Author: Administrator

Doa dan Uluran Keprihatinan Bagi Nusantara

Sumber: Bali Post, Rabu, 10 November 2010

image005Doa bagi Nusantara dilantunkan dengan keheningan dan kebeningan hati di Museum Rudana, Minggu (7/11) lalu serangkaian acara penutupan Bali Yoga Festival yang berlangsung sejak 5 November lalu.

Doa yang diprakarsai oleh Putu Supadma Rudana ini ditujukan untuk menyatukan energi spiritual penuh kasih guna turut membantu saudara-saudara sebangsa yang tengah mengalami cobaan dan ujian di Wasior, Mentawai dan juga di sekitar Gunung Merapi.

Lantunan doa bersama itu dihadiri pula oleh Ida Pandita Mpu Nabe Parama Daksa Natha Ratu Bagus, Founder of Museum Rudana Nyoman Rudana, beserta keluarga besar Museum Rudana, dimaknai pula sebagai kebersamaan dalam keprihatinan sebagai peneguh ikatan batin sesama anak bangsa di nusantara ini. Penyatuan prana dalam naungan daya spiritual kebersamaan ini, diyakini akan mendorong terciptanya keselarasan dan keharmonian antara manusia, alam, dan juga Sang Maha Agung.

“Semoga segala kebahagiaan, kedamaian dan kesejatian memancar ke segenap rasa, karsa, sparsa, cipta dan karya, di mana kita dapat kembali selaras dan harmoni dengan alam dan Yang Maha Agung. Dan semoga pula saudara-saudara kita yang tengah mengalami cobaan dan ujian diberi kekuatan dan kesanggupan untuk menghadapinya,” kata Putu Rudana.

Dalam kesempatan itu juga Keluarga Besar Museum Rudana menggelar aksi spontan berupa pengumpulan dana yang akan disalurkan kepada media-media terpilih, baik lokal maupun nasional, yang telah membuka posko penanggulangan bencana dan keprihatinan bersama.

Sebelumnya, tujuh tokoh spiritual Bali, yakni Ida Pedanda Gede Ketewel Kemenuh, Ida Pedanda Gede Made Gunung, Ida Pandita Mpu Nabe Parama Daksa Natha Ratu Bagus, Merta Ada, dr. Gede Kamajaya, Kadek Suambara, serta Prabu Darmayasa, Jumat (5/11) lalu memperoleh penganugerahan Angkus Prana dari Museum Rudana, Peliatan, Ubud.

Museum Rudana mempersembahkan Anugerah Angkus Prana kepada tujuh tokoh spiritual Bali yang selama ini telah terbukti mendedikasikan baktinya guna melestarikan keselarasan dan keharmonian masyarakat Bali beserta adat, istiadat dan budayanya yang adiluhung. Pada acara yang digelar Jumat (5/11) di Museum Rudana kemarin, serangkaian dengan Bali Yoga Festival.

Cerminan Doa Bersama

Sumber : Denpasar Post, Rabu, 10 November 2010

image004Prasasti Angkus Prana tidak hanya dapat dimaknai sebagai wujud persembahan, melainkan juga cerminan doa bersama untuk menyatukan berbagai prana atau unsur kehidupan yang hakiki guna mewujudkan pulau Bali yang lestari serta penuh dengan toleransi. Prasasti ini bukan hanya berdimensi masa kini, melainkan juga memiliki nilai-nilai pencerahan bagi generasi mendatang. Terukir dalam prasasti tersebut renungan Putu Supadma Rudana: Sebuah pesamuan kebersamaan kita dalam doa, puja dan bakti kepada Sang Maha Agung.

Di sinilah dimaknai karunia kasih dan cinta guna menjunjung dan menggaungkan nilai-nilai luhur keselarasan serta keharmonian antara sesama umat manusia, semesta raya, dan Sang Maha Pencipta. Semoga segala kebahagiaan, kedamaian dan kesejatian memancar ke segenap rasa, karsa, sparsa, cipta dan karya, di mana semua makna luluh menyatu ke mula yang pertama ke inti sari segala yang hakiki.

Angkus Prana sendiri dipetik dari Bahasa Sansekerta yang merujuk pada kisah Mahabarata yang menceritakan tentang bagaimana kepahlawanan Sang Bima, putra Pandu, yang menjunjung di bahunya keempat saudara beserta ibunda tercinta, Kunti, guna menghindari marabahaya berupa jebakan kobaran api yang direncanakan secara licik oleh Para Korawa. Terkandung dalam peristiwa ini, sebuah nilai-nilai filosofis luhur tentang kebersamaan dalam keselarasaan dan keharmonian, serta nilai-nilai kepahlawanan yang hakiki. Hanya melalui penyatuan segala prana dalam keseluruhan energi kosmis atau semesta, maka kebajikan yang terefleksi pada diri Bima, akan memperoleh wujud kekuatannya melalui puja, doa, serta bakti.

Selain melalui persembahan Anugerah Angkus Prana berserta peresmian prasasti, sebuah wujud doa bersama juga dilakukan demi keharmonian dunia, serta ditujukan agar masyarakat, lingkungan serta seluruh mahluk yang berdiam di pulau ini, bangsa Indonesia serta semesta raya, senantiasa dalam naungan kedamaian dan kesentosaan, selaras dan harmoni dengan Tuhan Yang Maha Esa. Doa bersama ini diwujudkan dengan penanaman pohon Bodhi oleh Gubernur Bali, Nyoman Rudana serta Ketua Panitia Bali Yoga Festival Dra. Made Suardewi.

Dra. Made Suardewi, dalam laporan, berharap supaya kegiatan ini dapat melibatkan segenap masyarakat pecinta yoga dan spiritual untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang damai dan tenteram. ”Bali Yoga Festival ini berupaya memberi pemahaman yoga secara holistik kepada masyarakat. Intinya, yoga itu bukan sebatas asana,” ujarnya. Melalui olah yoga, berikut tahapannya, yakni yama, niyama, asana, pranayama, pratyahara, dharana, dyana dan samadi, maka seorang anak akan menjadi baik seperti yang diidam-idamkan lahirnya anak suputra.

Merujuk Kisah Mahabarata

Sumber: Denpasar Post, Rabu 10 November 2010

image003 Angkus Prana dipetik dari Bahasa Sansekerta yang merujuk pada kisah Mahabarata yang menceritakan tentang bagaimana kepahlawanan Sang Bima, putra Pandu, yang menjunjung di bahunya keempat saudara beserta ibunda tercinta, Kunti, guna menghindari marabahaya berupa jebakan kobaran api yang direncanakan secara licik oleh Para Korawa. Terkandung dalam peristiwa ini, sebuah nilai-nilai filosofis luhur tentang kebersamaan dalam keselarasaan dan keharmonian, serta nilai-nilai kepahlawanan yang hakiki.

Hanya melalui penyatuan segala prana dalam keseluruhan energi kosmis atau semesta, maka kebajikan yang terfeleksi pada Bima akan memperoleh wujud kekuatan melalui puja, doa, serta bakti.

Prasasti Angkus Prana merupakan cerminan doa bersama untuk menyatukan berbagai prana atau unsur kehidupan yang hakiki guna mewujudkan pulau Bali yang lestari serta penuh dengan toleransi.

Prasasti ini bukan hanya berdimensi masa kini, melainkan juga memiliki nilai-nilai pencerahan bagi generasi mendatang.

Peresmian Prasasti Angkus Prana dilakukan di Museum Rudana, di mana batu prasasti dikelilingi oleh Mandala, salah satu lambang suci dalam agama Hindu, yang mencerminkan juga keharmonisan antara manusia, semesta alam, serta Yang Maha Agung.

Ketujuh tokoh spiritual ini meresmikan Prasasti Angkus Prana dengan menyentuh batu dengan telapak tangan ke prasasti bersama-sama, disaksikan Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, Founder of Museum Rudana serta Putu Supadma Rudana.

Doa bersama untuk keharmonian dunia, serta ditujukan agar masyarakat, lingkungan serta seluruh makhluk yang berdiam di pulau ini dalam naungan kedamaian dan kesentosaan, serta senantiasa selaras dan harmoni dengan Tuhan Yang Maha Esa

Senyawa Jazz dan Jegog di Bali

Sumber: yahoo.news, Jumat, 22 Oktober 2010

image007Panggung setinggi pinggang orang dewasa berdiri di depan Museum Rudana, Ubud, Gianyar, Bali. Patung Sang Hyang Basuki dan Taksaka mengapit panggung yang dipayungi pohon jepun. Malam menjelang, dua naga penjaga bumi Bali itu memberi nuansa mistis.

Ratusan undangan bergaun serba putih memasuki lokasi museum di lahan dua hektar itu. Lampu warna-warni menyinari. Para pengunjung, tak hanya menonton, juga menjadi bagian pertunjukan. Perlahan, bak sebuah ritual, mereka berjalan perlahan memasuki museum mengamati ribuan karya seni berupa lukisan dan patung.

Di antara yang dipamerkan adalah karya I Gusti Nyoman Lempad, Nyoman Gunarsa, dan Made Wianta. Selain itu ada juga karya maestro Affandi, Basuki Abdullah, Srihadi Soedarsono, dan Sunaryo Sutono. Ada juga lukisan seniman yang bermukim di Ubud Antonio Blanco, juga ada karya Yuri Gorbachev (Rusia), Jafar Islah(Kuwait), dan Iyama Tadayuki (Jepang).

Setelah menikmati lukisan, satu persatu menempati tempat duduknya di bawah tenda putih di depan panggung. Suasana senyap, menanti sebuah persembahan karya seni yang bertajuk “Panca Tan Matra” yang diselenggarakan pada Rabu 13 Oktober 2010 itu.

Panca Tan Matra bagi Bali memiliki makna yang sangat mendalam. Adalah lima sari inti hakiki alam semesta, yaitu akasa (langit), apah (zat cair), teja (sinar api), bayu (angin), dan pertiwi (tanah). Semua itu diyakini tak terpisahkan dari terjadinya penciptaan, meliputi bhuwana agung atau makrokosmos dan bhuwana alit atau mikrokosmos.

Di sini, makna Panca Tan Matra itu direfleksikan dalam kolaborasi suara, rupa, dan kata. Agar makin kuat, Presiden Direktur Museum Rudana Putu Supadma Rudana, memanggil musisi Dwiki Dharmawan, memadunya dengan gitaris Brasil Toninho Horta, penyair Warih Wisatsana, koreografer I Nyoman Sura, dan komposer Nyoman Windha.

Kehadiran musisi ternama ini tentu saja memanjakan pengunjung. Mereka, setelah menjalankan ritual rupa di dalam museum, menyaksikan kata dan suara.

Suasana museum mulai senyap saat 20 pemusik Jegog musik tradisi Bali yang diciptakan pada 1912 mulai bermunculan di atas panggung. Berpakaian serba gelap mereka menempati sisi kiri dan kanan panggung. Kemudian diikuti Dwiki Dharmawan yang menempati tempatnya di kursi keyboard.

Lalu Putu Supadma, menabuh gendang pertanda seni kata dan suara segera dimulai. Dia berteriak, “Heeeeee, silahkan.” Jegog bertalu-talu, Berpakaian serba putih dengan wajah bertopeng, Nyuoman Sura, masuk dengan gerak tari kontemporer. Menceritakan makna kehidupan. Berawal dari kecil, lalu membesar, dan berakhir kembali ke asalnya.
Terdengar penyair Warih Wisatsana mengucapkan makna Panca Tan Matra dalam bait-bait puisi, “Ketika suara menyentuh rupa, mengada dalam Kata, kembalilah semua makna ke mula segala yang pertama, kembalilah segenap arti ke inti sari yang hakiki.”

Selanjutnya Dwiki menyiramnya dengan irama jazz. Bersama dia ada Barry Likumahuwa dan basis Demas Narawangsa. Dira Sugandi, yang pernah berduet dengan Jason Mraz di gelaran Java Jazz 2010, mengumandangkan suara emasnya.

Puncaknya adalah Toninho Horta, yang lalu mengajak semua musisi untuk nge-jam. “Kami bermain bersama di sini sama sekali tanpa latihan,” kata Dwiki.

Torinho dan Dwiki menunjukkan kemampuannya memompa semangat pemusik Jegog untuk berkolaborasi bersama mereka. Hasilnya, musik jegog masuk dalam komposisi jazz yang unik. Laksana seekor ikan yang meliuk-liuk menari dalam akuarium.

Kolaborasi seperti ini memang pantas untuk tempat sekelas Museum Radana, penerima penghargaan Lalbero dellumanita Award (Pohon Perdamaian) dari pemerintah Italia. Ini museum yang dikunjungi tamu penting dari berbagai negara, seperti Presiden Cina Jiang Zemin pada 1995, juga Presiden Hongaria, Bulgaria, Pakistan, hingga mantan Presiden Amerika Jimmy Carter.

Tapi siapa sangka, gelaran besar Museum Rudana ini adalah tribute untuk seorang seniman kecil di Bali, Putu Pageh Yasa, yang lukisannya berciri khas anyaman bambu. Beberapa waktu lalu, dia tewas ditabrak truk saat mengenderai sepeda motor. Lukisan Pageh Yasa terpampang di dinding museum. Salah satunya berwujud wajah Barack Obama.
Pageh Yasa dan seniman lainnya-lah yang menghidupkan museum itu, sehingga ia tak hanya menjadi benda yang mati. “Museum diiberi energi agar terus menerus hidup,” kata Putu Supadma Rudana.

Usai pertunjukan, pengunjung tak juga pulang. Mereka menikmati suasana dan energi kehidupan yang dinyalakan para seniman.

Rudana Menggapai Wilayah Populer

Sumber: Kompas, Minggu, 17 Oktober 2010

Institusi seperti Museum Rudana telah lama mapan dengan citra ”tradisi”. Meski di museum ini juga dipajang karya-karya rupa modern, tradisionalitas tak pernah benar-benar hilang.

Kehadiran musisi jazz Dwiki Dharmawan yang menggandeng legenda hidup asal Brasil, Toninho Horta, Rabu (13/10), seolah menegaskan kiblat baru yang ingin dirambah museum yang berlokasi di Peliatan Ubud, Gianyar, Bali, ini. Apalagi dalam pentas kolaborasi yang diberi tajuk ”Panca Tan Matra” itu turut ambil bagian penyair Warih Wisatsana, koreografer I Nyoman Sura, dan komposer Nyoman Windha. Di dalam museum dipajang pula karya tiga perupa muda, Ida Bagus Indra, Putu Pageh Yasa, dan Wayan Darmika.

Sentuhan ke arah yang lebih populer ini tak lepas dari kehadiran Presiden Direktur Museum Rudana Putu Supadma Rudana, yang ingin membuat museum tidak menjadi institusi mati. Oleh sebab itu, museum harus terus-menerus diberi ”energi” baru ”Sehingga ia bisa terasa terus-menerus hidup bersama kita,” ujar Supadma Rudana.

Kemampuan Dwiki tak bisa diragukan lagi setelah malang melintang bersama Krakatau Band dengan mengusung gamelan Sunda. Kali ini ia bersama Nyoman Windha meramu musik jegog menjadi tampilan komposisi jazz yang unik. Jegog merupakan ensambel musik tradisi dari wilayah Jembrana, yang menggunakan bilah-bilah bambu dalam ukuran besar. Selain itu, musik ini memiliki laras transisi antara slendro dan pelog. Diperkirakan diciptakan tahun 1912.

Komposisi
Pada pementasan itu, Dwiki bersama Windha menciptakan komposisi berjudul ”Bima Kroda”. Dwiki sepenuhnya sadar tidak mudah mensenyawakan instrumentasi produk Barat, seperti piano atau keyboard dengan gamelan jegog. ”Oleh sebab itu, saya tidak berpatokan pada chord-chord reguler sebagaimana musik Barat. Saya tidak mau terkunci,” ujar Dwiki.

Komposisi ”Bima Kroda” menjadi lebih istimewa karena koreografer I Nyoman Sura dan penyair Warih Wisatsana secara spontan mengisi gerak dan makna. Dalam merespons tajuk ”Panca Tan Matra”, Warih berucap, ”Maka ketika Suara menyentuh Rupa/mengada dalam Kata/kembalilah semua makna ke mula segala yang pertama/kembalilah segenap arti ke inti sari yang hakiki/.”

Fragmen puisi ini boleh jadi mengisyaratkan pemaknaan ulang terhadap keberadaan institusi seperti Museum Rudana. Fondasi makna yang telah diletakkan oleh Rudana tahun 1995 sudah waktunya diperbarui mengikuti kencenderungan zaman, terutama dalam soal isi.

Di situlah kehadiran legenda hidup musik jazz asal Brasil Toninho Horta terasa tepat waktu. Walau kehadirannya kebetulan, karena Toninho sedang mengikuti festival jazz di Jepang dan Korea, dan mengisi waktu luangnya dengan hadir di Bali, tetapi ia memberi sentuhan kontemporer yang berarti.

Komposisi seperti ”For the Children” yang diciptakan Toninho pada era awal 1990-an, yang begitu populer dalam kancah Brasilian jazz, tiba-tiba memberi nuansa lain ketika dimainkan di halaman Museum Rudana. Kolaborasi tak hanya terjadi pada suara, kata, dan rupa di atas pentas, tetapi bangunan museum yang didesain dengan gaya tradisi Bali memperoleh ruang kreativitas baru. Di tembok-tembok museum seakan menempel petikan gitar Toninho yang memukau.

Harmoni dan melodi yang dominan pada gitar-gitar Toninho itu bahkan mengilhami Pat Metheny, salah satu gitaris jazz ternama, untuk menciptakan beberapa komposisi. Bahkan, Pat menobatkan Toninho sebagai salah satu komposer terbesar dalam bidang nylon-string guitar.

Pencapaian ini, meski tidak terlalu istimewa, penting artinya bagi eksistensi kebudayaan, khususnya museum seni rupa di Bali. Kebudayaan Bali sejauh ini sepekarena intervensi industri pariwisata. Lalu, kebudayaan seperti mati di dalam museum-museum. Dan Bali tidak boleh lari dari jati dirinya sebagai pengusung kebudayaan tradisional, yang sering diberi julukan adiluhung.

Kehadiran Toninho, Dwiki, Windha, Sura, dan Warih dalam nuansa jazzy itu bisa menjadi awal yang baik untuk menuju satu era, di mana kebudayaan adalah kreativitas yang tak pernah berhenti. Dan di Museum Rudana, yang selama ini dicitrakan tradisional dan bahkan klasik, kreativitas itu sudah dimulai….

Perspektif Putu Rudana Tentang Senirupa Indonesia

Perkembangan senirupa di Indonesia menggeliat terus. Setelah terjadinya booming harga untuk lukisan-lukisan yang berasal dari Asia (termasuk Indonesia), kini dunia seni kita dihadapkan pada bagaimana para stakeholder menyiasati serta mempertahankan fenomena booming senirupa tersebut. Berikut wawancara antara Putu Supadma Rudana, The Fine Art Promotor, tentang promosi senirupa Indonesia.

Setelah sukses dengan perhelatan senirupa yang melibatkan 8 maestro senirupa di Indonesia, yaitu Modern Indonesian Masters sekarang apakah ada kegiatan senirupa lagi dalam kalender Museum Rudana?

Tentu. Kegiatan seni rupa merupakan jiwa dari museum senirupa. Sebuah institusi, termasuk museum baru bisa dikatakan hidup kalau ia bisa memberikan manfaat-manfaat kepada masyarakatnya. Untuk memberikan manfaat ini kegiatan harus dibungkus sedemikian rupa sehingga atraktif bagi semua pihak. Nah, Museum Rudana senantiasa mencoba menyuguhkan tampilan-tampilan atau peristiwa senirupa yang bukan hanya atraktif, namun juga memiliki nilai yang penting bagi pertumbuhan seni baik di Bali maupun di Indonesia.

Bagaimana peran seorang pemimpin dari sebuah museum dalam menggerakkan roda aktivitas museum ini, padahal kegiatan besar, misalnya dengan pameran maestro yang baru lalu, membutuhkan beragam resources serta perencanaan yang amat matang?

Seorang pemimpin juga manusia biasa. Mereka hanya memiliki dua buah tangan saja. Namun, bagi saya, seorang pemimpin adalah mereka yang mempunyai instinc yang kuat tentang kapabilitasnya untuk melaksanakan sebuah proyek dengan berhasil. Ia harus mampu mengelola sumber dayanya. Seorang pemimpin juga harus menjadi koordinator yang handal. Dalam mengkoordinasikan sebuah perhelatan besar seperti yang lalu, saya harus pandai-pandai dalam mendelegasikan tugas. Namun, karena kita, mampu memberikan kepercayaan kepada mitra internal kita, yakni para staf museum yang professional, untuk melaksanakan tugas yang diberikan mereka, maka terjadi saling kepercayaan yang mantap.

Secara personal, apa yang saat ini Anda geluti dalam konteks seni rupa di Bali, Indonesia?

Saya masih konsisten dengan cita-cita awal saya, yakni saya ingin berkiprah dalam mempromosikan senirupa Indonesia. Setelah perhelatan pameran 8 maestro seni rupa kondang, sekarang saya mulai memusatkan perhatian pada promosi senirupa untuk seniman-seniman muda (awal).

Apa kriteria seniman muda yang masuk dalam standar promosi Anda?

Sebetulnya usia memang menjadi patokan, namun bukan satu-satunya. Saya melihat banyak seniman muda yang sebetulnya memiliki potensi luar biasa. Karena pengalaman-pengalamannnya mengasah ketrampilan melukis, baik secara teknik, komposisi maupun kematangannya dalam belajar dari alam maupun dari pelukis-pelukis lain, pelukis-pelukis muda ini menjanjikan sebuah masa depan berkesenian yang cerah. Dengan demikian bisa saya katakan bahwa sebetulnya rentang waktu bukan satu-satunya tolak ukur. Namun pengalaman serta pendalaman berkesenian yang lebih berbicara. Yang kedua, seniman tersebut harus mempunyai kapabilitas untuk produktif. Dengan karya-karya yang berkualitas yang mampu dipertanggungjawabkan.

Sekarang banyak sekali pelukis-pelukis yang bermunculan, sementara karya-karya mereka banyak juga yang tidak selektif. Bagaimana Anda menilai kualitas karya-karya pelukis muda ini?

Masalah kualitas ini memang tidak boleh dilihat dari satu sisi, yaitu senimannya saja. Karena kata berkualitas dan bermutu itu relatif, sehingga saya harus menerapkan seleksi yang ketat terhadap seniman-seniman yang ingin saya promosikan. Dalam seleksi ini saya juga harus menggandeng pihak-pihak yang memang profesional di bidangnya, misalnya kritikus seni handal yang memang mampu memilah-milah mana karya-karya yang menjanjikan dari karya-karya yang ikut-ikutan. Saya dengan tim seleksi akan memilih karya-karya yang memiliki karakter-karakter unik yang hanya dimiliki oleh si seniman tersebut. Selanjutnya, antara seniman yang saya promotori dengan kami juga harus mampu menjalin kerja sama kooperatif yang kuat, dengan artian bahwa kita memiliki wilayah tersendiri yang saling mendukung, namun tidak saling mencampuri. Di wilayah seniman, mereka berkarya secara kualitatif, di wilayah promotor, kami mencari celah marketing, PR (Public Relation), serta memformulasikan presentasi yang terbaik bagi karya-karya seniman tersebut.

Sebagai seorang promotor seni rupa, kiat-kiat apa yang Anda pakai untuk berkecimpung dalam dunia promosi senirupa ini?

Istilahnya, promosi senirupa menjadi ujung tombak bagi karya-karya seni dalam memasuki kancah kesenian dalam konteks yang lebih luas. Sebagai promotor saya juga berupaya untuk selalu menerapkan sustainability dan accountability. Sustainability mencakup keberlangsungan kegiatan kreatif seniman semasa masih dalam promosi saya maupun setelah seniman tersebut lepas menjadi seniman yang lebih professional mandiri, sedangkan accountability merujuk pada akuntabilitas, yaitu kemampuan kita untuk mempertangggungjawabkan bisnis promosi secara open book. Dengan demikian, lewat kontak promosi yang setara, tidak ada pihak yang akan berada posisi yang dirugikan. Saya sadar bahwa seringkali seniman merasa bahwa pihak ke dua atau ke tiga dari sebuah hubungan bisnis senirupa menjadi benalu yang kuat, mengikat dan menghisap mereka, namun ada pula promotor atau manager seorang seniman yang merasa senimannya tersebut tidak mampu membuahkan karya-karya yang telah mereka targetkan bersama. Salah satu filosofi saya dalam dunia promosi senirupa ini adalah bahwa saya hanya akan mempromosikan karya-karya dari seniman yang punya potensi untuk memberikan kontribusi positif pada khazanah senirupa Indonesia.

Seperti kita ketahui, ekses booming senirupa Asia masih terasa. Mengikuti trend nilai serta harga karya-karya mutakhir dari pelukis-pelukis kontemporer China, banyak pula karya-karya senirupa Indonesia yang memetik harga yang cukup menggiurkan. Namun di sisi lain terjadi pula semacam euphoria booming ini. Sehingga banyak sekali karya-karya yang dipaksa untuk dipasok dengan harga yang melangit pula. Bagaimana komentar Anda?

Saya melihat terjadinya sebuah fenomena yang saya anggap bisa memberikan ekes yang cukup berbahaya bagi seniman yang dipromosikan di luar proporsi. Dengan membungkus konsep berkesenian si seniman muda ini sedemikian rupa, promotor penyewa kritikus seni yang bisa menulis dengan apik, ia mampu membuat karya-karya pelukis tersebut menjadi manis untuk di lempar ke publik. Tentunya dengan membuat move atau trick-trick tertentu, misalnya dengan membandrol harga yang membuat kita bergeleng-geleng kepala, dan dengan memasang pialang yang seakan-akan menawar harga yang dibandrol tersebut. Alhasil, publik pecinta seni bisa terkecoh dengan ulah promosi seperti ini. Dan akhirnya, setelah masa manis atau masa produktif dari seniman muda kontemporer ini habis, maka habis pulalah hubungan bisnis seni ini. Dan ketika pasar sudah mencapai titik saturasi, atau titik nadinya, terhadap karya-karya lukis seniman tersebut, si seniman akan terpuruk. Ia akan kesulitan menjual karya lukisnya, karena masa edarnya sebagai perupa kontemporer memang sudah habis. Yang tersisa hanyalah kesan-kesan masa lalu dan potongan-potongan artikel Koran dan majalah tentang pameran-pameran perdananya.

Jadi istilahnya, sebagai seorang promotor senirupa, saya akan berupaya untuk bertanggungjawab terhadap apa-apa yang keluar dari tangan-tangan bisnis saya. Saya tidak ingin hasil jerih payah saya menjadi mubazir, seperti buah yang matang diperam, namun bukan di pohonnya. Dengan niat yang iklas, saya ingin hal ini tidak terjadi pada seniman muda sehingga mereka mampu secara berhasil berdiri dengan kaki mereka sendiri memasuk arena kompetisi berkesenian yang kadang amat berat ini.

Apa yang harus dimiliki oleh seorang promotor seni? Apakah ia harus mempunyai darah seni atau latar belakang tentang seni? Bagaimana menurut Anda?

Saya beruntung sekali. Saya pikir saya diberkahi Tuhan kesempatann untuk terjun langsung belajar. Pertama, saya dilahirkan di keluarga yang bukan hanya mencintai namun juga tumbuh, dan berusaha dalam bidang seni rupa. Mau, tidak mau, exposure dengan dunia seni rupa membentuk sebagain instinct bisnis saya. Ini mengingatkan waktu kecil saya di mana Bapak saya kadang-kadang memvawa kami bertandang ke seniman-seniman mendiang maestro Dullah dan Affandi, maupun maestro dari Bali termasuk Nyoman Gunarsa serta Made Wianta. Jadi, sejak kecuali saya selalu dikelilingi karya-karya seni rupa dan bertemu dengan seniman-seniman, baik lokal maupun mancanegara, baik yang belum terdengar maupun yang kesohor di dunia. Saat ini kami memiliki lebih dari 10.000 karya lukis yang masing-masing nilainya tinggi. Nah, pengalaman-pengalaman inilah yang memperkaya perbendaharaan pengetahuan saya tentang seni. Exposure perjalanan saya di luar negeri ketika saya menimba ilmu juga memberikan perspektif yang luas tentang seluk-belukpromoting the art. Ketrampilan-ketrampilan honest image building tentang karya-karya yang akan dipamerkan. Meeting people’s interest in the artwork dan berbagai expertise lainnya bisa saja kita fusikan dengan local wisdom. Namun, satu hal lagi yang amat penting dari upaya promosi adalah kemampuan kita untuk melihat ke masa depan—forecasting the future untuk karya-karya maupun predictability sang senimannya sendiri. Kita harus mampu membaca seberapa jauh sang calon seniman tersebut bisa berkontribusi, bukan hanya dalam artian finansial namun dalam konteks yang senirupa di luar batasan-batasan bisnis.

Jadi, untuk bergerak dalam bidang seni rupa kita tidak harus menjadi seniman pencipta karya seni. Kita semua percaya bahwa dunia senirupa amat membutuhkan sinergi dari para stakeholder karena disiplinnya ternyata juga kompleks, penuh dengan lapis-lapisan yang saling mengikat. Seniman kemungkinan tidak bisa secara langsung melemparkan lukisannya ke pasar kalau ia punya tujuan untuk menjualnya. Di samping mereka mungkin tidak menguasai pasar seni, mereka juga kemungkinan tidak memiliki negotiating skill yang bisa mengangkat ataupun mempertahankan harga. Sebagai promotor, kita memiliki tim profesional yang bisa mengisi celah-celah di mana biasanya sang seniman itu lemah. Di sinilah, sebagai art promotor atau art manager, saya mengkoordinasikan, mensinergikan berbagai sumber tersebut untuk mengangkat hasil seni rupa karya sang seniman. Kecuali seniman-seniman tertentu yang memiliki kharisma serta kemampuan publik terlatih, pada dasarnya seniman-seniman memerlukan pendamping untuk mengartikulasikan visi karya mereka secara verbal maupun tertulis ke publik. Di bidang ini pulalah, seorang art promotor melalui koordinasinya dengan kritikus seni, muncul untuk menjembatani bahasa visual dengan bahasa publik agar dapat diserap oleh masyarakat umum.

Baik. Setelah membahas ekses booming senirupa akhir-akhir ini, bagaimana Anda melihat perkembangan bisnis seni rupa saat ini?

Saya melihat adanya kegairahan yang berdinamika. Dari banyak fluktuasi bisnis senirupa yang saya amati, banyak sekali terjadi transaksi karya-karya seni yang kontemporer. Apalagi sekarang bermunculan balai lelang seni rupa, terutama di ibukota dan beberapa kota besar lainnya.

Bagaimana dengan praktek bisnis senirupa yang akhir-akhir ini juga ditimpali dengan trik-trik yang kurang sehat?

Terus terang, saya juga merasa miris. Kita lihat fenomena miring yang dipicu dengan adanya nilai-nilai nominal yang fantastis dari deal senirupa tersebut. Sehingga timbullah kegiatan bisnis senirupa yang rela mengorbankan nilai-nilai etika, baik berkesenian maupun berbisnis. Di samping sekarang terjadi pula maraknya palsu memalsu lukisan, timbul pula sindikat yang melakukan goreng-menggoreng karya seniman baru di samping tak sedikit seniman yang mengambil jalan pintas dalam berkarya misalnya dengan jalan mencetak karya beratus-ratus kemudian hanya menempel sedikit cat, kemudian diberi tandatangan. Beres. Saya berharap, selama masih ada seniman-seniman yang intens dalam berkarya dan memiliki komitmen yang teguh, senirupa Indonesia tidak akan menjelma menjadi industri lukisan belaka.

Bagaimana idealnya?

Kalau bisa kita harus menempatkan senirupa dalam tempat yang lebih terhormat. Senirupa bukan merupakan komoditi bisnis belaka. Sebab dari senirupa kita bisa belajar tentang peradaban suatu bangsa atau sejarah perjalanan suatu negara. Karena, seni rupa yang serius dikerjakan dengan keringat dan darah, ia juga bisa berisi pesan-pesan, petitih, bahkan bisa merepresentasikan suatu yang sakral. Sehingga karya seni rupa juga bisa memiliki potensi mediasi kedamaian dan perdamaian di dunia ini, dan bukan hanya sekedar alat barter belaka.

Sekarang tampaknya jelas pertanyaan bagi kami antara promoting the fine art dari bisnis seni rupa, yang untuk sebagian pelaku bisnis hanya disikapi sebagai benda seni belaka, tanpa mengindahkan potensi non finansial yang dikandungnya. Apa pesan terakhir dari Anda?

Kegiatan bisnis seni rupa, termasuk promosi seni rupa, tanpa memerhatikan aspek kultural, spiritual yang bisa dikandung dari seni rupa, akan memberikan dampak finansial yang diinginkan. Namun, kemungkinan besar dampak seperti ini sifatnya hanya kasat mata. Dari hasil transaksi lukisan, dana yang diperoleh akan diinvestasikan ke benda lain, termasuk benda seni. Setelah itu, ya sudah….Bagi kita, pecinta seni yang memang hidup di dalam seni rupa (bukan hanya sebagai pedagang), nilai-nilai dan dampak kejiwaan merupakan konsekuensi logis dari kepemilikan atau perolehan suatu benda seni. Uang bisa membeli apa yang bisa kita akses dengan indra, namun pancaran rasa dan rasio dari karya seni rupa tersebu tidak bisa dibisniskan. Di sinilah letak filosofi promosi senirupa saya. Senirupa harus memiliki kandungan luhur yang berlangsung lama, bukan sekali pandang setelah itu dilupakan. Dengan demikian, pendekatan saya sebagai seorang promoter seni juga mungkin berbeda. Saya tidak ingin terkena arus euforia kontemporer yang sesaat. Saya ingin seniman dengan saya tumbuh bersama, mengakar, turut membangun dan memberikan kontribusi pada perkembangan seni di Indonesia.

Sumber : Katalog Joged
Wawancara oleh M. Bundhowi

Sentuhan Keindahan Seorang Negarawan

Oleh: Putu Supadma Rudana, MBA

Setiap pertemuan akan lebih berharga, bila kita sanggup memberi sentuhan rasa, meski itu terkesan sederhana tapi sejatinya penuh makna. Pada suatu hari saya berkesempatan berjumpa Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Saya beruntung, bukan saja Beliau seorang Presiden yang pribadinya tulus dan bijak, melainkan juga karena menaruh perhatian yang sungguh tak terduga. Dengan penuh empati, Beliau menuliskan “Untuk Sdr. Putu Supadma Rudana, Excellent,’ SBY, 19 Juni 2009” dalam buku Treasure of Bali.

Peristiwa itu terjadi di Museum Nasional, Jakarta. Sedangkan Treasure of Bali adalah buku tentang museum-museum yang ada di Bali. Sejujurnya saya gembira dan tidak mengira akan mendapat kejutan penuh arti. Sebuah sentuhan rasa, indah dan penuh hikmah.

Jauh sebelum kejadian itu, saya memang menaruh hormat dan salut pada pola kepemimpinan Beliau yang selalu mengedepankan pendekatan santun dan bermartabat. Dari berbagai berita mengenai langkah dan kebijaksanaan yang ditetapkan serta berhasil diwujudkan, banyak pihak terkesan oleh adanya konsistensi tindakan dan keutuhan pandangan yang mendasarinya.

Konsistensi tindakan dan keutuhan pandangan tersebut tercermin sedari awal masa pemerintahan Bapak SBY. Saya, dan tentu sebagian besar rakyat Indonesia, masih ingat bagaimana di tahun pertama masa Kabinet Indonesia Bersatu terjadi dukacita nasional, tsunami, yang menimpa saudara-saudara kita di Aceh. Di saat bencana itu terjadi, Beliau sedang berada di Nabire, Papua, untuk memberi dukungan semangat kepada saudara-saudara sebangsa yang baru saja mengalami gempa bumi luar biasa. Inilah yang mengesankan saya, sebagai Presiden, Pak SBY memutuskan terbang langsung ke Aceh tanpa kembali dulu ke Jakarta, meski lantaran itu pesawat yang ditumpanginya harus transit berkali-kali.

Tindakan ini jelaslah menegaskan konsistensi sikap kepemimpinan yang dianutnya, yakni berupaya untuk bisa berada di tengah rakyat, terutama yang sedang menderita tertimpa bencana. Ketetapan hati untuk terbang langsung itu juga memiliki arti simbolis; penerbangan dari Papua ke Aceh pada hakikatnya mewakili semangat ke-Indonesia-an, suatu kehendak mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Bila kita mempelajari langkah-langkah dan kebijakan yang telah dan tengah dijalankan selama ini, sebagaimana salah satu contoh di atas, jelaslah bahwa SBY bukan hanya politikus mumpuni, namun juga seorang negarawan dalam arti yang sebenar-benarnya. Secara tersurat atau pun tersirat, berulang kali Beliau mengingatkan bahwa bila kita lalai, abai dan tak hati-hati dalam meniti arus sejarah ini, bukan mustahil semangat kebersamaan yang telah dirintis dengan susah payah oleh para founding fathers, cepat atau lambat akan terkikis dan tergerus. Terlebih lagi, kita adalah republik yang masyarakatnya terbilang majemuk, multietnis, dan multikultur.

Langkah Beliau memang penuh dengan pertimbangan, dan keputusan senantiasa ditetapkan berdasarkan kebulatan pandangan yang diwarnai semangat ke-Indonesia-an. Cermatilah segala hal di balik kehati-hatian yang jadi pegangannya, terlihat benar bahwa itu merupakan tahapan demi tahapan pemikiran yang matang.

Sebagai Presiden Indonesia yang pertama kali langsung dipilih oleh rakyat secara demokratis, SBY juga konsisten dan komitmen menegakkan dan memperjuangkan demokrasi serta tegaknya hukum di negeri ini. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, pun memuji pesatnya pertumbuhan demokrasi di tanah air kita ini. Juga pernyataan dari Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud M.D., belum lama ini yang menegaskan Presiden tak pernah sekalipun melakukan intervensi terhadap segala keputusan hukum yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Sebagai seorang politikus, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr. Dino Patti Djalal melalui catatan hariannya dalam buku Harus Bisa, terbukti memiliki common touch (sentuhan kerakyatan) yang mendalam. Ini terbukti dari berbagai program pemerintah selama ini yang senantiasa berpihak pada nasib rakyat kebanyakan.

Mengakhiri tulisan ini, saya yang sehari-hari dilimpahi oleh hikmah karya-karya seni para maestro negeri ini, berkeyakinan bahwa dalam setiap ucapan, tindakan dan kebijaksanaan Beliau selaku pengayom bangsa ini, telah teruji serta senantiasa penuh dengan empati dan simpati; penuh dengan sentuhan keindahan seorang negarawan.***

Tulisan ini telah dimuat dalam ‘Buku Energi Positif, Opini 100 Tokoh Mengenai Indonesia di Era SBY’, Penerbit Red & White Publishing, 2009

Melalui Museum, Sinergi Seni Membangun Bangsa

MELALUI MUSEUM, SINERGI SENI MEMBANGUN BANGSA
Sebuah Catatan tentang Visit Museum Year 2010
Oleh Putu Supadma Rudana, MBA*)

Bagaimanakah kita seharusnya memaknai pencanangan Tahun Kunjungan Museum 2010 (Visit Museum Year 2010)? Tentu jawabannya terpulang pada masing-masing pihak, sesuai dengan profesi, kepentingan, serta latar sosial-budaya yang bersangkutan. Namun sesuatu hal yang tak bisa disangkal, penetapan museum sebagai fokus program sekaligus branding acuan jelaslah menunjukkan bahwa pemerintah secara keseluruhan, tak terkecuali Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, menyadari peran strategis yang dapat disandang oleh museum, baik swasta maupun negeri.

Di sisi lain, patut dikemukakan, penetapan Tahun Kunjungan Museum 2010, merefleksikan pula kesadaran dari pengambil kebijakan bahwa museum hakikatnya bukan semata gedung tempat penyimpanan hasil-hasil kreativitas warisan leluhur atau peninggalan purbakala maupun arsip-arsip dokumentasi masa silam, melainkan memiliki tawaran akan nilai-nilai universal yang terkait kekinian serta berguna untuk turut merumuskan masa depan. Terlebih lagi, bila kita sedia mengkaji tentang adanya kenyataan bahwa Indonesia adalah sebuah republik yang masyarakatnya majemuk, multietnis dan multikultur, serta tengah menghadapi dinamika percepatan perubahan sebagai akibat hadirnya nilai-nilai global, buah dari kemajuan teknologi informatika yang nan canggih itu.

Dengan kata lain, Indonesia yang memiliki letak yang strategis antara dua benua, Asia dan Australia, serta dua samudera, Hindia dan Pasifik, menghadapi tantangan ke depan yang memerlukan suatu pola penanganan yang holistik berlandaskan kerja sama semua pihak tanpa terkecuali. Upaya mengatasi problematik bangsa ini, memang bukan hanya tugas Presiden sebagai eksekutif beserta jajaran pemerintahnya, akan tetapi juga merupakan tanggung jawab anggota legislatif, yudikatif dan, terkait di dalamnya, para profesional aneka bidang, serta tak ketinggalan masyarakat umum lainnya. Dalam konteks ini, sebagaimana berulang saya kemukakan dan juga wujudkan melalui berbagai kesempatan serta kegiatan, perlu dikedepankan oleh semua pihak suatu upaya sinergi menuju kesempurnaan. Bahkan dalam tataran tertentu, berlandaskan niat baik, saya percaya dengan upaya sinergi tersebut segala hal yang kelihatannya bertolakbelakang dapat di-manage untuk saling dukung dan saling topang.

Museum: Sinergi Seni Membangun Bangsa

Sebagaimana sekilas diulas di atas, peran museum, terlebih di era kompetisi global seperti sekarang ini, sungguh sangat strategis. Tidak seperti yang selama ini dibayangkan oleh sebagian masyarakat awam, museum terbukti dapat difungsikan sebagai laboratorium kebudayaan, di mana para ahli, pakar aneka bidang dan juga generasi muda dapat mengembangkan ide-ide kreatif dan gagasan-gagasan cerdasnya berdasarkan suatu telaah yang lebih mendalam terhadap apa yang telah dicapai para leluhur melalui karya-karya berupa apapun yang tersimpan di dalam museum. Saya kira adalah suatu yang tidak berlebihan bila dalam Diskusi dan Komunikasi Museum Indonesia serta Musyawarah Asosiasi Museum Indonesia di Jambi belum lama ini, mengemuka suatu dialog tentang layaknya menjadikan museum beserta organisasi pengelolanya menjadi semacam center of excellent. Yakni, semacam laboratorium yang memungkinkan para ahli untuk melakukan suatu kajian dan program akademis secara tepat guna dan tepat makna, guna mengembangkan pemikiran atau menghasilkan kreasi-kreasi inovatif yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa, baik itu tataran filosofis maupun tataran praksis.

Mencermati hal tersebut, sebagaimana juga apresiasi masyarakat dan pemerintah di mancanegara terhadap keberadaan museum, seyogyanya kita melakukan upaya-upaya terpadu dan terkoordinasi untuk mendorong peningkatan profesionalisme di kalangan pekerja dan pengelola lembaga ini. Belajar dari luar, terlihat benar bahwa tumbuhnya apresiasi dan penghargaan publik selalu sejalan dengan capain pihak museum untuk meningkatkan pengelolaan dan fasilitasnya serta penyempurnaan koleksinya dengan dukungan segala data berikut fakta-fakta sejarah yang teruji. Tentu saja, Asosiasi Museum Indonesia (AMI) beserta anggotanya, dalam hal ini HIMUSBA Bali, perlu menyamakan visi, misi serta persepsi, dalam menyongsong Tahun Kunjungan Museum 2010. Masing-masing selayaknya terpanggil untuk mengadakan pembenahan menyeluruh serta pencanangan program yang saling sinergi seraya menyadari bahwa museum juga merupakan salah satu sarana pembangunan karakter dan pekerti bangsa (nation and character building).

Boleh dikata, jauh sebelum pemerintah mencanangkan Tahun Kunjungan Museum 2010, Museum Rudana telah berulang mengadakan event-event seni budaya yang menegaskan bahwa museum dapat pula menjadi wadah aktivitas yang turut menggelorakan upaya-upaya pencapaian seni yang bersemangat kekinian tanpa hafrus tercerabut dari akar kultur warisan para leluhur. Bahkan lebih jauh dari itu, saya juga menggagas diadakannya suatu lomba esai, ditujukan untuk generasi muda, bertopik “Harapan Masyarakat Terhadap Pemimpin Masa Depan Indonesia”. Di luar dugaan, lomba ini disambut antusias oleh generasi muda, diikuti oleh lebih kurang dari 1.000 peserta, mewakili anak-anak muda pelajar serta mahasiswa serta umum lainnya yang mencoba berpikir cerdas dan kritis tentang bagaimana dan akan kemana nasib negara ini kelak di kemudian hari. Kegiatan tersebut juga dilanjutkan dengan acara malam apresiasi seni yang diadakan tiga malam berturut-turut, menyajikan aneka kreatifitas; dari teater, dramatisasi dan pembacaan puisi, musik serta film pendek kreasi anak muda. Hal mana itu menunjukkan bahwa melalui museum dapat diperjuangkan suatu sinergi seni untuk membangun bangsa.

Secara lebih fokus dan khusus, dengan menimbang bahwa museum bisa menjadi center of excellent serta laboratorium kebudayaan seperti disinggung di awal tulisan ini, sinergi seni tersebut patut diketengahkan dalam wujud program-program nyata yang lebih terarah dan berkelanjutan guna mendorong upaya-upaya pembentukan karakter dan watak bangsa. Sebab hanya negara yang telah menemukan jati dirinya serta kuasa mengukuhkan nation and character building-nya, berpeluang untuk unggul dalam persaingan global. Dengan demikian, sudah tidak pada tempatnya lagi di era demokratis ini untuk melakukan dikotomi antara berbagai kepentingan dan idealisme atas nama apapun. Bahkan dalam titik kesadaran tertentu, saya dengan sungguh-sungguh mencoba mewujudkan apa yang menjadi keyakinan hidup yakni the art of business in the business of art (seni berbisnis dalam bisnis seni), serta the art of excellent, atau seni kesempurnaan, di mana kita tidak puas hanya sekadar menjadi mediocre (setengah-setengah saja).

Melalui museum, beserta koleksi adiluhungnya, kita dapat mempelajari keagungan masa silam seraya menggagas kemungkinan masa depan tanpa lalai atau abai pada upaya menyikapi dan memaknai kekinian secara lebih kreatif. Saya yakin, melalui Tahun Kunjungan Museum 2010, secara pasti akhirnya Indonesiaakan menjadi the heart of Asia and heart of the world.

Selamat berjuang dan selamat bersinergi!

*) Penulis adalah salah satu Ketua Asosiasi Museum Indonesia (AMI)
Tulisan ini telah dimuat di Majalah Musea edisi 2009

Resume Bedah Buku ‘Menuju Visi Sempurna, Seni Budaya sebagai Jiwa Bangsa’

Serangkaian dengan acara Renungan Kemerdekaan sekaligus sebagai pemaknaan sekaligus refleksi atas perayaan HUT ke-65 Republik Indonesia, pada 18 Agustus 2010 Pusat Penelitian, Pengkajian dan Dokumentasi Budaya ‘DESTAR’ menyelenggarakan sebuah dialog budaya dengan acuan bahasan buku ‘Menuju Visi Sempurna, Seni Budaya Sebagai Jiwa Bangsa’. Diskusi yang digelar di Museum Sejarah Nasional, Monumen Nasional, ini dihadiri oleh para budayawan, pelaku serta pengamat seni Indonesia ini diadakan di Ruang Museum Sejarah Nasional Monas, dengan menghadirkan tiga pembicara yakni Dwi Sutarjantono (Majalah Esquire), Doddi A. Fauzi (Majalah Arti) serta editor buku ini, Ni Made Purnamasari.

Dalam dialog yang berlangsung selama hampir satu setengah jam ini dan dipandu penyair Warih Wisatsana, ketiga pembicara mencoba untuk mengulas berbagai hal yang terangkum dalam buku setebal 313 halaman ini, yang berisi wawancara-wawancara Putu Rudana dengan berbagai media lokal maupun nasional, serta esai-esai terpilih Putu Rudana, termasuk yang termuat dalam buku Energi Positif, perihal pandangan 100 terhadap kepemimpinan SBY, yang dieditori oleh DR. Dino Patti Djalal.

image003Pada paparan awalnya, Ni Made Purnamasari menyatakan bahwa buku ini merupakan rangkuman dari gagasan ataupun pemikiran Putu Supadma Rudana yang tertuang di berbagai media sedari tahun 2007 hingga 2009, diterbitkan sebagai penghargaan kepada media massa yang selama ini turut memberitakan dan mengumandangkan upaya-upaya menjadikan seni budaya sebagai jiwa bangsa. “Buku ini pada mulanya merupakan suatu upaya pendokumentasian awal berbagai liputan ataupun pemberitaan terkait butir-butir pemikiran, gagasan ataupun juga kepedulian Putu Rudana terkait kehidupan bermasyarakat dan bernegara, beserta berbagai latar sosial budaya seiring peristiwa-peristiwa yang menyertainya,” ujar Purnama.

Buku yang diterbitkan oleh Yayasan Seni Rudana ini dapat dikatakan mencerminkan pandangan ataupun gagasan dari Putu Rudana terkait soal-soal sosial, politik, dan budaya berskala nasional maupun internasional. Bila disimak lebih dalam, mengemuka pula semangat cinta tanah air dan upaya-upaya yang dilakukan Putu Rudana selama ini, terutama menyangkut sinergi seni dengan berbagai bidang demi membangun karakter dan pekerti bangsa (nation and character building). Informasi lebih lanjut terkait buku ini dapat diakses di www.putusupadmarudana.com.

Dalam bahasan lebih jauh, ketiga narasumber mengungkapkan bahwa Putu Rudana juga telah menggelar berbagai kegiatan seni-budaya, semisal pameran serta pertunjukan seni, yang tidak hanya mengetengahkan berbagai karya yang indah secara estetika, namun juga sarat dengan nilai serta makna-makna sosial dan kultural. Salah satunya adalah Pameran Seni Lukisan dan Tari Joged (2008), yang mengangkat tari pergaulan tradisional Bali (joged) yang kian lama dipandang sebagai pertunjukan yang menyimpang dari norma kesusilaan, bukan sebagai karya seni yang sarat dengan keindahan gerak serta pemaknaan sosial yang menyertainya. Selain itu, sebagai wujud kepeduliannya terhadap pentingnya wadah apresiasi dan aspirasi generasi muda terhadap kebudayaan dan masa depan bangsa, Putu Rudana juga menyelenggarakan sebuah Kompetisi Esai Populer dengan tema ‘Harapan Masyarakat Terhadap Pemimpin Masa Depan Bangsa’.

Sementara itu, Doddi A. Fauzi dari Majalah Arti yang rangkuman wawancaranya juga tertuang dalam buku ini mencoba mengaitkan antara esensi kemerdekaan serta kebudayaan bangsa dalam pemaknaan nasionalisme era kini. Di samping menjelaskan sejarah lahirnya semangat nasionalisme di berbagai negara, Doddi juga menekankan pentingnya figure-figur yang visioner yang tidak hanya mampu memberikan jawaban akan persoalan-persoalan kekinian, namun juga memiliki pandangan-pandangan yang bermanfaat bagi upaya meraih masa depan bangsa yang lebih baik. “Nah, dalam wawancara dengan Putu Rudana, saya memperoleh banyak pikiran-pikiran yang cerdas dan visioner, termasuk misalnya tawaran ekonomi kreatif yang harus dikembangkan kemudian hari oleh bangsa ini. Padahal, pada waktu wawancara itu, soal ekonomi kreatif belumlah menjadi wacana di masyarakat dan belum menjadi kebijakan dari pemerintah,” kata Doddi yang dikenal juga sebagai penulis seni rupa ini.

Pada bagian lain, menjawab pertanyaan, Doddi menyatakan, Putu Rudana berupaya membangun pandangan yang berbeda akan sebuah karya seni. “Saya masih ingat, Putu Rudana pernah menyatakan bahwa ketika menilai sebuah suatu karya seni, yang kita lihat mula pertama bukanlah tampilan fisik ataupun nilai ekonominya, melainkan nilai-nilaiintangible (tak tampak) yang terkandung dalam karya tersebut. Nilai yang tak kasat mata ini, kata Putu, mencerminkan juga jiwa pelukisnya, curahan hati dan emosinya yang mendalam. Hal inilah yang harus kita pahami dan dalami, berkesesuaian dengan pengetahuan kita atas perkembangan pasar seni rupa, sehingga mampu memberikan manfaat ekonomi yang sebanding.”

Di sisi lain, Dwi Sutarjantono, yang telah beberapa kali berkesempatan melakukan wawancara dengan Putu Rudana mengatakan, pertemuannya dengan sosok Putu Rudana selalu dipenuhi dengan diskusi-diskusi panjang yang hangat dan menarik. Ia menyatakan bahwa Putu selalu tampil dengan gagasan-gagasan orisinal. “Saya kira Putu adalah seorang yang terus menerus memikirkan perihal kebudayaan dan kesenian, serta mencoba mengumandangkannya ke publik luas. Pikiran-pikirannya sering kali tak terduga, tidak hanya melihat dari sisi yang kasat mata, tapi juga menyangkut pertimbangan-pertimbangan yang bersifat non verbal. Dengan demikian, apa yang dikemukakan menjadi sesuatu yang segar dan menarik untuk diungkap di media serta member inspirasi bagi pembaca,” ujar Dwi yang adalah chief editor Majalah Esquire.

Dwi yang kerap menulis laporan perjalanan ke luar negeri ini secara terbuka menilai bahwa kecintaan Putu yang sedemikian besar terhadap seni budaya tentulah tak lepas dari latar belakang keluarganya yang juga memiliki galeri dan museum seni rupa di Ubud, Bali. Sedari kecil Putu Rudana telah terbiasa bersentuhan dengan keindahan dan bergaul dengan seniman-seniman besar serta budayawan-budayawan nasional mupun internasional.

“Yang menarik dari gagasan-gagasan Putu Rudana adalah tentang sinergi seni yang ia lakukan dengan bidang-bidang keseharian kita. Ini bukan hanya untuk mengembangkan seni dan budaya dalam berbagai kemungkinan kreatifnya, tapi juga untuk lebih—menyebut istilah Putu—menyebarkan spirit seni-budaya ke seluruh aspek kehidupan, sehingga tercapai tatanan masyarakat yang santun, beretika dan berlandaskan pada semangat saling pengertian,” papar Dwi Sutarjantono menanggapi peserta yang mempertanyakan apa yang menjadi perhatian utama Putu Rudana.

Dalam sesi tanya jawab dengan hadirin, terlontar beberapa pertanyaan, baik terkait isi buku maupun juga visi serta pandangan Putu Rudana terhadap seni budaya Nusantara. Theresia Pardede, anggota Komisi X DPR RI, misalnya, menanyakan bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan kecintaan terhadap kebudayaan bangsa. Di samping itu, peserta lain juga menanyakan lebih jauh terkait pendapat Putu Rudana terhadap kebudayaan dan sejarah kebangsaan masa lalu serta refleksi budaya di masa mendatang.

image004Turut memberikan pendapatnya, Kepala Unit Pengelola Monumen Nasional, IM Rini Hariyati, mengutarakan, museum memiliki peran yang sangat signifikan dalam proses edukasi masyarakat. Karenanya, ia berharap, dengan adanya Tahun Kunjungan Museum ini, publikasi terhadap permuseuman dapat lebih gencar dilakukan untuk mendorong khalayak Indonesia datang dan berbagi wawasan serta pengetahuan di museum.

Dwi Sutarjantono memperoleh giliran pertama dalam menjawab pertanyaan. Ia menanggapi tentang publikasi permuseuman dan juga seni budaya secara keseluruhan.Dwi mengakui, memang tidak semua media menyediakan ruang yang optimal bagi tulisan ataupun artikel kebudayaan dan kesenian. Hal ini tentulah karena kebijakan beberapa media yang disesuaikan dengan pangsa pasarnya masing-masing. Kendati demikian, Dwi menegaskan bahwa seyogyanya tiap-tiap media di nusantara memberikan ruang bagi artikel-artikel, kolom esai ataupun juga pemuatan karya-karya seni, minimal halaman cerpen atau kisah bersambung. Dengan demikian, sinergi antara seni budaya dan media dapat dilakukan secara lebih menyeluruh lagi.

Mengutip pikiran Putu Rudana yang tertuang di buku, Doddi A. Fuzi menggarisbawahi pentingnya makna kebhinekaan dalam kemerdekaan Indonesia. Keberagaman suku, ras, agama dan juga kebudayaan Indonesia merupakan suatu kekayaan yang tidak ternilai. Kebhinekaan ini pada hakikatnya tercermin dalam koleksi-koleksi yang ada di museum-museum. Warisan seni dan budaya para leluhur itu, sebagaimana kerap ditegaskan oleh Putu Rudana, terbukti tidak hanya sebagai dokumentasi perjalanan sejarah sosial, politik dan juga kultural bangsa ini, namun juga memberikan edukasi bagi masyarakat. “Itulah, kenapa saya hormat dan salut kepada Putu Rudana, yang bersedia mencurahkan waktunya sebagai managing director Museum Rudana. Nah, Putu, dalam wawancara-wawancaranya selalu menekankan pentingnya upaya pembenahan yang lebih menyeluruh untuk menjadikan museum layak untuk dikunjungi.”

Menanggapi pernyataan Doddi, Purnama mengungkapkan bahwa selama ini melalui Museum Rudana, Yayasan Seni Rudana dan juga Pusat Penelitian, Pengkajian dan Dokumentasi Budaya ‘DESTAR’, Putu Rudana telah menggagas serta menyelenggarakan berbagai kegiatan seni budaya yang selalu disertai dengan konsep yang tidak hanya menghargai keadiluhungan tradisi masa silam atau menggagas kemungkinan di masa mendatang, namun juga merenungi kekinian kita.

Di sisi lain, Purnamasari menjelaskan bahwa gagasan Tahun Kunjungan Museum muncul dari pemikiran Putu Rudana yang kemudian diimplementasikan menjadi kebijakan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. “Menteri Jero Wacik sendiri menyatakan hal ini dalam salah satu pidatonya di Bali,” tambah Purnamasari.

Di akhir dialog, menanggapi pertanyaan dan pernyataan narasumber ataupun peserta, Putu Rudana menyatakan bahwa apa yang terangkum dalam buku ini pada dasarnya semua hal tersebut saling bertautan dan terikat dalam suatu benang merah yang mencerminkan sikap, tindakan dan idealisme dari dirinya selama ini.

Putu Rudana juga mengungkapkan pentingnya upaya melakukan sinergi kreatif yang melibatkan seluruh potensi anak bangsa di segala bidang. “Saya juga memiliki cita-cita dan pengharapan bahwa pemimpin-pemimpin kita akan memimpin bangsa ini dengan pemahaman dan penghormatan akan kekayaan seni budaya warisan adiluhung bangsa ini. Di situlah sejatinya kekuatan Indonesia, di dalamnya terkandung kekuatan spiritual maupun potensi finansial atau ekonomi secara keseluruhan,” kata Putu Rudana yang juga Ketua IV Asosiasi Museum Indonesia yang membidangi Informasi, Publikasi dan Komunikasi.

Ke depan, Putu Rudana menegaskan perlunya upaya-upaya pencerdasan masyarakat melalui kegiatan semacam dialog budaya ini. Sejalan dengan itu pula, layak dikembangkan suatu semangat penghormatan atas gagasan atau buah pikiran seseorang sebahai hak kekayaan intelektual (hak cipta) yang harus dilindungi. “Acara renungan ini dan juga kegiatan-kegiatan lain yang pernah serta akan saya selenggarakan pada dasarnya adalah cerminan idealisme dan kepedulian saya yang bertujuan pada pembangunan karakter dan pekerti bangsa (nation and character building).

Sebagai bagian dari upaya membangun karakter dan pekerti bangsa tersebut, juga penghormatan akan warisan leluhur bangsa, Putu Rudana mendukung upaya untuk membangun ibukota baru, tentu termasuk di dalamnya istana kepresidenan yang representatif. “Ya, ibukota baru, itu bisa di mana saja tempatnya di tanah air ini. Para ahli layak dilibatkan dalam pemilihan dan perencanannya. Akan tetapi bagi saya, yang jauh lebih penting adalah bagaimana ibukota baru itu merupakan wujud dari jiwa dan semangat bangsa Indonesia secara keseluruhan. Dengan kata lain, bukan hanya membangun fisik ibukotanya, namun juga yang tak kalah penting adalah jiwa dari ibukota itu, yang seyogyanya merangkum kekayaan nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Oleh sebab itu, saya mengusulkan, bila kelak telah dibangun, istana tersebut sungguh tepat diberi nama Istana Nusantara,” ujar Putu Rudana.

Putu Rudana Menggelar Renungan Kemerdekaan dan Bedah Buku di Monas

[JOURNALBALI.COM – Jakarta] Bila rakyat seantero negeri merayakan hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-65 dengan mengadakan aneka lomba dan menampilkan kesenian, Putu Supadma Rudana boleh jadi melengkapinya dengan membuat acara renungan suci di Ruang Kemerdekaan, tugu Monumen Nasional (Monas) di jantung kota Jakarta pada 18 Agustus yang lalu. Renungan suci yang diselenggarakan dengan khidmat dipimpin oleh Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) Irman Gusman dihadiri antara lain oleh pendiri Museum Rudana, Nyoman Rudana, Kepala UPT Monas Rini Haryani, pejabat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, budayawan, seniman dan aktivis pemuda.

Menurut Irman Gusman, pada momen peringatan kemerdekaan setiap anak bangsa perlu bahu membahu bekerjasama dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Ia mendukung usaha Putu Supadma Rudana dalam mendorong ekonomi kreatif di tanah air, khususnya dalam olah cipta seni dan budaya. “Kita mempunyai tari Minang, tari Jawa, tari Bali dan lain sebagainya. Inilah warisan anak bangsa yang perlu dilestarikan,” kata Irman Gusman.

Pada kesempatan itu pula Putu Rudana menyampaikan refleksi pemikirannya atas kemerdekaan RI yang ke-65. Menurut Putu Rudana keberlangsungan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kreativitas dalam seni dan budaya. “Jika kita menyadari potensi seni budaya Indonesia, kita akan tampil penuh percaya diri di tengah bangsa-bangsa lain di dunia. Pada saat ini kita membutuhkan sinergi dan visi yang sempurna dalam mengembangkan seni budaya sebagai jiwa bangsaa,” ujar Putu Rudana, yang juga sebagai penggagas dan ketua Destar, Pusat Penelitian dan Dokumentasi Seni dan Budaya, yang juga General Manager Rudana Museum, Bali ini.

Setelah diselingi acara buka puasa bersama, dilanjutkan dengan acara membedah buku ‘Menuju Visi Sempurna, Seni Budaya Sebagai Jiwa Bangsa’, dipandu penyair Warih Wisatsana yang menampilkan pembicara Ni Made Purnamasari sebagai editor buku, Dody Achmad Fauzi, editor majalah Arti dan Dwi Sutarjantono (editor majalah Esquire Indonesia). Buku yang diterbitkan di awal tahun 2009 ini, merangkum gagasan serta pandangan Putu Rudana yang pernah tertuang dalam wawancara di beberapa media lokal, nasional maupun internasional, serta mengulas berbagai sisi kehidupan kesenian dan kebudayaan kita.

Dimulai dari karya lukis, tantangan kepariwisataan Indonesia, program Tahun Kunjungan Museum, pandangannya mengenai generasi muda serta masa depan bangsa, hingga berbagai kegiatan kebudayaan yang digagasnya dengan semangat sinergi antara seni budaya dengan beragam bidang kehidupan, semisal otomotif, olahraga, ekonomi, politik dan sebagainya; yang kesemuanya bermuara pada upaya Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa (Nation and Character Building).

Pada sesi tanya jawab banyak peserta bedah buku yang berharap Putu Rudana dapat mengimplementasikan gagasan tentang ekonomi kreatif yang sangat relevan dengan situasi Indonesia terkini. Para peserta juga berharap Putu Rudana menerbitkan buku berikutnya yang dapat memberi inspirasi kaum muda. [ ska ]