian Tatler, yang oleh panitia, seperti tertera dalam undangan, diniatkan sebagai Another Day in Paradise.

Ya, malam ini, dalam suasana penuh kebersamaan, kita akan turut merayakan serta ikut memaknai Peluncuran Majalah Indonesian Tatler yang menyajikan aneka bahasan khusus di seputar desain interior, tata artistik ruang, beserta hal-hal unik lain yang menyertainya.

Di dalam kebersamaan ini, telah hadir di tengah kita Bapak Joop Ave, yang pandangannya tentang kebudayaan selalu menarik serta penuh visi nan cemerlang.

Oh ya, ada pula Bapak Made Wianta, maestro lukis kita yang terus energik dan kreatif, yang selalu menyajikan karya-karya penuh inspiratif.

Dan sahabat saya, Popo Danes, seorang arsitek tersohor dengan karya-karyanya yang memikat dan tetap memiliki filosofis akar kultur Balinya.

Bapak Alvin Tjitrowirjo, seorang kreator, seorang desainer furniture yang namanya begitu familiar karena prestasi-prestasinya internasionalnya yang layak kita kagumi.

Tak ketinggalan, Bapak Nyoman Rudana, seorang senator yang dedikasi dan kecintaannya terhadap kebudayaan di Bali, dan juga kebudayaan-kebudayaan di Tanah Air, sungguh besar dan terpujikan.

Bapak-bapak, Ibu-Ibu dan Hadirin, kebersamaan kita malam ini menjadi penuh arti karena membuka kesempatan kepada kita, tanpa terkecuali, untuk membangun suatu sinergi yang memungkinkan terciptanya kerjasama semua pihak untuk menggagas dan membangun masa depan yang lebih baik.

Kehadiran Majalah Indonesia Tatler Home, patut kita rayakan dan kita sambut dengan gembira. Kita menyadari bersama bahwa peran media massa, apapun bentuk serta bidang liputannya, adalah sangat strategis. Kehadiran Majalah ini menjadi lebih berarti lagi mengingat upaya negeri ini untuk mendorong tumbuhnya suatu ekonomi kreatif di segala bidang.

Semangat untuk melakukan sinergi memang bagian yang tak terhindarkan dari kebersamaan kita di era global sekarang ini. Kita memahami pentingnya sinergi strategis dalam upaya mengembangkan suatu pariwisata berkelanjutan, sinergi antara pihak-pihak terkait semisal hotel, penyelenggara tur, maskapai, pemerintah, asosiasi-asosiasi wisata, museum atau lembaga budaya lainnya, serta tak ketinggalan para pemerhati pariwisata dan pelaku budaya, guna menciptakan peluang-peluang unggul serta kerjasama saling menguntungkan. Dalam sinergi yang bersifat strategis inilah, kehadiran majalah seperti Indonesian Tatler Home tak dapat diabaikan dan tak mungkin ditinggalkan.

Bapak-Bapak, Ibu-Ibu serta Hadirin, media massa bukan hanya sarana publikasi dan promosi, melainkan juga dapat mendorong tumbuhnya saling pengertian dan saling memahami dari semua pihak, dari semua komponen pendukung pariwisata budaya, demi tercapainya apa yang kita harapkan bersama. Apalagi kita akan menyongsong Visit Museum Year 2010, Tahun Kunjungan Museum 2010, di mana kesuksesannya tergantung juga pada keberhasilan kita dalam mengupayakan terciptanya suatu sinergi strategis sebagaimana telah saya singgung sebelumnya.

Bapak-Bapak, Ibu-Ibu serta Hadirin, sinergi yang bersifat strategis ini saya kira dapat menjadi titik pijak kita untuk melakukan Sinergi Seni Membangun Bangsa, yakni suatu upaya sinergi dengan menyadari betapa besarnya kekayaan dan keadiluhungan budaya yang diwariskan para leluhur kita. Benda-benda budaya hasil cipta, karsa dan karya para leluhur kita itu bukan hanya indah dan unik untuk mata, tetapi juga di dalamnya menangndung spirit dan nilai-nilai luhur bersifat universal untuk jiwa atau batin kita. Dalam upaya menumbuhkan apresiasi sekaligus persepsi masyarakat terhadap kekayaan yang luar biasa tersebut, sekali lagi, peran media massa seperti Majalah Indonesian Tatler Home ini layak untuk dikedepankan.

Bapak-Bapak, Ibu-Ibu serta Hadirin, sekali lagi, saya merasa memperoleh kehormatan bisa hadir dalam acara ini. Kehangatan pertemuan dan kebersamaan kita ini adalah sebuah awal sinergi. Siapa tahu, dengan demikian terbuka peluang kita untuk bersama-sama membangun Tanah Air yang kita cintai agar menjadi bangsa yang lebih sejahtera dan bermartabat. Melalui kebersamaan, kita dapat mempelajari keagungan masa silam seraya menggagas kemungkinan masa depan tanpa lalai atau abai pada upaya membangun kekinian secara lebih kreatif dan inovatif.

Selamat untuk Indonesian Tatler Home, dan selamat bersinergi untuk kita!

Pidato Dalam Acara The Art Presentation and The Wedding

Intercontinental Hotel, 14 November 2009
Om Swastyastu,
Salam budaya dan selamat malam
Good Evening Distinguished Guests, Ladies and Gentlements,

Welcome and thank you for joining us tonight to celebrate the art presentation and the wedding.

Yang saya hormati, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Bapak Irman Gusman, beserta Ibu

Yang saya hormati, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Bapak Jero Wacik, beserta Ibu

Yang saya hormati, Gubernur Bali, Bapak Made Mangku Pastika beserta Ibu,

Yang saya hormati, Pangdam IX Udayana, Bapak Hotmangaraja Pandjaitan beserta Ibu

Yang kami muliakan, Para Konsul dan Perwakilan Negara Sahabat

Yang saya cintai dan banggakan Bapak Srihadi Soedarsono dan Ibu Farida Srihadi

Yang terhormat, Ibu Danti Rukmana

Dan ijinkanlah pula saya menyapa para undangan mancanegara,

Pada kesempatan penuh arti ini, saya juga ingi

Please allow me to express our warm welcome, to overseas guests:

Mr. Nahappan and Family, from Singapore

Mr. Mario Chierichini from Rome, Italy

dr. Jonathan Hartley and Naudau Hartley,

Mr and Mrs Gabriel, from Hongkong

Once again, thank you and truly a great honor for us to have all of you here in Bali, for joining this lovely moment.

Also, I would like to thanks Mr. Kamal Chaoui, GM InterContinental Bali Resort, with the whole team and the family

Yang saya banggakan pula, Editor Indonesian Tatler atas sinergi dan kerjasamanya

Para Maestro Seni, Bapak Gunarsa, Bapak Wianta serta para Seniman, Hadirin dan tamu undangan yang saya hormati pula.

n mengucapkan salam budaya dan selamat malam kepada: Yang saya cintai, Bapak Nyoman Rudana beserta Ibu.

Khususnya kepada mempelai berdua, adinda yang berbahagia, Kristina Rudana dan Wibowo Leksono

Atas nama keluarga, saya mengucapkan terimakasih atas perkenan hadirin untuk meluangkan waktu di tengah berbagai kesibukan masing-masing.

Di malam yang penuh cinta ini, kita akan bersama-sama memaknai suatu Pagelaran Seni Budaya di mana di dalamnya terangkai pula sebagai puncak acara yakni resepsi pernikahan dari adinda Kristina Rudana, yang dipersunting oleh Wibowo Leksono.

Hadirin yang berbahagia,

Rangkaian kegiatan ini bukan hanya menghadirkan suatu wedding ceremony atau suatu resepsi pernikahan saja, akan tetapi juga selama tiga hari berturut-turut, mulai tanggal 13 hingga 15 November 2009, ditampilkan aneka peristiwa seni terpilih, dari mulai tarian-tarian klasik hingga modern, pameran seni rupa, performing art, pembacaan puisi, serta tidak ketinggalan pertunjukan musikal sehingga The Art Presentation and The Wedding ini dapat disebut sebagai Total Art Presentation.

Hadirin yang terhormat,

The Art Presentation and The Wedding ini adalah sebentuk dedikasi dan apresiasi saya guna menyongsong Visit Museum Year 2010 di mana kita dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam menciptakan berbagai event seni budaya yang memikat serta penuh manfaat.

Saya pribadi merasa berbahagia memperoleh kesempatan untuk menggagas dan mewujudkan berbagai event seni budaya baru, sejalan dengan tugas saya sebagai salah satu Ketua Nasional dari Asosiasi Museum Indonesia (AMI) yang tengah memperjuangkan Museum sebagai center of excellent, penghormatan untuk masa lalu, masa kini dan pengharapan masa depan.

In other word, many aspects of life….. divide
and of course art and culture ……unite.

Distinguished guest, ladies and gentlement,

To express my dedication of love to art & culture and of course to bride and groom, let me read one poem from Kahlil Gibran about the meaning of togetherness and love.

Apabila hatimu memanggilmu, ikuti, ikutilah, walau jalannya berliku.
Dan bila sayap lembutnya menerbangkanmu, pasrahlah, berserah dirilah.

Demikianlah, cerminan dua hati yang bertemu dan menyatu di Pulau Dewata ini. Ketulusan, Kebersamaan dan Kasih Sayang tersebut tercermin di dalam karya-karya maestro dan para seniman kita seperti Bapak Srihadi Soedarsono, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Nyoman Erawan, Wayan Darmika, Made Djirna, Ida Bagus Indra dan seniman-seniman besar Indonesia lainnya. Mereka mengharumkan nama bangsa dan negara, serta menggaungkan jiwa bangsa melalui maha karya seni yang diciptakan dengan getaran jiwa.

Di samping itu pula, malam ini kita telah menyaksikan Tari Joged dengan 6 penari, melambangkan Enam bentuk godaan kehidupan (Sad Ripu) yang harus kita lampaui.

Tari Puspa Mekar, oleh sembilan penari, yang mencerminkan delapan arah kehidupan dan satu pusat keharmonian, antara buana agung dan buana alit, antara pencipta dengan manusia, antara alam beserta isinya.

Kita juga akan menyaksikan sebuah tarian penuh makna cinta, yang juga terekspresikan dalam mahakarya seorang maestro, Srihadi Soedarsono, yaitu Tari Oleg Tamulilingan.

And it is reflected by a synergy that is formed by Museum Rudana, InterContinental Bali Resort, and Indonesia Tatler to always committed in supporting art and culture.

Pertemuan, perpaduan, dan sinergi seni budaya ini dapatlah kita maknai sebagai upaya mewujudkan keharmonian atau Mandara Giri.

Hadirin dan para undangan yang berbahagia,

Dengan demikian, acara ini dapat dimaknai sebagai Peristiwa dan Persembahan Seni-Budaya, yang terangkai dalam paduan kebersamaan, berlandaskan kearifan ajaran para leluhur, pada suatu filosofi suci Kitab Weda,

The problem of the world is the problem of man. What man is? What he is conscious of? The consciousness is confined by Knowledge and Experience. Whenever knowledge transcends the experience, it is resulting the inner conflict and the inner conflict reflected out. Now, how could we make the knowledge and experience to be in a state of equilibrium? It is truly Mahardika.

Or in one simple word, in one simple word, it is Love, only Love, and Love.

May God Bless Us All

Terimakasih.

Putu Supadma Rudana : Nonverbal ke Masa Depan

Di usia 34 tahun, Putu Supadma Rudana sudah berinteraksi dengan seniman – seniman sekaliber master, juga dengan Presiden R.I. Jalan apa yang telah ia lewati untuk berada di titiknya sekarang ini?

Jalan Raya Ubud, Sabtu pagi, matahari cerah menembus daun-daun di pepohonan lebat, musik tradisional Bali merayap di sepanjang jalan, mengikuti orang-orang berpakaian adat putih dan gadis-gadis berkebaya, kendaraan di seisi jalanan terhenti, mengalah pada upacara adat pagi. Galeri-galeri kecil bersisian mengapit jalan, mereka berjejalan dengan aneka lukisan yang meramaikan Ubud. Inilah kawasan seniman, lukisan-lukisan begitu meresap sampai ke tepi-tepi jalan.

Tak jauh dari kemacetan, bergeser ke arah selatan, di tepian hamparan sawah hijau, suasana sangat berbeda, di sini (kawasan Peliatan) ketenangan seperti menyapu alam. Di dalam keheningan, pergesekan angin dan daun kelapa bisa jelas terdengar. Tiupan angin bisa turun ke bawah ke anak-anak tangga menuju pintu masuk sebuah bangunan besar yang menyimpan lukisan-lukisan agung karya pelukis handal Indonesia. Gedung ini berwarna abu-abu batu dan aksen warna tanah oranye yang khas Bali, inilah Museum Rudana yang sohor, museum yang menyimpan karya-karya kelas master.

Sebelum masuk seorang anak muda telah menunggu ramah, namanya Putu Supadma Rudana (34), orangnya sangat sederhana, tinggi dan ramping, berkulit gelap, murah tersenyum, bahasa tubuhnya santai dan pandangan mata yang damai. Semua yang ada dalam dirinya ini tergolong biasa saja, tapi ternyata elemen ‘biasa saja’ inilah yang membuatnya jadi powerful. Ia mampu menyandingkan karya delapan orang pelukis kaliber master di Indonesia dalam satu ruangan, siapa yang pernah melakukan? Belum ada. Semua seniman punya ego dan sensitivitas tinggi. Siapa yang sanggup menggandeng Srihadi Soedarsono, Made Budhiana dan Nyoman Erawan di satu dinding? Siapa yang kuat mempertemukan Made Wianta, Sunaryo dan Nyoman Gunarsa, untuk saling bersisian? Dan Putu sudah melakukannya. Bagaimana?

Dalam seni kelas unggul, tentu uang bukan alat untuk memersatukan segalanya. Karena kalau iya, tentu persandingan delapan pelukis master sudah lama ada. Berarti ada hal lain yang diperlukan. Coba lihat apa yang telah dilakukan Putu, ia menggunakan unsur yang paling dasar, kerendahan hati serta impian yang tinggi. Menurut Putu, berbicara dengan seniman itu tidak bisa mengandalkan bahasa verbal, kita harus menggunakan hati, cermat membaca sinyal-sinyal nonverbal, dan ini memerlukan kerendahan hati yang sabar.

Impian yang setinggi langit juga diperlukan, para seniman adalah para pemimpi, dan Putu mengimbangi mereka dengan impian pribadinya, ia percaya bahwa seni adalah aset besar untuk kemajuan Indonesia. Formula inilah yang ia pakai untuk mempertemukan para pelukis senior. Dalam prosesnya tentu ini disokong pula dengan kepandaian Putu dalam melobi dan bernegosiasi. Putu memiliki titel Bachelor of Science dari Maryville University, St. Louis, Amerika (1996). Juga titel Master of Business Administration dari Webster University of St. Louis, Amerika (1998).

Lalu bagaimana Putu tidak membabi buta untuk memasukkan setiap seniman dalam kelas master?

“Saya senang menilai karya seni, saya diberikan hal yang luar biasa, di samping mata saya dikaruniai hati dan jiwa, saya percaya bisa melihat karya seni mana yang bagus dan berpotensi. Mungkin karena saya dilahirkan dalam lingkungan seni, dari kecil sering bertemu dengan banyak seniman, Affandi sudah seperti kakek sendiri, dengan Nyoman Gunarsa ketika saya kecil, saya ikut-ikutan melukis di sampingnya. Pelukis-pelukis muda seperti Erawan dan Budhiana sudah seperti kakak sendiri, jadi dari awal secara alamiah memahami cara pikir dan pergaulan seniman. Saya kira saya punya indera keenam”.

Putu anak pertama dari empat bersaudara, ayahnya, Nyoman Rudana (tokoh yang sangat dekat dengan seniman) adalah pendiri Museum Rudana. Pergaulan Nyoman Rudana dengan seniman-seniman tentu mewarnai pertumbuhan Putu, termasuk kelihaiannya beredar di kalangan seniman seperti saat ini. Tidak hanya bergaul, Putu juga ikut berperan. Kini ia menjadi Ketua III Himpunan Museum Bali, dengan gebrakan nyata yang telah ia capai berupa penerbitan buku hardcover mewah berjudul Treasures of Bali, sebuah buku panduan tentang museum penting di Bali, dan telah didistribusikan secara internasional. Program bukunya ini tidak lenyap ditelan angin, ia memeroleh sambutan hangat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden menorehkan predikat Excellent kepada Putu, lewat tulis tangan langsung di atas cover buku yang diluncurkan. Tentu presiden tidak sembarang mengeluarkan statement, pasti telah ada perhitungan agar siapa saja bisa mencontoh apa yang telah dilakukan Putu.

Apa untungnya bergaul dengan seniman master ?

“Luar biasa. Yang saya dapatkan …, walau mereka diam dalam melukis dan berkarya, mereka sebenarnya berbahasa nonverbal, mereka berfilosofi. Kita kadang-kadang selalu berusaha mengucapkan sesuatu untuk menjelaskan banyak masalah, sementara seniman hanya menggores di kanvas, dan dengan kekuatan batin, mereka bisa menunjukan segalanya. Mereka jarang berkata tidak, tapi kita harus pandai memahami kapan mereka tidak setuju. Dalam hal ini saya belajar dari Bapak Joop Ave, dia guru saya untuk komunikasi, dia menekankan bahwa bahasa nonverbal ini harus dikuasai”.

Putu melangkah naik ke Museum Rudana, interior luas bersegi empat membuat semua lukisan yang tergantung bisa dilihat dari arah mana saja. Putu melangkah pelan menjelaskan satu per satu setiap lukisan yang dilewati di luar kepala. Tidak seperti museum atau galeri lain yang berpameran lalu selesai acara semua lukisan dikembalikan ke pelukisnya, Museum Rudana dan Rudana Fine Art Gallery yang dipimpin Putu melakukan sistem yang berbeda.

“Di sini kami investasikan dana untuk mengoleksi semua karya. Kami beli dulu semuanya, barulah berpameran. Setelah itu kami promosikan habis-habisan, ini memang tidak mudah, terutama untuk seniman-seniman kelas master, mereka akan menilai dulu tempat kelayakan karya mereka dipamerkan”.

Di awal kiprahnya di ladang seni ini, Putu kerap dihujani berbagai kritikan, menurutnya pujian malah jarang ada. “… tapi saya terus berbuat, tak mundur hanya karena kritikan, tujuan saya baik dan positif, saya ingin menunjukan bahwa Indonesia memiliki seniman-seniman terbaik yang luar biasa. Apa yang saya lakukan ini lengkap dengan konsekuensinya. Saya berbuat komplit dengan resikonya, tapi kalau kita sudah kenal tujuan kita, tentu kita bisa meminimalkan resikonya. Saya yakin, di masa depan nanti benefit yang timbul akan luar biasa berguna untuk bangsa Indonesia”, ujar Putu.

Kesibukan Putu bukan melulu di ladang seni, saat ini ia pun sibuk di ladang minyak dan gas bumi, ia menjabat Wakil Ketua Himpunan Pengusaha Minyak dan Gas Bumi Bali. Ia juga sibuk di ladang golf, Putu adalah Ketua III Persatuan Golf Indonesia Pengurus Daerah Bali. Dalam deretan kesibukan ini, Putu masih bekerja keras untuk persiapan membawa keliling dunia karya delapan seniman yang sudah ia tetapkan sebagai Modern Indonesian Masters. Putu Supadma Rudana tengah mempersiapkan World Tour untuk Srihadi Soedarsono, Nyoman Gunarsa, Nyoman Erawan, Made Budhiana, Sunaryo Sutono, Made Wianta, Made Djirna dan Wayan Darmika. Ia masih muda, tentu masih punya waktu untuk mengejar cita-cita mulia.

Soap Magazine
Edisi 03 Maret 2008
Teks : Syahmedi Dean, Foto : Yano Sumampow

MUSEUM RUDANA 13 YEARS ON

It was an impressive gathering indeed: Culture and Tourism Minister Jero Wacik and his earlier predecessor, Joop Ave (“the Father of Indonesian Tourism”), were there. So were former President Soeharto’s son-in-law and daughter, Miss Indonesia 2008 as well as Bali’s elite in the realm of art, including internationally-acclaimed painter Nyoman Gunarsa.

The occasion: the 13th anniversary of Musuem Rudana, a three-storey, 500sqm building built on 2.5 acres of land located in Peliatan village, Ubud, Bali, about 16km from Denpasar, in the Museum Rudana compound.

President Susilo B. Yudhoyono was slated to be present and put his signature on the plaque. He then decided that the event should take on a grander scale by holding it in Jakarta some time in December.

SBY would not be the first president to put his seal approval on Museum Rudana. 13 years ago no less than the late President Soeharto officially opened it (on 26 December 1995) as part of the commemoration of the 50th Indonesian Independence anniversary.

Museum Rudana is the brainchild of founder Nyoman Rudana, who started his business as an art dealer by setting up the Rudana Fine Art Gallery in his hometown Ubud, Bali, in 1978.

(Rudana, who is also a prominent politician, is also a successful businessman in his own right: he operates several gas stations and manages other businesses.)

Museum Rudana exhibits more than 400 pieces of the work of fine art and sculpture of various Indonesian artists. On the first and second floor one finds the works of modern Indonesian artists Affandi, Basuki Abdullah, Srihadi Soedarsono (he is famous for his series of Borobudur paintings) Nyoman Gunarsa, Made Wianta and others. The works of post-modern Indonesian artists Nyoman Erawan and Made Budhiana are also present.

Museum Rudana conducted several exhibitions overseas. In 1997 and 1998, it held exhibitions in Kuwait. In 2000 the museum held an expo in Rome, Italy, where Rudana received L’albero dell’umanita (The Tree of Humanity) Award from the Italian government.

One of the highlights of the anniversary was the “Trisakti” painting exhibition of three of Indonesia’s finest artists, Srihadi Soedarsono, Nyoman Gunarsa and Made Wianta. The three painters as well as Singaporean artist Kumari Nahappan are the recipients of the Ksatria Seni Award II presented on that same occasion, as well as Minister Wacik, Joop Ave, art patron Siti Hardiyati Rukmana and former Bali Governor Dewa Made Beratha.

“The three Indonesian maestros reflect Indonesia’s maginificent sense of artistry. Their works are equal to that of any world class artist,” says Putu Rudana, the son of Nyoman, who manages Museum Rudana. While the day saw the elderly Rudana and his musuem take center stage, it is likely that Putu, who will be running for the House next year, will take on a higher national profile in the near future. In the coming months he is set to unfurl before the president his grand plan “to synergize all elements of Indonesian art and culture in the framework of national development.” Stay tuned.

Text and by Taufik Darusman

Interview With Putu Rudana

He’s young, handsome and now exceedingly well known since his billboards and activities are all over the island and country. But what’s behind this stylish, modern, smiling presentation. NOW! Bali’s Alistair Speirs went to the quiet and peaceful, manicured grounds of Rudana Museum to meet the man himself. Here’s part of a wide ranging discussion on culture, politics, life, creativity, responsibility and the future of the world!

As we approach the Presidential elections how do you think democracy has help Bali?

Democracy is a process of inspiring people. At some point people will begin to understand that happiness is inside, that happiness is serving, and that democracy is not about sacrificing other people but sacrificing yourself.

If we see Bali in the perspective of culture, the palaces are always close the temples, and so everywhere people are equal through religion. Bali is part of Indonesia and our “Tatwam Asi” (I as you, you as me) philosophy can guide and inspire the both Indonesia and world.

Do you think Indonesia as a nation is heading in the right direction?

I have great respect for our founding fathers and what they have achieved for Indonesia:
• Sukarno (Indonesia’s first President) was a great leader who inspired the people.
• Suharto (the second president) I greatly admire for his politeness (santun) and his amazing ability to speak to the common people.
• SBY (the current President) this is a man who doesn’t just talk but actually does things
Yes we are absolutely going in the right direction, 2009 should be a year of consolidating our stability and only in 2014 should we begin to look for a greater vision for the future. One note of caution though is that the levels of education in Indonesia are not get high enough so people can only express what they actually see, and what they see is not always the correct version.

What about the tourism industry which is the backbone of the economy in Bali?

Tourism is really is the staple diet of Bali so I don’t want to criticize but I am sad when I see every tourists watching poor performances because everyone trying to keep prices down. The hotel rooms here should be much more expensive, it should be a privilege to visit this wonderful island. It does seem that tourism leaders are now all heading in the same direction which is good since tourism has infinite potential but based on the spirit of Nusantara, our archipelago nation, Bali should be united with the rest of Indonesia through the sea.

But is the tourism industry being well managed in Bali?

We in the Art and Culture Business are really dedicated to our industry, “Melalui Kecintaan kepada Jiwa Bangsa”, so we can always see areas that can be improved. For example we don’t need to ban billboards just insist they are beautiful! We should not just have the exterior of buildings looking architecturally Bali but the interiors as well can be carved and styled. Petrol stations can be Bali style as well—I have already started one—and so should the airport represent our culture, it should be an art gallery greeting guest on arrival. So yet it’s being well managed but its not focused enough on being spiritually Bali, Indonesia.

So we should concentrate even more on art and culture?

Absolutely! Every country has a soul which is reflected in the products it makes. Look at Germany with Mercedes, USA with Boeing, Japan with Sony and Korea with Samsung. We should also have products which reflect our soul, which is based on art and culture in addition to technology.

How can we achieve that?

First by seeing that tourism is a source of income, but that culture needs to be protected and funded to keep it pure and intact. These should be managed by separate ministries. Art and culture should be managed with love.

So you do recognize the importance of tourism as a foreign exchange earner?

Yes of course but we should concentrate on quality not quantity. When people come here they should “experience” Bali not just sightsee, they should join in the rice planting, understand the subak (irrigation system), and watch the padi (experiencing rice harvesting). There is great “Taksu” in this experience–added value to your life. Here you can really understand “Tri Hita Karana” the relationship between God, Man, and Nature. So there is so much more value we can give to tourists and so much more contribution we can expect from tourism.

And what is your vision for future?

Great nations understand the soul of their country. They cannot build the soul by copying from others, that’s just consumptive not creative. So we must understand our archipelago, use our rivers and oceans to their best potential. We must subsidize our farmers to ensure our roots in agriculture are preserved. And above all I have a dream that all sectors of our country; legislative, executive and corporate sectors will live art and culture. That’s why the program of the government to declare 2010 as “Visit Museum Year” to get people attention back to the richness of our own culture is a great starting point for Indonesia. (NOW)

A great vision. Many Thanks.

Sumber : Now! Bali Life on the Island edisi Agustus 2009
Text : Alistair Speirs

A Man With Spirit of Art

Fiori mendapatkan janji blind date dengan seorang pengusaha sukses asal Bali. Menurut kabar, ia adalah orang yang sangat terpandang dan aktif di dunia seni. Bagaimana jadinya kencan buta itu? Ikuti obrolan Fiori untuk mengenal lebih dalam Putu Supadma Rudana.

Perkenalan Fiori dengan Putu diawali dengan jabat tangan hangat dan saling bertukar kartu nama. Baru saja kami berkenalan, cerita mengalir deras dari bibirnya tentang kartu nama beliau yang sangat artsy dan saratpersonal touch. Ya, itulah Putu Rudana. Walaupun ia terhitung orang penting dan sibuk, keramahan dan kerendahan hatinya selalu bisa dirasakan bagi siapa saja yang menjadi lawan bicaranya.

The Subject of Change

Berbincang dengan Putu bagaikan membaca sebuah ensiklopedia seni yang mudah dipahami. Bukan karena ia sangat mengusasi seni saja, mengingat ia adalah seorang kolektor seni lukis, pemilik museum, dan gallery lukisan, namun karena ia selalu menyisipkan elemen seni di tiap pandangan dan pendapatnya. “Seni dan budaya adalah bahasa universal, bahasa global, bahasa cinta kasih. Berbicara dengan bahasa budaya akan mampu mengomunikasikan segala hal. Itulah sebabnya seni tidak dapat dipisahkan dari keberlangsungan hidup manusia,” urainya memberi penjelasan.

Terlahir dari keluarga yang sudah kental dilingkupi darah seni, memang membuat Putu sangat mendarah daging dengan dunia satu itu. Namun berkat racikannya, seni menjadi sebuah bisnis yang tak bisa dianggap sebelah mata keuntungannya. “Sinergi antara Museum Rudana dan Rudana Fine Art Gallery, layaknya sebuah badan dan jiwa. Keberlangsungan kedua hal tersebut menjadi nafas untuk Rudana Art Foundation, yayasan seni nonprofit. Memang ini tidak bisa dilihat hanya dari segi bisnis, namun bisnis juga tidak bisa ditinggalkan sepenuhnya,” terangnya lugas.

Luasnya ilmu yang dikuasai Putu, memang menjadikan ia seseorang yang cerdik dan berpikiran terbuka. Tidak puas hanya mengantungi ilmu seni dari lingkungan terdekatnya, Putu menekuni ilmu bisnis dan keuangan, yang memperkaya khazanahnya dalam mengelar usaha. Kini, ia tercatat tak hanya sebagai seseorang yang aktif di bidang seni, namun juga berpraktik di dunia investasi dan jasa.

The Art of Politic

Pembicaraan kami semakin berlanjut dan tercetuslah omongan tentang keterlibatan beliau di dunia politik. Seperti memahami rasa penasaran Fiori, Putu beralasan bijaksana tentang keputusannya itu. “Politik adalah tugas mulia. Jangan pernah membenci politik, karena semua hal yang dilakukan di dunia ini didasarkan atas politik, bahkan hewan pun berpolitik,”. Pria penyuka olahraga golf ini menjelaskan bahwa ia ingin menjadi aspirator bagi orang banyak dengan politik, bukan ingin mencari ketenaran atau keuntungan pribadi. “Saya ingin bisa menyentuh semua orang. Dengan berpolitik, saya bisa berada di tengah, menjadi jembatan penghubung antara rakyat dan petinggi negara,” tukasnya.

Sayangnya, niat baik Putu untuk menjadi penyalur aspirasi rakyat, tidak bisa terealisasi tahun ini. Ia kalah dalam pemilihan umum legislatif bulan April lalu, karena tidak mendapatkan jumlah suara yang cukup untuk terus melaju ke kursi dewan. “Kekalahan atau kemenangan adalah hikmah. Yang terpenting masyarakat telah menjatuhkan pilihan masing-masing. Seseorang yang gagal bukan berarti akan selamanya gagal. Bisa saja ini menjadi jalan terbaik yang dipilihkan Sang Hyang Widhi untuk saya. Buktinya, pascapileg ini, saya bukannya berhenti membangun bangsa, tapi terus beraktivitas positif, di antaranya mengikuti Munas Asosiasi Museum Indonesia (AMI) di Jambi pada 4 hingga 8 Mei lalu. Acara ini diikuti 250 museum, baik swasta dan negeri, dari seluruh Indonesia, termasuk Himpunan Museum Bali (Himusba) sebagai anggota AMI,” terangnya sumringah.

Lalu, apa sebenarnya relevansi berpolitik dengan seni? Putu dengan sigapnya menjelaskan bahwa politik bisa menjadi salah satu sarana untuk merealisasikan mimpi besarnya. ”Saya ingin mengangkat harkat dan martabat bangsa melalui aset yang dimiliki Indonesia. Apabila kita berpikir untuk membuat industri otomotif mewah, kita akan ketinggalan jauh. Tapi, bila kita berfokus di bidang budaya, sebenarnya kita sudah maju di depan. Tinggal pilar-pilarnya yang disatukan, sehingga kejayaan seni dan budaya Indonesia bisa tercapai,”jelas pria pelahap buku-buku seni, bisnis, dan golf ini.

The Man of Art

Melihat sendiri betapa banyaknya talenta dan kesibukan Putu, Fiori penasaran dengan sisi terdalam seorang Putu Rudana. ”Bila melepas semua ’pakaian’ yang menempel di diri saya selama ini, saya sebenarnya hanyalah seorang pribadi yang sangat mencintai seni. Saya adalah seorang yang sangat kaya, karena bangga bisa menjadi bagian dari kekayaan seni dan budaya. Saya tidak perlu mobil mewah atau barang-barang berharga mahal untuk merasa kaya,” tuturnya berfilosofis.

Penasaran dengan cara berpikirnya yang tulus dan tenang, ia mengaku sangat mengidolakan Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan, dalam pertemuan kami, berkali-kali Putu melontarkan nama SBY dalam bentukquote. ”Saya memang mengidolakan beliau dalam hal kepemimpinan. SBY di mata saya adalah sosok pemimpin yang berbudi luhur dan jujur,” pujinya tulus. ”Saya sangat tersentuh ketika ia memberi nilai ’excellence’ untuk buku panduan tentang museum di Bali bertajuk ”Treasure of Bali” yang saya buat. Tentu seorang sekelas SBY tidak akan mudah memberi nilai setinggi itu hanya dari satu sisi,” ceritanya riang.

Tak terasa obrolan kami harus berakhir karena pria lulusan Webster University of St. Louis, USA, ini, harus berlanjut ke aktivitas selanjutnya. Sebelum kami berpisah, ia meninggalkan kalimat yang melekat di pikiran saya hingga kencan singkat itu berakhir, ”Keterlibatan saya di dunia seni adalah sebuah pengabdian, tidak ada rasa lelah untuk menjalaninya. I’m willing work extra times. Saya mau dan akan bekerja dengan maksimal demi mencurahkan segalanya untuk seni dan budaya,”. What a man!

Sumber:
Fiori edisi Juni 2009
Teks:
Iera Sipahutar

Putu Supadma Rudana: Synergy to Perfection

Putu Supadma Rudana: SYNERGY TO PERFECTION

He is not a common Balinese. For those who consider art piece as part of their soul and not as representation of their lifestyle must know who this sporty young golfer really is. Just take an opportunity to nudge him discussing about the synergy of art and common aspects, then your perspective will open and get amazed by the value of art and piece that you owned.

 As a generation who grew up at the time Indonesia was experiencing tumble and jumble in political and economical condition, Putu Rudana seemed occupied an envisage through art to regain the glory of Indonesia. For him art is not only a medium to win balance in life, but also becoming part of life it self.

“There are two important points in art; invaluable inner satisfaction and from material point of view, the fact that art pieces are always sought after because of its increasing value. So, if you are an art collector, you have to understand the soul of what you collect, because if you do, then you will be able to value your collection. The result is, you will win the synergy that bring great impact to your life,” said the 3rd Chairman of the Association of Balinese Museums.

There is another reason why Putu Rudana found art as his personal passion. In his opinion each art pieces contained the element of love that consisted taste and its own vibrant. Art makes its admirer not to see everything solely on its surface but taking them directly to its core, which is its soul, its inner beauty. His commitment to art expressed by this luxurious automotives lover by managing several art galleries on Bali Island. Among other is Museum Rudana. Under his management, Museum Rudana bears the name as South East Asia’s Louvre. Its countless collection came from painters that attracted by the beauty of Indonesia from each art period; from Affandi to Made Wianta, from Walter Spies to Antonio Blanco. In fact the Museum itself may compare as giant vault of creation of Indonesian masters.

The invaluable collections that owned by Museum Rudana are intrinsically a historically inheritance, which becomes a source of information and educational media. These are all most important for the development and transformation of culture and civilization from one generation to the next. This museum is also intended for artists and people of interest in this area to gather. Here they can exchange experiences and ideas on their respective fields of interest.

His communication ability put him on the gate of wider opportunities that may not experienced by his fellow countrymen. He was able to be in touch with The Indonesian President, Susilo Bambang Yudhoyono, and presented him his idea through a book which titled “Treasures of Bali.” This seized Mr. President’s attention and honored him not only a famous nickname Mr. Excellence, but the President himself takes a great concern by involving in the second edition of the book by putting his words as introduction. In the real life, The President is not only Putu Rudana’s closest clique, the Tourism Minister Jero Wacik and his predecessor, Joop Ave, are whom Mr. Rudana absorbed their experiences and valuable inputs regarding on how to manage the potentials that Bali owned—but not known worldwide—that is art. From both of these prominent figures in Indonesia’s tourism, Putu Rudana has been granted sobriquet Mr. Synergy (from Mr. Joop Ave) and Mr Brilliant (from Mr Jero Wacik) as Putu Rudana successfully organized Joged art activity that synergized painting, dance, and exhibition to put Bali culture on the front line of Indonesia Government’s promotion Visit Indonesia 2008. However, as we try to confirm whether these great personages are his role model, he was suddenly silent and said, “Srihadi Soedarsono.” Solemnly and with a certain dramatic tone.

Srihadi Soedarsono is one of globally acknowledge maestros. Most of his strokes articulated deep magical figures of Borobudur, which represented only in two noir colors. Specially made for Putu Rudana, Srihadi Sudarsono created an astonishing landscape of Borobudur, daringly broke his own signature by stoking colorful image of Borobudur in full interpretation between dawn and dusk. This is the first painting that astonished Putu Rudana, not only based on its magical nuance, but also philosophical value inside it.

“Srihadi Soedarsono himself told me that he creates his masterpiece especially for me because this painting reflected my soul,” expressed the CEO of Grup Rudana and Putra Company. The soul that distinguishes Putu Rudana from other art investor.

Focusing on his business activities, Putu Rudana in his young age of 34 years old is able to control fives other crucial positions. The MBA granted of Webster University of St. Louis USA implemented his sense on art to each of his business network. His focus in the art business gives him greater challenges and more satisfaction. Fine art for him (especially in the form of painting) is extremely powerful.

“You can feel the soul of art created by the maestros. Such as the exhibition that I just have conceived, promoted and organized, Modern Indonesian Masters, with works from eigth artists—Srihadi Soedarsono, Sunaryo, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Nyoman Erawan, Made Djirna, Made Budhiana and Wayan Darmika. In art as in business you have to be able to understand and forecast the future. That’s art investment. I believe Indonesia has a great culture that I can promote,” said the CEO and Director of Finance of GRP Corporation.

“Because I love Bali, I cannot sacrifice one element of Tri Hita Karana, the synergy between human, nature, and the creator of nature. I valued the synergy on every life’s aspects, therefore I will work on my best to meet each of it, including in business, so that business will not only be environtmentally friendly but also financially benefitable,” said the husband of Putu Diah Chandra Dewi, SH. MKn.

This reflected his vision on Bali. He is aware that Bali owned countless potential, based on that he launched a tagline for Bali and Indonesia which is: “Bali the heart of Indonesia, Bali the heart of Asia, Bali the heart of the world.” The political label considered not as common for Putu Rudana, he put it in first priority as his reflection to built Bali and Indonesia to be considered again internationally.

“My father is a Senator. I am proud to be his son because I can see the contribution he makes on behalf of the Baliness people in helping to fulfill their aspirations. For a long time, I have dreamt that Indonesian leaders will grow to have a love and understanding of art and culture, because I believe this is where the strength of Indonesia truly lives. I also believe that bringing an appreciation of art into politics will make us more peaceful and responsive to the needs of the community,” quoted him.

For Registry Indonesia, Putu Rudana has transformed to a complex individual that is not only multi talented but also occupy positive esteem that is not easily founded in the core all business man’s, politician’s or artist’s soul.

“I am just a visionary art investor, art collector and art lover,” said Putu Rudana answering our last question regarding who Putu Rudana according to Putu Rudana himself.

Sumber : Registry, Volume 2 Number 3, May 2008

The Art of Business in the Business of Art

The Art of Business in the Business of Art

Mengapa Anda memproklamasikan diri sebagai art investor ketika orang lain tidak berani mengakui dirinya sebagai investor Mereka lebih suka menyebut dirinya kolektor, padahal sebenarnya membeli karya untuk investasi?

Saya ingin bercerita. Begini, dalam bidang seni budaya, khususnya seni rupa, kita harus mampu melibat beberapa poin di dalamnya, salah satunya ialah melihat poin itu dan sudut pandang karya para maestro Indonesia. Hal utama yang dipersembahkan para maestro rupa, dalam konteks ini maksudnya pelukis, ialah jiwa atau spirit karya seni, dan itu harus kita pahami. Kenapa? Karena setiap karya seni dicipta melalui getaran jiwa dengan curahan hati dan emosi yang begitu mendalam. Kita akan memahami kekuatan sebuah karya bila jiwa atau spirit kerya itu mampu kita pahami, mampu kita tangkap. Berikutnya, kita pun akan dapat memahami secara langsung kerakter karya dari masing-masing seniman.

Kekuatan spirit seniman tentunya dapat memberikan nilai intangible (tidak nampak, Red.) terhadap karya yang digubabnya. Nilai kekuatan jiwa itu harus dicatat sebagai “added value” yang membedakan satu karya seni dengan karya seni yang lain, atau yang membedakan karya lukis dan mahakarya seni lukis.

Setelah itu, kita memiliki tugas, yaitu membawa nilai jiwa dalam karya seni menjadi sesuatu yang dapat memberikan kesejahteraan bagi seluruh komponen kesenian. Dan yang paling utama dan komponen itu adalah masyarakat Indonesia secara luas. Oleh karena itu, harus disampaikan pemahaman ke segala arah, yaitu karya seni didapatkan untuk memberikan kepuasan jiwa sekaligus kepuasan fisik; yang berarti, di samping kita harus mampu memahami kekuatan jiwa dan sebuah karya seni, kita juga harus mampu memahami nilai ekonominya.

Artinya sebelum aspek ekonomi, pertimbangan seni harus didahulukan?

O iya. Kita harus puas melihat jiwa den fisik sebuah karya seni. Karya seni itu mampu memberikan ketenangan bathin kepada Rita, atau justru menjadi alattherapy untuk Rita, juga dapat memberikan kesenangan dan kepuasan saat Rita mengoleksinya. Jangan lupa, karya seni juga dapat memberikan suasana yang tenteram pada lingkungan di mana kita memajangnya.

Anda juga harus tahu, kekuatan jiwa sebuah karya seni itu dapat memberikan energi positif pada rumah atau ruangan di mana karya karya tersebut dipajang. Jadi, alangkah penting dan luar biasanya kekuatan karya seni gubahan seniman itu.

Baru kemudian melihat fisiknya?

Benar! Kita harus mampu merasakan kepuasan fisik dan karya seni. Nah, kepuasan fisik dan jiwa itu harus seimbang. Kita tidak hanya melihat estetikanya, tapi juga harus mampu memahami dan menilai karya seni dengan tolok ukur ekonomi. Kita harus tahu nilai ekonominya.

Karya seni memiliki nilai material, karena kekuatan jiwa dalam karya seni akan tidak berarti kalau tidak mampu dipahami nilai ekonominya. Contoh sederhanya begini, pada manusia hidup terdapat dua hal, yaitu jiwa atau soul dan badan yang mewakili fisik. Jiwa dan raga harus berjalan seimbang agar kehidupan terus berjalan.

Nilai ekonomi sebuah karya seni Rita pahami dan nilai intangible atau nilai jiwa, dan hal ini harus dipahami lebih mendalam, sehingga karya-karya seni Rita dapat bernilai tinggi, baik secara nilai ekonomi subyektif maupun nilai ekonomi market obyektif. Kata market atau pasar di sini bermakna bahwa karya-karya seni memiliki pasar yang sangat luas, dan kita jangan sampai terkecoh dengan penggunaan kata “komersialisasi”, sebab komersialisasi itu artinya manfaat, Kita harus bisa menemukan apakah manfaat yang didapat dan seluruh komponen industri seni ini?

Tak perlu kita menanggapi istilah komersialisasi secara negatif, Karena dengan adanya komersiasasi, karya-karya seniman, pelukis Rita dapat tersebar luas ke mancanaegara, dan memberikan nilai ekonomi yang baik kepada seluruh pihak yang terlibat dalam industri seni ini. Namun tentu kita harus selalu berpegang teguh pada kekuatan spirit karya seni itu. Jangan sampai nilai spirit karya seni terkalahkan oleh nilai komersiarnya.

Bagaimana caranya?

Perlu dicermati pada karya seni itu ialah kualitasnya. Jangan hanya memperhatikan kuantitasnya. Pada kualitas itulah posisi kekuatan ekonomi Indonesia yang sebenarnya.

Semua pihak dari masyarakat sampai wakil rakyat, eksekutif di pemerintahan maupun dalam corporate perusahaan, harus dapat memahami kekuatan jiwa karya seni tadi, kualitasnya tadi, dan itu harus diletakkan sebagai kekuatan jiwa bangsa Indonesia, sekaligus mampu menjadi kekuatan ekonomi yang luar biasa.

Sederhananya begini, kita harus mampu berpola-pikir dan bertingkahlaku yang strategis dengan berorientasi melahirkan produk kreatif. Kita juga harus mampu memahami orientasi manajemen kreatif, marketing kreatif, promosi kreatif, dan presentasi kreatif, sehingga nilai ekonomi yang didapatkan akan bernilai sangat tinggi dan sangat besar.

Siapa yang seharusnya terlibat di ranah persoalan ini?

Ya seniman, kritikus, promotor, kolektor, art investor, terutama pemerintah. Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk menggali ekonomi kreatif mi. Terutama peranannya dalam membuat perangkat hukum atau regulasi yang mendukung kearah pembangunan ekonomi kreatif yang kokoh, dan diakui sebagai kekuatan ekonomi yang sangat besar. Perangkat hukum itu misalnya melindungi kekayaan intelektual dan hak cipta sebagai sesuatu yang sangat absolut. Kita dapat melihat contoh yang baik dan Amerika Serikat dalam melindungi industri dan ekonomi kreatif bangsanya, misalnya melindungi kekayaan intelektual dan hak cipta perusahaan seperti Microsoft, sehingga perusahaan komputer itu dapat berkembang menjadi perusahaan yang sangat besar, yang mampu menjual software kepada penduduk dunia.

Pemerintah juga harus dapat mengajak masyarakat sadar hukum. Kita lihat di Amerika, masyarakatnya telah sadar hukum, sehingga mereka tidak berani membajak. Mereka sadar perbuatan mengkopi, menjiplak atau memalsukan, adalah melanggar hukum dan merupakan tindakan yang sangat tidak terpuji.

Bisa disimpulkan dan seluruh pendapat di atas? Kalau bangsa Indonesia sekarang ingin meningkatkan kekuatan ekonomi kreatif, Rita harus bersinergi secara erat untuk melakukan perubahan dalam pola pikir, perbuatan masyarakat, dan sikap pemerintah. Semua harus bekerja sama secara serempak, atau duduk bersama untuk menentukan visi kesenian dan kebudayaan yang dapat membawa kita melakukan lompatan jauh Re depan. Dengan demikian, kita memiliki harapan untuk membangun Kekuatan ekonomi Indonesia dan sektor seni-budaya, dan kekuatan ini sanggup bersaing dengan ikon-ikon kekuatan ekonomi negara maju. Di sinilah letak karya seni bangsa Indonesia untuk menjadi sebuah kekuatan ekonomi dunia yang tidak habis dimakan waktu.

Untuk mewujudkan itu, dibutuhkan pemahaman visioner dan seorang art collector, art lover, art promotor, dan art dealer untuk menjadi seorang art investor. Nah, pertanyaan Anda di depan sekarang saya tegaskan: Saya seorang art investor.

Okay sebagai art investor apa sesungguhnya fungsi Anda?

Untuk menjadi seorang art investor yang anda, ia harus memiliki skill, education, dan idea. Dan, ada tahapan sebenarnya. Sebaiknya Ia melewati proses menjadi art dealer (yang hanya berhubungan dengan jual beli); juga menjadi art collector (yang berhubungan dengan mengoleksi karya-karya seni terbaik); menjadi art lover (yang bertokus pada mencintai karya sent dan kekuatan jiwanya); barulah menjadi art promotor (mempromosikan seni dan budaya secara lebih luas dan ke segala penjuru).

Art investor di sini berarti berinvestasi dalam kekuatan jiwa karya seni dan berinvestasi pada kekuatan ekonomi karya seni, dan ia sanggup melakukan sinergi untuk mencapai dan menghasilkan karya-karya seni gubaban maestro yang memiliki spirit (added value) dan bernilai ekonomi sangat tinggi sepanjang masa.

Menurut saya, posisi art investor merupakan posisi tertinggi, karena mampu menyinergikan kekuatanintangible (tidak nyata) dengan kekuatan tangible (kekuatan nyata). Seperti tadi saya runut, menjadi art investor harus melewati batas-batas sebagai art lover, art collector; art promotor; dan art dealer.

Apa yang bisa diberikan oleh seorang art investor untuk pengembangan kebangsaan kita?

Telah saya uraikan di atas bahwa kita harus mampu di samping menilai jiwa spirit karya seni kita juga harus mampu memberikan nilai secara ekonomi sebagai suatu kekuatan ekonomi bangsa yang merupakan ekonomi kreatif bangsa. Saya lahir di lingkungan seni dan mengawali segalanya dan usia yang masih belia dan orang tua saya, Bapak Nyoman Rudana dan Ibu Wayan Olastini. Juga mendengar secara langsung bagaimana kolektor seni datang dan memilih karya seni langsung. Inilah yang mengasah kemampuan untuk lebih memahami market dan karya-karya seni tersebut. Di samping itu pula hal yang utama adalah kecintaan terhadap karya seni, cita rasa tersebut terbentuk karena selalu berhubungan dan berdialog dengan karya seni maupun senimannya sehingga rasa cinta itu telah menyatu didalam jiwa saya. Saya yakin dengan memberikan segalanya kepada seni termasuk cinta, seni juga akan memberikan segalanya kepada kita baik spirit maupun materi.

Pendidikan juga mendukung peran Anda itu…

Setelah mendapatkan pendidikan yang sangat berbanga dalam bidang seni yang merupakan pendidikan yang didapat langsung dengan berinteraksi dengan semua pihak atau seluruh komponen kesenian, saya juga mengejar pendidikan yang memfokuskan kepada management, finance dan business administration. Saya juga mendapatkan ilmu dalam bidang bisnis yang kemudian disatukan dengan seni yaitu The Art of Business in the Business of Art atau seninya berbisnis seni sehingga kemudian memberikan pandangan terhadap kemampuan untuk mengomunikasikan kekuatan jiwa karya seni menjadi kekuatan ekonomi yang besar Di samping itu pula saya dapat lebih memahami forecasting dalam bidang seni dan pemahaman ekonomi dalam bidang seni rupa. Gelar MBA saya raih dart Webster University of Saint Louis USA pada tahun 1998 dan program Sarjana saya raih juga di Amerika, ini merupakan suatu pengalaman yang sangat luar biasa untuk dapat hidup dan langsung memahami budaya asing selama enam tahun saya berada di Amerika. Budaya tersebut yang saya maksud adalah segala cara yang dilakukan masyarakat Amerika dalam kehidupannya sehari-hari yang sangat berbeda dengan pola masyarakat Indonesia. Tentu perbedaan budaya ini menjadikan kita akan lebih mencintai kekayaan budaya kita dan betul-betul dapat menyerap segala hal balk untuk disinengikan kembali di Indonesia.

Bagaimana membangun trust dan relation dengan para seniman yang karyanya menjadi investasi Anda?

Trust terbentuk karena hubungan yang baik dalam masa waktu yang panjang dalam arti waktu secara kuantitas maupun kualitas. Saya sangat beruntung mengenal banyak seniman pelukis, khususnya seniman maestro dan waktu masih dalam usia yang sangat muda atau dapat dikatakan dan masa kanak-kanak saya. Sehingga trust dan hubungan yang balk telah terjadi dan masa yang lalu yang sangat berkesan don memberikan makna dan kenangan yang baik pada saat saya benar-benar menjadi investor seni maupun promotor seni saat ini. Para seniman, pelukis, khususnya seniman maestro, beliau-beliau ini sudah tidak lagi berhubungan hanya dengan bahasa verbal, lebih jauh dari itu adalah pemaknaan bahasa-bahasa non-verbal dan bahasa-bahasa jiwa yang tentunya dapat dipahami hanya dengan menerapkan budaya toleransi, empati, dan hubungan jangka yang berkualitas.

Jenis karya seni apa saja yang Anda kelola untuk investasi?

Kami mengelola lebih dan 400 karya seni untuk koleksi di Museum Rudana yang merupakan koleksi tetap dart museum yang akan selamanya berada di museum kami. Sedangkan untuk di Rudana Fine Art Gallery, kami memiliki lebih dari 10.000 karya-karya seni dalam berbagai jenis dan corak. Dan karya tradisional Bali sampai karya beliau karya abstrak karya pelukis-pelukis maestro Indonesia. Dari karya tapi karya seni Kobot, Lempad, Ida Bagus Made sampai karya-karya Affandi, Antonio Banco dan Dullah. Juga kami memiliki karya-karya dari seniman pelukis Srihadi Soedarsono, Sunaryo, Nyoman Gunar panjangsa, Made Wianta, Nyoman Erawan, Made Djirna, Made Budhiana, Wayan Darmika, Ida Bagus Indra dan masih banyak yang lainnya. Dan karya-karya seni ini kalau investasi dilakukan dengan benar, bukan sekadar mengikuti tren, dapat menjadi sesuatu investasi yang terus bernilai tinggi dan bertambah tinggi. Di sinilah posisi kami dalam mempromosikan dan mempresentasikan seni budaya Indonesia dan memberikan manfaat dan pertambahan nilai ekonomi kepada seluruh komponen kesenian dan kebudayaan di Indonesia, sehingga Kolektor seni akan lebih mencintai karya seninya. Dengan demikian juga akan menikmati peningkatan nilai investasi yang mereka lakukan. Hal ini pun akan berlaku sama untuk komponen-komponen yang lainnya yaitu seniman, galeri, media massa dan yang lainnya.

Anda bergairah sekali rupanya, tapi bagaimana sebetulnya visi Anda untuk mengembangkan seni Indonesia di tingkat dunia?

Seni di Indonesia bukan saja dalam bidang seni rupanya, banyak seni-seni dalam bidang lainnya. Antara lain seni photography, seni perfilman, seni performance, seni fashion dan lain-Lain. Yang kita harus lakukan dalam mempromosikan dan mempresentasikan seni Indonesia kepada dunia adalah dengan cara menyinergikan atau menyatukan seluruh bidang atau sektor kesenian yang merupakan atau dicanangkan pemerintah sebagai 14 sektor ekonomi kreatif.

Saya ingin tahu obsesi Anda dalam memajukan Indonesia sehingga dapat melakukan lompatan jauh ke depan melalui kesenian, seperti apa?

Dalam memajukan Indonesia, kita tidak selalu harus berada di atas, tapi yang terpenting bahwa atas dan bawah tidak lagi menjadi permasalahan. Begitu pula dengan kin dan kanan. Saya memiliki mimpi bahwa pemimpin-pemimpin kita akan memimpin dengan pemahaman kekayaan seni budaya ini, karena di situlah kekuatan Indonesia, baik dan segi spiritual ataupun ekonomi.

Apa yang menjadi kehawatiran Anda dengan nasib kesenian di Indonesia, dan bagaimana solusinya menurut Anda?
Kekhawatiran yang paling mendalam adalah hilangnya kepedulian masyarakat dan banyak pihak tentang segala kesenian kita yang sangat beraneka-ragam. Mereka tidak memahami dan menyadari akan adanya kekayaan seni budaya itu karena kekayaan ini adalah kekayaan yang harus dipahami, dijiwai dan dicintai untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Kekhawatiran yang Lain adalah undang-undang yang memberikan perlindungan kepada Hak Cipta dan Hak kekayaan Intelektual bagi penciptaan kesenian dan penciptaan de belum diperjelas untuk melindungi dan ketegasan dalam melindungi Hak kekayaan Intelektual dan Hak Cipta.

Solusinya adalah tentu dengan menguatkan ketiga hal-hal di atas antara Lain kepedulian semua pihak terhadap kesenian dan yang muda sampai tua, dan wanita dan pria, dan siswa sampai guru dan dari rakyat sampai pemimpinnya.

Jika suatu hari Anda menjadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, visi apa yang bakal dikembangkan?

Ada suatu hal yang ingin saya sampaikan di sini bahwa kekuasaan, jabatan, dan kedudukan bukanlah sesuatu yang kekal dan harus diperebutkan, melainkan menjadi sesuatu yang harus dipertanggung jawabkan, yaitu pertanggung-jawaban kepada yang mahakuasa. Dalam memimpin diperlukan jiwa melayani dalam arti mendahulukan kepentingan bersama, bangsa, di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Diperlukan pula jiwa besar untuk mengatakan mampu dan tidak mampu, bias den tidak bias. Jadi kalau kita mampu, tentu kita harus melaksanakan segalanya dengan baik dan maksimal tetapi kalau tidak, maka kita harus berani memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memimpin. Dan kita harus yakin bahwa dengan berbuat dalam segala hal untuk kebersamaan, maka segalanya akan datang dengan sendininya baik itu jabatan ataupun kedudukan. Pemimpin masa depan harus mampu memahami segala bidang dan memiliki kemampuan yang luas di segala bidang.

Saya ingin, seni budaya Indonesia menjadi tujuan pariwisata dunia karena lebih memberikan nilai jiwa, di samping memberikan nilai fisik kepariwisataan. Dan Indonesia menjadi jiwa dan kepariwisataan dunia karena kekayaan seni budayanya.

Mengenai Museum Rudana, visi jauh ke depannya seperti apa yang sudah Anda rancangkan?

Museum Rudana bersama-sama dengan seluruh museum di Indonesia dapat menggaungkan kesenian dan kebudayaan Indonesia, yang tentunya dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat dunia akan kebesaran Indonesia dan kekayaan jiwa Indonesia. Dan bersama-sama bersinengi untuk mempersembahkan dan mempresentasikan seni budaya Indonesia kepada dunia sehingga bangsa-bangsa dunia lainnya menyadari akan kekuatan Indonesia bukan secara fisik saja tetapi secara jiwa. Dan rasa persaudaraan, persahabatan, cinta kasih, perdamaian dan kedamaian akan tercipta di Bumi kita ini. Dan di sinilah letak kekuatan Living Cultural Heritage kita sebagai kekuatan yang bersifat intangible.

Anda optimistis dengan semua yang sedang dilakukan?

Saya sangat optimistis. Dengan bersatu padu bersama-sama bahwa kita bangsa Indonesia bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kita harus menyadari bahwa guru atau ilmu datang dan segala arah dan kepemimpinan muda dan tua harus bersama sama maju demi kemajuan bersama. Yang muda selalu menghormati dan memohon petunjuk pendahulunya, dan yang tua memberikan kesempatan kepada yang muda untuk memimpin. Inilah sikap budaya bangsa Indonesia.

Terakhir coba definisikan apa yang dimaksud dengan kesenian Indonesia?

Kesenian Indonesia adalah segala hal yang berkembang di masyarakat yang tanpa disadari menjadi cara hidup atau tempat untuk mencari penghidupan. Kesenian Indonesia juga hidup dan terus berkembang di masyarakatnya secara terus-menerus dan turun temurun yang merupakan strength dan bangsa Indonesia yang dapat direalisasikan menjadi kekuatan ekonomi Indonesia yang bernilai sangat tinggi atau tak terhingga. Seni juga terus berkembang sesuai dengan perkembangan jaman dan kesenian di Indonesia. Sangat hidup dan menyatu dengan aktivitas keseharian masyarakatnya. Kita perlu memberikan nilai dan kreativitas pada kesenian, sehingga seni tanpa disadari memberikan “added value” yang besar untuk kekuatan Indonesia dalam bidang ekonomi. Sekarang kita sangat berharap rakyat dan pimpinan bangsa dan negara Indonesia untuk bersinergi memajukan ekonomi, mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia melalui kekuatan dan kekayaan seni budayanya

Sinergi Menuju Kesempurnaan Wawancara Seni dengan Putu Supadma Rudana

Sinergi Menuju Kesempurnaan Wawancara Seni dengan Putu Supadma Rudana

MUSEA mengirim pewartanya untuk mewawancarai Putu Supadma Rudana-project coordinator MUSEA. Dinding dipenuhi dengan foto bersama para dignitaries-mulai dari presiden RI, beberapa Menteri dan petinggi dari dalam negeri maupun luar negeri. Lukisan apik dekoratif membuat ruangan ber-AC ini nyaman untuk melakukan wawancara dengan Managing Director Museum Rudana, Putu Supadma Rudana yang, berkat promosi seni yang atraktif, kreatif dan segar, beberapa saat lalu menerima sebutan Mr. Excellent dari Presiden RI, SBY. Interview ini membahas beberapa visi, pemikiran seputar kesenian di Bali, Indonesia.

Selamat atas julukan Excellent dari SBY kepada Anda. Bagaimana perasaan Anda dan bagaimana Anda mendapatkan anugerah ini?

Beberapa saat saya merasa gembira. Saya tidak mengira akan mendapatkan anugerah ini. Namun demikian, setelah saya merenungkannya dalam-dalam, anugerah ini bahkan menjadi cambuk bagi saya untuk lebih bergiat dalam dunia permuseuman serta pengembangan kesenian di Bali. Saya pikir ini juga merupakan tanggung jawab besar. Lebih lanjut, saya juga merasakan bahwa julukan ini bukan hanya mencerminkan keberhasilan saya, namun ini juga keberhasilan Bali dalam tataran dunia permuseuman, khususnya dari dunia seni budaya pada umumnya. Saya ingin melihat ada orang-orang lain, terutama yang muda-muda yang mendapat anugerah-anugerah serupa dari pemerintah atau dari presiden langsung. Saya memimpikan Bali dipenuhi dengan para pemuda yang berpotensi memimpin lewat segala aktivitasnya.

Apakah Anda pernah mendapatkan penghargaan serupa di tingkat lokal, misalnya dari Dewan Kesenian Bali, Gubernur atau dari Stake Holder lainnya?

Belum pernah. Saya langsung mendapatkan anugerah ini dari pak SBY. Saya harap ke depan kita bisa melihat para pemegang kepentingan di Bali bisa mengapresiasi kerja keras serta potensi-potensi yang berada di Bali. lnilah masalahnya. Pak SBY saya pikir tidak gegabah dalam memberikan sebutan seperti ini pasti ada pertimbangan-pertimbangan yang diambil. Sekali lagi, semoga anugerah yang diberikan kepada saya ini bisa menjadi pendorong bagi pegiat seni dan permuseuman untuk semakin berkiprah dan terjun langsung dalam pengembangan seni Bali dan Indonesia.

Bisa ceritakan mengapa Anda mendapatkan anugerah ini?

Semua ini diawali dengan upaya penulisan, pengumpulan informasi, wawancara dengan berbagai pihak yang kami tuangkan dalam buku Treasure of Bali. Pengkoordinasian penciptaan buku ini memang makan banyak waktu dan tenaga, karena kita harus mensinergikan berbagai museum yang memiliki koleksi beragam dan afiliasinya pun bermacam-macam. Di samping itu, kami juga harus mampu mensinkronkan banyak ikon dan tokoh kesenian Bali yang mungkin juga memiliki karakter personal yang berbeda-beda pula. Kami haturkan buku ini kepada Pak SBY. Dan beliau sangat impressed (terkesan sekali) dengan keprofesionalan penulisan, tata letak dan tata artsistik dsb, yang membuat buku ini sempurna.

Apa yang mendorong Anda untuk melakukan upaya yang tidak gampang ini?

Kecintaan pada Bali dan tentunya Indonesia. Pada hakekatnya, saya jarang mempedulikan nilai untung akhir atau nominal dari kegiatan sosial seperti ini Saya berpartisipasi dan berkiprah melakukan pengembangan permuseuman dan seni udaya Bali lebih dari sekedar untuk pencapaian finansial, karena pada hakekatnya, dalam opini saya, kita bersentuhan dengan dunia jiwa, dunia cita, atau katakanlah dunia seni itu adalah dunia yang profan.

Dengan keberhasilannya dalam menghantarkan perhelatan Modern Indonesian Masters, Putu Rudana telah membuktikan keberhasilannya dalam mengkoordinasikan dan mengimplementasikan tugas berat untuk mengarahkan perhatian dunia ke seniman-seniman maestro Indonesia yang, dengan curahan kreatifitasnya, menciptakan karya-karya yang turut memperindah dunia.

Pada usia yang masih muda ini (33 tahun-Red). Anda mampu memimpin beberapa kegiatan, bukan hanya kesenian, namun juga olahraga, yaitu golf, serta bisnis perminyakan. Apakah hal ini tidak bertolak belakang dengan visi Anda untuk mengembangkan seni dan budaya Bali?

Saya melihatnya ketiga-tiganya dalam konteks yang lebih luas. Saya percaya dengan sinergi yang sebetulnya bisa saling menopang segala kegiatan yang kelihatannya saling bertolak belakang. Lewat bisnis BBM, sebagai salah satu menjadi energi dari usaha pengembangan seni dan budaya. Aktivitas pengembangan seni, sebagaimana aktivitas lain, memerlukan bahan sumber-sumber lain bahan bakar, energi untuk membantu langkah maju. ini adalah bagian dari sumber untuk mengakselerasi dunia seni. Di bidang olahraga, saat ini saya menjadi ketua III Pengurus Daerah PGI (Persatuan Golf Indonesia Bali). Saya tidak henti-hentinya mendorong para atlit muda, misalnya mereka yang akan berpartisipasi di PON atau yang akan bertanding ke luar negeri, untuk mengenal Bali-Indonesia, untuk mencintai seni dan budaya Bali-Indonesia, karena saya percaya bahwa para atlet tersebut adalah wakil muhibah Bali bahkan Indonesia untuk berkiprah di perhelatan internasional. Bisa Anda bayangkan kalau para atlet kita mampu menjadi agent of promotion bagi Indonesia dengan pengetahuan seni dan budayanya.

Anda tidak khawatir dengan pembangunan lapangan golf yang rakus dengan lahan? Bukankah ini bisa menjadi counter productive terhadap apa yang kita cita-citakan bagi Bali, yakni konsep Tri Hita Karana keselarasan antara manusia, alam dan sang maha pencipta?

Karena didasari rasa cinta Bali, kita tidak mungkin mengorbankan salah satu pilar Tri Hita Karana tersebut yang dalam hal ini merujuk pada keselarasan dengan alam. Dalam pengurusan PGI tentunya kita punya niat yang luhur. Kita akan memantau, dalam koridor kewenangan kita, bahwa segala pembangunan lapangan golf tidak boleh menelan lahan produktif. Bahkan sebaliknya, lahan tidak produktif bisa diupayakan menjadi lahan hijau yang bisa menarik devisa penduduk di sekitarnya dengan menyediakan lapangan pekerjaan. Bukankah dengan demikian olahraga ini menjadi environmentally friendly danfinancially benefitable bagi semua? Pada intinya, saya masih menopangkan segala kegiatan ini untuk kegunaan manusia dan lingkungannya
Anda tentunya sangat sibuk dengan segala kegiatan Anda, baik di core business Anda sebagai CEO dan Direktur Finansial di GRP (Group Rudana Putra), menjadi pelaksana kemudian kegiatan lain sebagai Ketua III PGI, dan sebagai ketua III dari organisasi Hiswana Migas, serta jabatan-jabatan lainnya. Bagaimana Anda melakukan ini semua?
Pada esensinya semuanya terletak pada the art of managing resources. Sedangkan sumber daya merujuk bukan hanya finansial atau manusia saja. Lebih kompleks dari itu semua. Namun kalau kita bisa mensinerjikan sumber daya tersebut untuk memberikan mutu terbaik pada klien kita, niscaya customer kita akan terpuaskan. Dengan mengadopsi moto yang saya yakini penting dalam hidup, yakni the art of business in the business of art (seni bisnis dalam bisnis seni), the art of excellence, seni kesempurnaan, di mana kita tidak akan puas dengan sesuatu yang mediocre (setengah-setengah saja). Klien kita, baik yang internal maupun external mengharapkan sesuatu yang sempurna, tentunya kita harus menjumput bola itu. Kita menyajikan yang par excellent juga. Tentunya, bagi saya ini bukan hanya sebagai jargon atau istilah linguistik yang maknanya kosong. Ini adalah sebuah guiding principle (prinsip pemandu) yang saya anut dan saya terapkan dalam kiprah hidup saya.

Bagaimana Anda mensikapi keterpurukan dunia bisnis seni yang pada perempat dasawarsa belakangan ini dan apa kiat-kiat yang Anda terapkan sehingga Museum, Rudana, kemudian Rudana Fine Art Gallery, maupun core business Anda lainnya tetap eksis?

Memang dalam siklus fluktuasi ekonomi sebuah bisnis tentu ada naik turunnya. Namun demikian, dengan menerapkan pendekatan kreatif -thinking outside the box-atau berpikir secara lateral, dengan lain kata kita mengantisipasi hal-hal tak terduga yang akan terjadi dengan creative future problem solutions kita bisa mengurai simpul-simpul yang biasanya membelenggu kelajuan bisnis. Saya percaya Yang Maha Kuasa memberikan kita limpahan rezeki dan salah satu limpahan tak ternilainya adalah kemauan kita untuk melakukan pemikiran dan upaya-upaya kreatif. Dengan demikian kita tidak akan berbangga dengan limpahan rezeki yang pada akhirnya bisa menjerumuskan kita pada keserakahan yang bisa membuahkan kutukan. Nah, salah satu dari upaya untuk mencapai the art of excellence tadi adalah kita harus berani berusaha, berjuang dan berkorban. Bagaimana kita bisa memberikan yang terbaik. Dengan demikian sering kali kita kemudian secara tidak sadar telah ‘memberikan lebih dari yang atau exceeding people’s expectation.

Waktu berlalu dengan cepat sekali. Tak terasa wawancara ini telah berlangsung hampir separuh hari. Diselingi dengan beberapa kopi, wawancara berlangsung dengan hangat.

Pertanyaan terakhir sebelum kita akhiri wawancara ini. Dengan seni budayanya, bagaimana Anda melihat Bali ke depan?

Saya melihat Bali dengan impian. Saya memimpikan Bali sebagai the Heart of Indonesia, the Heart of Asia and the Heart of the World. Namun perlu saya tandaskan di sini bahwa bukan semata-mata keindahan fisiknya dengan faktor-faktor budaya yang kasap mata. Lebih dari itu, budaya ini bagaikan sebuah gunung es. Apa yang tampak mata merupakan puncak, sedangkan kandungan-kandungan lainnya tersimpan di bawah laut. Limpahan kandungan budaya Bali masih banyak yang bisa diungkap oleh kita untuk dipaparkan ke dunia. Istilah heart tidak hanya merujuk pada jantung saja. Karena kita tidak hanya menjadi sebuah pusat kegiatan, namun lebih dari itu saya memimpikan Bali menjadi opsi yang damai dan lomba adi kuasa dengan keserakahan destruktif, dengan difinisi heart yang lainnya, yakni ‘hati’ atau ‘jiwa’ atau jantung merujuk pada cinta kita pada kehidupan yang penuh damai dengan sesama manusia, untuk alam dan kepada Tuhan Sang Pencipta. Saya impikan Bali, bukan hanya menjadi sesinggahan sementara untuk para pemimpin dunia bertemu, berembug dan menelorkan kebijakan-kebijakan dunia dalam konperensi-konperensinya. Namun lebih dari itu, Bali, dengan segala komponen masyarakat lintas etnis dan agamanya, sebagai pencerminan masyarakat majemuk Indonesia yang cinta damai yang ideal mampu mampu menawarkan konsep damainya. Ini memang sebuah impian, namun bukankah semua keberhasilan itu berawal dari sebuah mimpi yang kemudian menjelma menjadi visi, misi dan akhirnya menjadi kenyataan. Di sinilah letak rahasianya. Mungkin dengan the art of realising dreams, saya sudah mencapai beberapa mimpi personal, namun impian untuk kemaslahatan bersama sesama manusia, sebangsa harus menjadi mimpi kita semua. Dengan dan lewat Bali, kalau Tuhan mengizinkan, saya ingin memberikan kontribusi ke bangsa ini. Dengan apapun yang kita punyai kita mampu mencapai mimpi menjadi bagian kemanusian dunia yang beradab.

Museum Rudana presents “Modern Indonesia Masters”

Museum Rudana presents “Modern Indonesia Masters”

Celebrating its 12th anniversary, Museum Rudana in Ubud presents the works of four Indonesian maestros in an exhibition entitled ‘The World of Abstract’.

Rarely do four painting maestros appear at one group exhibition. But this month it is this rare art happening that takes place at the Museum Rudana in Ubud, where two of Bali’s foremost artists meet up with two of Java’s.
“It’s such a lot of work to make this happen. Therefore we’re proud to be able to stage this rare event, the first of its kind on the island, (and I am sure) in Indonesia”, said Putu Supadma Rudana, managing director of the Museum Rudana.

Bali’s maestros Nyoman Gunarsa and Made Wianta are showing off their ultimate creations together with Bandung-based master of color and horizon Srihadi Sudarsono and master of sculpture Sunaryo Sutono.

The four legends, arguably the country’s most sought after modern artists, will be accompanied by the island’s four rising stars, Made Djirna, Nyoman Erawan, Wayan Darmika and Made Budhiana.

The exhibition, entitled “The World of Abstract”, commences on August 16 and runs through October 1, featuring ten of the finest pieces from the collections of each painter. “There will be 80 abstract works. Even Mr. Srihadi Sudarsono, who is not known as a master of abstract, will present his own figurative works including the famous Borobudur in Horizon to represent the theme,” Supadma said.

Here is a brief background on the four legends.
Nyoman Gunarsa was born to a rice farmer’s family in Banda, Takmung in Klungkung, the same village where he established his own Museum of Classical and Contemporary Balinese Paintings. Uniquely, long before he grew his passion and reputation for classical paintings in the 1980s, especially of Balinese daily life, Gunarsa was much more interested in abstract paintings earlier in his career.

The upcoming exhibition at Rudana is therefore to show off his earlier bursting passion for the abstract world. The abstract ingrained from his surrounding environment includes village life, rice fields, gamelan music, shadow puppets, his father’s dance mastery, and the world beyond, including his vision of the West as he was once fascinated, as young boy, with Western artists and their world.

Made Wianta, by any measure, is Bali’s most successful artist of multiple talents and endless energy. He constantly moves from one art form to another, each with great energy and concentration. The result is that there are close to 15,000 works of arts of various forms ranging from paintings, dance and music performances, poetry, installations, happening arts and more.

Wianta’s mastery of color is yet matched by his mastery of words in poetry and body movements. He has earned his reputation as the island’s most progressive painter, with all the bravery to move from one style to another.
Born in Apuan, a village nestled in the rice paddy fields north of Tabanan, the painter’s strong sense of environmental awareness and social responsibility has brought him into various happening art in response to forest fires and illegal logging, the October 12 blast, poverty eradication, and the AIDS campaign. Last year, as among his special achievements, he was chosen as the only painter to represent Indonesia in presenting their works at the special exhibition marking the Italian sport carmaker Scuderia Ferrari 60th anniversary celebration.

Srihadi Sudarsono, the master of color and horizons, is what this Javanese painter is famous for. He grew up in an aristocrat family deeply ingrained in the philosophical concept of the complex Javanese system of life, synthesizing Hinduism, Buddhism, and Islam as well as mysticism. Thus, each of his paintings conveys a deep reflection of this philosophical value.

The master, whose favorite objects are landscapes, beaches, monuments, and human beings, has sold a painting worth US$ 150,000 at an auction, a landmark not many of his countrymen have ever reached. Uniquely, Srihadi has never been known as an abstract junkie (he would rather call his abstract painting more like figurative, or as some say, symbolic). Therefore his presence at this exhibition is highly anticipated.

Last but not least, Sunaryo is another Javanese golden boy his country should be proud of. Although he grew up as a sculpturer (he had been appointed a lecturer of fine arts and design and head of the Department of the Fine Arts and Sculpture Studio at Bandung Institute of Technology) Sunaryo has won various art awards including painting competitions entitled “the Phillip Morris Group of Companies Asean Art Awards” for the two consecutive years of 1995 and 1996, and received an honorable mention from the Indonesian Minister of Culture and Tourism for enhancing the country’s painting creativity.

Sunaryo’s achievement in his own world of sculpture has earned him dozens of prize awards from various establishments, ranging from universities, city councils, five star hotels, and the country’s telecommunication company. He once also won first place at an international creative textile competition. In 1998 he established a studio currently known as Selasar Sunaryo, a private museum and art space.

Photographic Exhibition
The four flair is accompanied by a two-week photo exhibition featuring the works of three photographers from three countries from August 16 – 31. They are Bundhowi of Indonesia, Anna Heggie of Australia and Sandra Phillips of Canada. The three artists feature works dedicated to world peace.