Category: Kabar Terkini

Museum, Generasi Muda dan Masa Depan Bangsa

Lomba Mewarnai, Menggambar, Kartun dan Karikatur, Semarak

Sumber: Denpost, Rabu, 2 Juni 2010

Museum bukan hanya sebagai wadah untuk menyimpan berbagai hasil karya manusia yang sarat dengan muatan sejarah dan estetika, melainkan juga bisa diolah menjadi suatu laboratorium kebudayaan. Melalui museum pula, para ahli serta generasu muda mampu mengembangkan aneka gagasan yang kreatif berdasarkan beragam karya peninggalan para leluhur yang sungguh adiluhung. Ketua IV Asosiasi Museum Indonesia (AMI) yang membawahi bidang Informasi, Komunikasi dan Publikasi, Putu Supadma Rudana, MBA., menyebutkan hal itu dalam acara lomba mewarnai, menggambar, kartun dan karikatur yang bertajuk “Museum, Generasi Muda dan Masa Depan Bangsa” serta Sunday Gathering di Museum Rudana, Peliatan, Ubud, Minggu (30/5) lalu.

Dia menambahkan, museum juga bisa menjadi center of excellence, sehingga harus dimaknai sedalam-dalamnya oleh generasi muda, agar mereka tampil sebagai pribadi yang kukuh dan teguh bila kelak dipercaya menjadi pemimpin bangsa yang besar ini. Pemimpin yang terpanggil untuk membawa bangsa ke arah kemajuan dan kemakmuran sebagaimana diamanatkan oleh para founding fathers, pendiri bangsa dan negara Indonesia tercinta ini.

Menurut Putu Rudana, upaya yang dilakukan oleh Kelompok Media Bali Post (KMB) sesungguhnya sejalan dengan semangat AMI yaitu menjunjung kebhinekaan bangsa ini melalui kehhadoran dan peran museum yang terbukti amat strategis.

Rangkaian kegiatan lomba tersebut, tambah Putu Rudana, merupakan cerminan betapa hangat dan berharganya suatu kebersamaan dan sinergi budaya yang terjalin selama ini antara KMB sebagai media massa Pengemban Pengamal Pancasila, dengan pendiri dan pengelola museum di Bali, khususnya dengan Museum Rudana.

Diungkapkan pula bahwa AMI punya 275 anggota permuseuman secara nasional, serta terbagi atas 7 asosiasi daerah, di antara Bali atau Himusba, yang kiprahnya senantiasa menjadi acuan dan cermian asosiasi daerah lain.

Selain itu, AMI merupakan mitra strategis Direktorat Museum Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, sekaligus menjembatani aspirasi serta gagasan seluruh anggota permuseuman nasional untuk dikomunikasikan kepada pemerintah sehingga menjadi program nyata nasional yang unggul, sekaligus mensolusikan segala permasalahan secara santun dan damai serta dijiwai semangat persaudaraan.

“Di sinilah, suatu sinergi yang terjaga dengan berbagai media amatlah diperlukan agar segala aspirasi, gagasan maupun kebijakan tadi mampu dikomunikasikan secara utuh lagi menyeluruh. Dengan adanya kebersamaan di antara kita, saya yakin kita akan bisa menghargai, menjiwai serta menggaungkan seni budaya bangsa, bahkan hingga ke seluruh dunia,” tandas Putu Rudana.

Visit Museum Fiesta di Museum Rudana

Sumber: Denpost, Sabtu, 29 Mei 2010

Lomba mewarnai, menggambar, kartun dan karikatur, kerjasama KMB dengan Museum Rudana yang bertajuk “Visit Museum Fiesta @ Museum Rudana” berlangsung Minggu (30/5) besok. Kegiatan tersebut, Kamis (27/5) dipaparkan oleh manajemen Museum Rudana yang dipimpin direkturnya, Nyoman Rudana, saat masimakrama dengan Pimpinan Kelompok Media Bali Post (KMB) Satria Naradha di Gedung Pers Bali K. Nadha.

Dalam kesempatan itu, Rudana didampingi Penasihat Museum Rudana yakni Nyoman Muka, kurator Museum Rudana, Bundhowi, serta Ketua IV Asosiasi Museum Indonesia, Putu Supadma Rudana, MBA.

Lomba yang bertema “Museum, Generasi Muda dan Masa Depan Bangsa” ini dipastikan berlangsung meriah karena diisi dengan berbagai kegiatan, di antaranya kesenian barong ngelawang, penyembuhan alternatif (tenaga prana) bersama Bali Dharma Laksana Foundation dengan nabe I Wayan Kawi, S.Pd., kuis berhadiah menarik untuk orangtua anak-anak serta kegiatan unik lainnya.

Menurut salah seorang panitia, IB Wirawan, panitia masih membuka pendaftaran peserta lomba sebelum acara dimulai yakni pukul 09.00. “Kegiatan ini bertujuan menyukseskan program Visit Museum Year 2010. Kami berharap, selain berlomba, para peserta terutama anak-anak juga memahami arti penting museum,” tegasnya.

Sedangkan Ketua IV Asosiasi Museum Indonesia (AMI), Putu Supadma Rudana, MBA., menyambut baik acara lomba tersebut karena merupakan sinergi antara museum dengan media massa dalam memajukan permuseuman di Indonesia. Selain paham mengenai teknik menggambar, para peserta lomba juga bisa menyaksikan koleksi penting di Museum Rudana.

Panca Tan Matra Kolaborasi Kreatif Suara, Rupa dan Kata

Melalui seni, kita bersentuhan dengan keindahan. Bahkan lebih jauh lagi, melalui seni pula, dengan beragam ekspresi dan bentuknya, terbuka kemungkinan seseorang memahami hakikat jati dirinya, entah itu sebagai individu yang soliter, ataukah sosok pribadi yang solider. Tak berhenti hanya sampai di situ, di segenap penjuru Nusantara termasuk juga di dalamnya, Bali, hingga sekarang ini, ritual sosial dan keagamaan tak terpisahkan dari laku kreatif berkesenian. Demikian juga sebaliknya, tak sedikit seniman meyakini bahwa karya-karya dan proses kreatifnya adalah suatu prosesi persembahan.

Mengacu pada visi Museum Rudana di atas, maka digelarlah acara sinergi seni yang menghadirkan seniman-seniman terpilih dari musik, tari, rupa, dan sastra. Masing-masing bidang tersebut dipadukan dalam suatu kesatuan ekspresi yang diharapkan tampil utuh secara keseluruhan, sekaligus merespon konsep yang sejak awal telah ditetapkan. Pertunjukan yang diselenggarakan pada Rabu, 13 Oktober 2010 ini boleh dikata adalah sebuah kolaborasi kreatif yang berupaya mengelaborasi acuan nilai-nilai filosofis, merupakan warisan leluhur, yakni segugusan pengertian yang terkandung dalam apa yang disebut Panca Tan Matra.

Dalam telaah paling mendasar, Panca Tan Matra[1] adalah lima anasir awal / sari inti yang bersifat hakiki, yang keberadaannya tak terpisahkan dari terjadinya penciptaan (Srsti), meliputi bhuwana agung atau makrokosmos, serta bhuwana alit atau mikrokosmos. Dengan demikian, kolaborasi kreatif ini mengandaikan bidang-bidang seni yang bersinergi adalah refleksi dari lima sari inti tersebut, di mana proses dan hasil akhirnya diharapkan mencerminkan keselarasan serta keharmonian, sebagaimana penciptaan jagat raya beserta isinya.

Layak diungkap, setiap upaya mensinergikan berbagai bidang seni, selalu melalui tahapan-tahapan yang memerlukan kesabaran, menuntut pihak-pihak yang terlibat untuk bersedia membuka diri; mendiskusikan aneka kemungkinan kreatif seraya mencermati potensi masing-masing dan mengeksplorasinya secara terukur serta terarah. Sebagai penggagas kolaborasi kreatif ini, saya pribadi berbahagia dapat mewujudkannya, terlebih lagi figur-figur yang bersedia bekerjasama adalah seniman-seniman mumpuni, yang tidak hanya bereputasi nasional, melainkan juga internasional. Untuk itu, terimakasih tak berhingga saya sampaikan kepada musikus penuh dedikasi Dwiki Dharmawan beserta rekan-rekan, koreografer Nyoman Sura, musikus Nyoman Winda, perupa Wayan Darmika, Ida Bagus Indra, serta penyair Warih Wisatsana. Demikian pula halnya, ucapan salut dan terimakasih saya tujukan kepada musikus Brazil tersohor, Toninho Horta, yang telah mengkhususkan waktunya guna berekspresi di Museum Rudana; berikut pihak-pihak terkait lainnya yang memungkinkan terwujudnya peristiwa kesenian bertajuk:

Panca Tan Matra Kolaborasi Kreatif Suara, Rupa dan Kata

Sinergi seni ini bukan semata kolaborasi kreatif yang mengekspresikan sentuhan keindahan, akan tetapi ditujukan pula sebagai sarana mempererat jalinan persahabatan dan persaudaraan kita, melampaui perbedaan sosial, budaya serta bangsa. Secara khusus, saya pribadi mendedikasikan acara ini kepada Putu Pageh Yasa (43) yang belum lama ini berpulang. Sebagai seorang pelukis, yang bersangkutan telah mempersembahkan hidupnya untuk menghasilkan karya-karya yang terpujikan.

Keseluruhan peristiwa, sebagaimana terurai di atas, mulai dari penyusunan konsep hingga rangkaian acara paripurna, semoga meyakinkan kita bahwa pada dasarnya setiap mereka yang hadir, termasuk semua undangan, adalah bagian yang tak terpisahkan dari proses Penciptaan ini; dari yang seluruh (terpisah) menuju yang utuh, yang boleh jadi selaras dengan makna semangat Bhinneka Tunggal Ika, walau berbeda-beda, tetap satu jua.

Salam,
Putu Supadma Rudana, MBA.

________________________________________
[1] Panca Tan Matra terdiri dari sabda tan matra (sari suara), rasa tan matra (sari rasa), sparsa tan matra (sari rabaan), rupa tan matra (sari warna), ganda tan matra (sari aroma).

Kesadaran Budaya Penting Ditumbuhkan

Salah Satu Upaya Ajak Anak ke Museum
Sumber : Bali Post, 8 Januari 2010

Anak-anak penting terus ditumbuhkan kesadaran budayanya. Kesadaran itu bisa ditumbuhkan di rumah, melalui sekolah dan sebagainya. Salah satu upaya untuk menumbuhkan kesadaran budaya itu yaitu dengan mengajak anak-anak ke museum. Demikian antara lain dikatakan Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Dr. Biranul Anas Zaman ditemui saat berkunjung ke ISI Denpasar bersama rombongan dosen, Kamis (7/1) kemarin.

Dikatakannya, kunjungan ke ISI Denpasar karena beberapa alasan, di antaranya posisi ISI Denpasar berada pada khazanah budaya yang kaya dan terkenal, baik di Indonesia maupun di mancanegara. Pihak FSRD ITB ingin menjalin kerjasama dalam rangka pertukaran pengetahuan (akademik). Dengan demikian kedua lembaga mendapat manfaat dalam rangka pengembangan diri ke depan.

Didampingi dosen FSRD ISI Denpasar, Made Rinu, PR I ISI Ketut Murdana dan PR III Nyoman Subrata, Prof. Biranul mengatakan, dengan diperkenalkan kekayaan seni budaya Indonesia lewat mata pelajaran di sekolah, kesadaran budaya anak-anak diharapkan semakin tumbuh. Guru-guru kesenian juga penting terus ditingkatkan kualifikasinya. “Jangan ragu-ragu menggunakan doctor untuk mengajar anak SD. Banyak sekolah di negara maju, kepala sekolahnya bergelar doctor, demikian juga guru keseniannya. Itu penting untuk menanamkan kebanggaan terhadap visi kebudayaan yang hanya dapat diartikulasikan oleh orang yang paham betul tentang hal itu, “ katanya.

Anak-anak Indonesia, terlebih para seniman mesti memiliki kesadaran budaya. “Di samping itu, seniman juga mesti memiliki ilmu pengetahuan, tak hanya menyangkut seni budaya juga pengetahuan lain,” tambahnya.

Tak kalah pentingnya, seniman mesti memiliki sense of quality (kepekaan mutu). Jika memiliki kepekaan mutu yang tinggi, mereka akan menjadi sosok seniman yang siap bersaing. Untuk menjadi seniman yang bermutu, tentu memerlukan proses.
Di sisi lain, Prof. Biranul Anas Zaman mengatakan, seni rupa Indonesia sesungguhnya telah mendunia. Dari sejak masa lalu hingga kini berbagai macam seni sudah dikenal oleh masyarakat dunia. Karena itu, agar seni rupa Indonesia lebih dikenal, seniman-seniman Indonesia mesti terus mengasah diri dengan belajar dan belajar. Dalam menghadapi situasi persaingan global yang begitu tajam, tidak ada jalan lain kecuali belajar secara formal. Dengan belajar secara akademik, dalam waktu singkat mereka mengalami lompatan ilmu pengetahuan yang amat memadai. Dengan demikian, mereka akan dapat melompat menjadi seniman yang lebih mendunia.

Di samping itu, promosi seni rupa perlu lebih digencarkan lagi ke segala arah. Mutu seni rupa kita luar biasa, tradisi dan sejarah kita begitu panjang. “Banyak orang di dunia belum tahu hal itu. Itu senantiasa harus disegarkan, karena negara lain juga melirik apa yang kita punya untuk dijadikan milik atau identitas mereka.”, terangnya. (lun)

Supaya Tetap Eksis, Perlu Reinterpretasi Museum

Sumber : Denpost, Rabu, 6 Januari 2010

Tantangan pengembangan Museum di era global menjadi perbincangan menarik dalam sarasehan terbuka di Museum Seni Lukis Klasik Nyoman Gunarsa, Klungkung, Selasa (5/1) kemarin serangkaian penganugerahan Pers K. Nadha Nugraha. Dalam sarasehan terungkap mengenai pentingnya upaya reinterpretasi museum agar kehadirannya tetap eksis dalam dinamika zaman. Pihak pengelola museum juga dituntut menonjolkan keunikan koleksi dan fisik, selain memperhatikan masalah kuratorial dan restorasi.

Pada sarasehan kemarin dihadirkan dua narasumber yakni Pande Wayan Suteja Neka, pemilik museum Neka, Ubud, dan Dekan Fakultas Sastra Unud, Prof.Dr. I Wayan Ardika, M.A.

Acara berlangsung dengan hangat dengan moderator Wayan Kun Adnyana, seniman yang juga dosen Seni Rupa ISI Denpasar.
Suteja Neka memaparkan topik “Untuk Apa Museum Dibangun?”, sedangkan Ardika mengulas museum sebagai pembentuk karakter bangsa.

Dalam sesi diskusi, budayawan Prof. Dr. Made Bandem yang hadir dalam kesempatan itu mengomentari masalah pengelolaan museum yang dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, pentingnya upaya reinterpretasi, kedua soal keunikan koleksi dan fisik, dan ketiga tentang kuratorial dan restorasi.

“Masyarakat saat ini masih menganggap museum sebagai gudang barang-barang antik dan kuno, sehingga kebanyakan orang masih memilih datang ke galeri untuk menikmati karya seni. Karenanya, manajerial museum sangat penting untuk menghidupkan kembali koleksi yang dimiliki,” papar mantan Rektor ISI Yogyakarta tersebut.

Karenanya, Bandem menganggap upaya reinterpretasi sebagai kebutuhan mutlak bagi pengelola museum. Hal ini, kata dia, bisa dilakukan dengan mengadakan diskusi secara berkala sehingga berkesempatan menjelaskan kembali soal koleksi yang dimiliki museum tersebut. Selanjutnya, untuk menarik perhatian masyarakat penonjolan keunikan museum dengan ikon tertentu juga sangat dibutuhkan. Dicontohkan Bandem, dengan lukisan “Monalisa” karya Leonardo da Vinci yang telah menjadi ikon dari museum di Eropa. Kendati koleksi lain di museum itu sama bernilai, karya itu menjadi daya tarik untuk kedatangan para pengunjung. Sedangkan soal koratorial dan restorasi akan menjaga kesegaran koleksi museum. Seperti museum yang punya banyak koleksi hendaknya bisa menyajikan koleksinya secara bergiliran sehingga memberikan kesan yang baru.
Sebelumnya, Prof. Ardika juga menekankan pentingnya unsur kebaruan dalam sebuah museum kendati koleksinya benda-benda masa lampau. “Untuk pengembangan museum, mesti memperhatikan perkembangan masa kini, diikuti oleh penataan yang menarik, serta diperlukan pemanfaatan informasi teknologi,” papar Ardika.

Benda-benda koleksi museum juga perlu dirawat dengan penataan menarik.

Terkait kunjungan generasi muda ke museum, Ardika mengharapkan dilakukan rekayasa budaya dengan mengagendakan kedatangan pelajar ke museum secara berkala.

Museum sama dengan masa lalu yang sangat penting sebagai cermin atau refleksi di kehidupan masa sekarang. Diibaratkan masa lalu tersebut sebagai akar yang tidak boleh dilupakan dengan fungsi penting yang dimiliki dalam kelangsungan kehidupan dan sebagai jati diri bangsa.

Salah seorang pelajar yang hadir dalam sarasehan, Novi, sempat mengungkapkan pesimismenya dengan harapan kunjungan generasi muda ke museum. Pasalnya, untuk mendapatkan informasi apa pun sangat mudah diakses melalui internet tanpa mesti berkeringat turun ke lapangan. Hal ini segera ditanggapi Ardika sebagai suatu tantangan bagi pengelola museum agar bisa semakin dicintai masyarakat khususnya generasi muda.

Sedangkan Pande Wayan Suteja Neka banyak memaparkan pengalamannya dalam mengelola museum yang mengoleksi lukisan karya seniman yang terinspirasi dengan budaya Bali. Selain lukisan, Neka juga mengoleksi keris sebagai pusaka bangsa yang diakui UNESCO. (tap)

Memaknai Museum di Hatiku

Sumber : Denpost, Rabu, 6 Januari 2010

”Museum di Hatiku” merupakan tag line Visit Museum Year/VMY (Tahun Kunjungan Museum 2010 yang diluncurkan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik belum lama ini di kantor Budpar, Jakarta. Selain itu diluncurkan jingle dan logo VMY.

Menurut ketua Himpunan Museum Bali (Himusba) Nyoman Gunarsa yang hadir dalam peluncuran tersebut,tag line VMY yang memberikan maksud dan pesan secara eksternal kepada masyarakat bahwa museum berkeinginan mendapat tempat di hati masyarakat dalam rangka menumbuhkan rasa terhadap museum.

Seperti diketahui, museum yang dalam bahasa latin disebut musea (tempat para dewa bersemayam) merupakan tempat untuk melestarikan benda-benda warisan budaya alias harta karun (treasure). Museum juga sangat strategis untuk membangkitkan kembali harga diri dan jati diri bangsa dalam berdemokrasi.

Sedangkan logo VMY yang melambangkan bentuk hati yang berwarna-warni merupakan representasi dunia baru menyenangkan yang akan di dapat masyarakat di dalam museum. Selain itu mengarahkan persepsi masyarakat pada eksistensi museum untuk senantiasa dekat di hati. “logo ini memberikan gambaran betapa hebatnya dinamika kehidupan baru museum yang akan datang,” tegas sang maestro.

Gunarsa menambahkan, kesadaran akan harga diri, mencintai seni-budaya serta ciptaan bangsa sendiri merupakan kewajiban berbangsa yang harus ditegakkan dan dibudayakan. Karenanya, museum sebagai salah satu kekayaan seni budaya bangsa harus ditempatkan pada posisi yang sangat starategis dan mulai dalam pembinaan karakter bangsa. “Untuk itu mari kita buktikan untuk mencintai hasil-hasil karya seni budaya bangsa sendiri dengan berkunjung ke museum-museum yang tersebar di seluruh nusantara. Bangsa yang cerdas dan berbudaya adalah bangsa yang mencintai hasil karya seni budaya,”tambah pemiliki Museum Seni Klasik Nyoman Gunarsa, Klungkung ini.

Dengan pencanangan 2010 sebagai tahun Kunjungan Museum, Gunarsa mengajak masyarakat luas untuk meningkatkan peran museum dengan penampilan yang lebih maju dan pengaplikasikan penemuan-penemuan teknologi mutakhir dalam menumbuhkan peran museum yang lebih segar, edukatif, apresiatif serta meningkatkan kepariwisataan nasional.

Dalam acara Tahun Kunjungan Museum 2010 ini, direktorat museum pusat menunjuk 7 provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Yogyakarta dan Medan sebagai tuan rumah sekaligus penyelenggara. Sedangkan di Bali, Himusba dipercaya mengisi acara spektakuler tersebut dengan berbagai acara seni budaya di masing-masing museum. Khusus pembukaan dan puncak acaranya dijadwalkan berlangsung di Museum Seni Lukis Klasik Bali Nyoman Gunarsa di Klungkung pada 10 Juni mendatang. Acara ini akan diiringi di antaranya Festival Barong Bali, kolaborasi seni Cunda Manik, launching buku “Rwa Bhineda” oleh Prof. Dr. Ron Jenkins serta pameran besar Sanggar Dewata Indonesia. (tap)

10 Museum Terima Anugerah Pers K. Nadha Nugraha

VMY 2010, Jadikan Kebangkitan Museum

Sumber : Bali Post, Rabu, 6 Januari 2010

Visit Museum Year (VMY) 2010 yang dicanangkan pemerintah hanya bertujuan untuk mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya ke museum. Padahal, seharusnya VMY dijadikan kebangkitan museum dalam melestarikan benda-benda yang mempunyai nilai budaya tinggi. Demikian penegasan Direktur Utama PT Bali Post Satria Naradha, saat menganugerahakan Anugerah Pers K. Nadha Nugraha yang berlangsung di Museum Nyoman Gunarsa, selasa (5/1) kemarin.

Kata Satria, benda-benda yang mempunyai nilai budaya adiluhung itu juga jangan hanya ada di museum, tetapi tetap menjadi sikap keseharian masyarakat Bali. Seperti benda-benda yang tersimpan di Museum Subak di Tabanan. Sejumlah alat yang pernah digunakan petani di Bali sudah jarang ditemui. Demikian pula benda yang ada di Museum Yadnya. Jangan sampai terjadi sarana upacara itu lengkap ada di museum, tetapi masyarakat Bali sudah tak melakukan yadnya. Sebab, kejayaan sebuah bangsa akan dipengaruhi sejauh mana masyarakatnya melaksanakan nilai-nilai yang telah ditanamkan leluhur dalam kehidupan sehari-hari.

Ketua Himpunan Museum Bali (Himusba), Nyoman Gunarsa dalam sambutannya menyatakan bangga karena museum sudah menjadi perhatian. Terbukti dengan diberikannya Anugerah Pers K. Nadha Nugraha kepada museum di Bali. “Ini hari yang membahagiakan bagi museum. Selain penganugerahan Pers K. Nadha Nugraha tahun ini oleh Menbudpar juga dicanangkan Visit Museum Year 2010,” ujar Gunarsa.

Visit Museum Year yang diluncurkan pemerintah pusat tentu diharapkan dapat meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap museum. Karena museum adalah harta karun yang tak ternilai harganya.

Selain Gunarsa, Putu Supadma Rudana juga memberikan apresiasi dengan diluncurkannya Visit Museum Year2010. Selain itu, ia yang Ketua IV Asosiasi Museum Indonesia (AMI) juga menyatakan salut dan bangga atas sinergisitas yang dibangun kelompok Media Bali Post dalam mengembangkan seni budaya sebagai jiwa bangsa.

10 Museum

Anugerah Pers tahun 2010 ini diberikan kepada 10 Museum di Bali. Yakni; Museum Bali, Museum Puri Lukisan Ubud, Museum Neka, Museum Seni Lukisan Klasik Nyoman Gunarsa, Museum Rudana, Museum Sidik Jari Denpasar, Museum Subak di Tabanan, Museum Purbakala di Gilimanuk, Museum Gedong Kirtya di Buleleng dan Museum Yadnya di Badung. (bal)

Putu Supadma Rudana : Nonverbal ke Masa Depan

Di usia 34 tahun, Putu Supadma Rudana sudah berinteraksi dengan seniman – seniman sekaliber master, juga dengan Presiden R.I. Jalan apa yang telah ia lewati untuk berada di titiknya sekarang ini?

Jalan Raya Ubud, Sabtu pagi, matahari cerah menembus daun-daun di pepohonan lebat, musik tradisional Bali merayap di sepanjang jalan, mengikuti orang-orang berpakaian adat putih dan gadis-gadis berkebaya, kendaraan di seisi jalanan terhenti, mengalah pada upacara adat pagi. Galeri-galeri kecil bersisian mengapit jalan, mereka berjejalan dengan aneka lukisan yang meramaikan Ubud. Inilah kawasan seniman, lukisan-lukisan begitu meresap sampai ke tepi-tepi jalan.

Tak jauh dari kemacetan, bergeser ke arah selatan, di tepian hamparan sawah hijau, suasana sangat berbeda, di sini (kawasan Peliatan) ketenangan seperti menyapu alam. Di dalam keheningan, pergesekan angin dan daun kelapa bisa jelas terdengar. Tiupan angin bisa turun ke bawah ke anak-anak tangga menuju pintu masuk sebuah bangunan besar yang menyimpan lukisan-lukisan agung karya pelukis handal Indonesia. Gedung ini berwarna abu-abu batu dan aksen warna tanah oranye yang khas Bali, inilah Museum Rudana yang sohor, museum yang menyimpan karya-karya kelas master.

Sebelum masuk seorang anak muda telah menunggu ramah, namanya Putu Supadma Rudana (34), orangnya sangat sederhana, tinggi dan ramping, berkulit gelap, murah tersenyum, bahasa tubuhnya santai dan pandangan mata yang damai. Semua yang ada dalam dirinya ini tergolong biasa saja, tapi ternyata elemen ‘biasa saja’ inilah yang membuatnya jadi powerful. Ia mampu menyandingkan karya delapan orang pelukis kaliber master di Indonesia dalam satu ruangan, siapa yang pernah melakukan? Belum ada. Semua seniman punya ego dan sensitivitas tinggi. Siapa yang sanggup menggandeng Srihadi Soedarsono, Made Budhiana dan Nyoman Erawan di satu dinding? Siapa yang kuat mempertemukan Made Wianta, Sunaryo dan Nyoman Gunarsa, untuk saling bersisian? Dan Putu sudah melakukannya. Bagaimana?

Dalam seni kelas unggul, tentu uang bukan alat untuk memersatukan segalanya. Karena kalau iya, tentu persandingan delapan pelukis master sudah lama ada. Berarti ada hal lain yang diperlukan. Coba lihat apa yang telah dilakukan Putu, ia menggunakan unsur yang paling dasar, kerendahan hati serta impian yang tinggi. Menurut Putu, berbicara dengan seniman itu tidak bisa mengandalkan bahasa verbal, kita harus menggunakan hati, cermat membaca sinyal-sinyal nonverbal, dan ini memerlukan kerendahan hati yang sabar.

Impian yang setinggi langit juga diperlukan, para seniman adalah para pemimpi, dan Putu mengimbangi mereka dengan impian pribadinya, ia percaya bahwa seni adalah aset besar untuk kemajuan Indonesia. Formula inilah yang ia pakai untuk mempertemukan para pelukis senior. Dalam prosesnya tentu ini disokong pula dengan kepandaian Putu dalam melobi dan bernegosiasi. Putu memiliki titel Bachelor of Science dari Maryville University, St. Louis, Amerika (1996). Juga titel Master of Business Administration dari Webster University of St. Louis, Amerika (1998).

Lalu bagaimana Putu tidak membabi buta untuk memasukkan setiap seniman dalam kelas master?

“Saya senang menilai karya seni, saya diberikan hal yang luar biasa, di samping mata saya dikaruniai hati dan jiwa, saya percaya bisa melihat karya seni mana yang bagus dan berpotensi. Mungkin karena saya dilahirkan dalam lingkungan seni, dari kecil sering bertemu dengan banyak seniman, Affandi sudah seperti kakek sendiri, dengan Nyoman Gunarsa ketika saya kecil, saya ikut-ikutan melukis di sampingnya. Pelukis-pelukis muda seperti Erawan dan Budhiana sudah seperti kakak sendiri, jadi dari awal secara alamiah memahami cara pikir dan pergaulan seniman. Saya kira saya punya indera keenam”.

Putu anak pertama dari empat bersaudara, ayahnya, Nyoman Rudana (tokoh yang sangat dekat dengan seniman) adalah pendiri Museum Rudana. Pergaulan Nyoman Rudana dengan seniman-seniman tentu mewarnai pertumbuhan Putu, termasuk kelihaiannya beredar di kalangan seniman seperti saat ini. Tidak hanya bergaul, Putu juga ikut berperan. Kini ia menjadi Ketua III Himpunan Museum Bali, dengan gebrakan nyata yang telah ia capai berupa penerbitan buku hardcover mewah berjudul Treasures of Bali, sebuah buku panduan tentang museum penting di Bali, dan telah didistribusikan secara internasional. Program bukunya ini tidak lenyap ditelan angin, ia memeroleh sambutan hangat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden menorehkan predikat Excellent kepada Putu, lewat tulis tangan langsung di atas cover buku yang diluncurkan. Tentu presiden tidak sembarang mengeluarkan statement, pasti telah ada perhitungan agar siapa saja bisa mencontoh apa yang telah dilakukan Putu.

Apa untungnya bergaul dengan seniman master ?

“Luar biasa. Yang saya dapatkan …, walau mereka diam dalam melukis dan berkarya, mereka sebenarnya berbahasa nonverbal, mereka berfilosofi. Kita kadang-kadang selalu berusaha mengucapkan sesuatu untuk menjelaskan banyak masalah, sementara seniman hanya menggores di kanvas, dan dengan kekuatan batin, mereka bisa menunjukan segalanya. Mereka jarang berkata tidak, tapi kita harus pandai memahami kapan mereka tidak setuju. Dalam hal ini saya belajar dari Bapak Joop Ave, dia guru saya untuk komunikasi, dia menekankan bahwa bahasa nonverbal ini harus dikuasai”.

Putu melangkah naik ke Museum Rudana, interior luas bersegi empat membuat semua lukisan yang tergantung bisa dilihat dari arah mana saja. Putu melangkah pelan menjelaskan satu per satu setiap lukisan yang dilewati di luar kepala. Tidak seperti museum atau galeri lain yang berpameran lalu selesai acara semua lukisan dikembalikan ke pelukisnya, Museum Rudana dan Rudana Fine Art Gallery yang dipimpin Putu melakukan sistem yang berbeda.

“Di sini kami investasikan dana untuk mengoleksi semua karya. Kami beli dulu semuanya, barulah berpameran. Setelah itu kami promosikan habis-habisan, ini memang tidak mudah, terutama untuk seniman-seniman kelas master, mereka akan menilai dulu tempat kelayakan karya mereka dipamerkan”.

Di awal kiprahnya di ladang seni ini, Putu kerap dihujani berbagai kritikan, menurutnya pujian malah jarang ada. “… tapi saya terus berbuat, tak mundur hanya karena kritikan, tujuan saya baik dan positif, saya ingin menunjukan bahwa Indonesia memiliki seniman-seniman terbaik yang luar biasa. Apa yang saya lakukan ini lengkap dengan konsekuensinya. Saya berbuat komplit dengan resikonya, tapi kalau kita sudah kenal tujuan kita, tentu kita bisa meminimalkan resikonya. Saya yakin, di masa depan nanti benefit yang timbul akan luar biasa berguna untuk bangsa Indonesia”, ujar Putu.

Kesibukan Putu bukan melulu di ladang seni, saat ini ia pun sibuk di ladang minyak dan gas bumi, ia menjabat Wakil Ketua Himpunan Pengusaha Minyak dan Gas Bumi Bali. Ia juga sibuk di ladang golf, Putu adalah Ketua III Persatuan Golf Indonesia Pengurus Daerah Bali. Dalam deretan kesibukan ini, Putu masih bekerja keras untuk persiapan membawa keliling dunia karya delapan seniman yang sudah ia tetapkan sebagai Modern Indonesian Masters. Putu Supadma Rudana tengah mempersiapkan World Tour untuk Srihadi Soedarsono, Nyoman Gunarsa, Nyoman Erawan, Made Budhiana, Sunaryo Sutono, Made Wianta, Made Djirna dan Wayan Darmika. Ia masih muda, tentu masih punya waktu untuk mengejar cita-cita mulia.

Soap Magazine
Edisi 03 Maret 2008
Teks : Syahmedi Dean, Foto : Yano Sumampow

MUSEUM RUDANA 13 YEARS ON

It was an impressive gathering indeed: Culture and Tourism Minister Jero Wacik and his earlier predecessor, Joop Ave (“the Father of Indonesian Tourism”), were there. So were former President Soeharto’s son-in-law and daughter, Miss Indonesia 2008 as well as Bali’s elite in the realm of art, including internationally-acclaimed painter Nyoman Gunarsa.

The occasion: the 13th anniversary of Musuem Rudana, a three-storey, 500sqm building built on 2.5 acres of land located in Peliatan village, Ubud, Bali, about 16km from Denpasar, in the Museum Rudana compound.

President Susilo B. Yudhoyono was slated to be present and put his signature on the plaque. He then decided that the event should take on a grander scale by holding it in Jakarta some time in December.

SBY would not be the first president to put his seal approval on Museum Rudana. 13 years ago no less than the late President Soeharto officially opened it (on 26 December 1995) as part of the commemoration of the 50th Indonesian Independence anniversary.

Museum Rudana is the brainchild of founder Nyoman Rudana, who started his business as an art dealer by setting up the Rudana Fine Art Gallery in his hometown Ubud, Bali, in 1978.

(Rudana, who is also a prominent politician, is also a successful businessman in his own right: he operates several gas stations and manages other businesses.)

Museum Rudana exhibits more than 400 pieces of the work of fine art and sculpture of various Indonesian artists. On the first and second floor one finds the works of modern Indonesian artists Affandi, Basuki Abdullah, Srihadi Soedarsono (he is famous for his series of Borobudur paintings) Nyoman Gunarsa, Made Wianta and others. The works of post-modern Indonesian artists Nyoman Erawan and Made Budhiana are also present.

Museum Rudana conducted several exhibitions overseas. In 1997 and 1998, it held exhibitions in Kuwait. In 2000 the museum held an expo in Rome, Italy, where Rudana received L’albero dell’umanita (The Tree of Humanity) Award from the Italian government.

One of the highlights of the anniversary was the “Trisakti” painting exhibition of three of Indonesia’s finest artists, Srihadi Soedarsono, Nyoman Gunarsa and Made Wianta. The three painters as well as Singaporean artist Kumari Nahappan are the recipients of the Ksatria Seni Award II presented on that same occasion, as well as Minister Wacik, Joop Ave, art patron Siti Hardiyati Rukmana and former Bali Governor Dewa Made Beratha.

“The three Indonesian maestros reflect Indonesia’s maginificent sense of artistry. Their works are equal to that of any world class artist,” says Putu Rudana, the son of Nyoman, who manages Museum Rudana. While the day saw the elderly Rudana and his musuem take center stage, it is likely that Putu, who will be running for the House next year, will take on a higher national profile in the near future. In the coming months he is set to unfurl before the president his grand plan “to synergize all elements of Indonesian art and culture in the framework of national development.” Stay tuned.

Text and by Taufik Darusman

Interview With Putu Rudana

He’s young, handsome and now exceedingly well known since his billboards and activities are all over the island and country. But what’s behind this stylish, modern, smiling presentation. NOW! Bali’s Alistair Speirs went to the quiet and peaceful, manicured grounds of Rudana Museum to meet the man himself. Here’s part of a wide ranging discussion on culture, politics, life, creativity, responsibility and the future of the world!

As we approach the Presidential elections how do you think democracy has help Bali?

Democracy is a process of inspiring people. At some point people will begin to understand that happiness is inside, that happiness is serving, and that democracy is not about sacrificing other people but sacrificing yourself.

If we see Bali in the perspective of culture, the palaces are always close the temples, and so everywhere people are equal through religion. Bali is part of Indonesia and our “Tatwam Asi” (I as you, you as me) philosophy can guide and inspire the both Indonesia and world.

Do you think Indonesia as a nation is heading in the right direction?

I have great respect for our founding fathers and what they have achieved for Indonesia:
• Sukarno (Indonesia’s first President) was a great leader who inspired the people.
• Suharto (the second president) I greatly admire for his politeness (santun) and his amazing ability to speak to the common people.
• SBY (the current President) this is a man who doesn’t just talk but actually does things
Yes we are absolutely going in the right direction, 2009 should be a year of consolidating our stability and only in 2014 should we begin to look for a greater vision for the future. One note of caution though is that the levels of education in Indonesia are not get high enough so people can only express what they actually see, and what they see is not always the correct version.

What about the tourism industry which is the backbone of the economy in Bali?

Tourism is really is the staple diet of Bali so I don’t want to criticize but I am sad when I see every tourists watching poor performances because everyone trying to keep prices down. The hotel rooms here should be much more expensive, it should be a privilege to visit this wonderful island. It does seem that tourism leaders are now all heading in the same direction which is good since tourism has infinite potential but based on the spirit of Nusantara, our archipelago nation, Bali should be united with the rest of Indonesia through the sea.

But is the tourism industry being well managed in Bali?

We in the Art and Culture Business are really dedicated to our industry, “Melalui Kecintaan kepada Jiwa Bangsa”, so we can always see areas that can be improved. For example we don’t need to ban billboards just insist they are beautiful! We should not just have the exterior of buildings looking architecturally Bali but the interiors as well can be carved and styled. Petrol stations can be Bali style as well—I have already started one—and so should the airport represent our culture, it should be an art gallery greeting guest on arrival. So yet it’s being well managed but its not focused enough on being spiritually Bali, Indonesia.

So we should concentrate even more on art and culture?

Absolutely! Every country has a soul which is reflected in the products it makes. Look at Germany with Mercedes, USA with Boeing, Japan with Sony and Korea with Samsung. We should also have products which reflect our soul, which is based on art and culture in addition to technology.

How can we achieve that?

First by seeing that tourism is a source of income, but that culture needs to be protected and funded to keep it pure and intact. These should be managed by separate ministries. Art and culture should be managed with love.

So you do recognize the importance of tourism as a foreign exchange earner?

Yes of course but we should concentrate on quality not quantity. When people come here they should “experience” Bali not just sightsee, they should join in the rice planting, understand the subak (irrigation system), and watch the padi (experiencing rice harvesting). There is great “Taksu” in this experience–added value to your life. Here you can really understand “Tri Hita Karana” the relationship between God, Man, and Nature. So there is so much more value we can give to tourists and so much more contribution we can expect from tourism.

And what is your vision for future?

Great nations understand the soul of their country. They cannot build the soul by copying from others, that’s just consumptive not creative. So we must understand our archipelago, use our rivers and oceans to their best potential. We must subsidize our farmers to ensure our roots in agriculture are preserved. And above all I have a dream that all sectors of our country; legislative, executive and corporate sectors will live art and culture. That’s why the program of the government to declare 2010 as “Visit Museum Year” to get people attention back to the richness of our own culture is a great starting point for Indonesia. (NOW)

A great vision. Many Thanks.

Sumber : Now! Bali Life on the Island edisi Agustus 2009
Text : Alistair Speirs