Category: Kabar Terkini

Perspektif Putu Rudana Tentang Senirupa Indonesia

Perkembangan senirupa di Indonesia menggeliat terus. Setelah terjadinya booming harga untuk lukisan-lukisan yang berasal dari Asia (termasuk Indonesia), kini dunia seni kita dihadapkan pada bagaimana para stakeholder menyiasati serta mempertahankan fenomena booming senirupa tersebut. Berikut wawancara antara Putu Supadma Rudana, The Fine Art Promotor, tentang promosi senirupa Indonesia.

Setelah sukses dengan perhelatan senirupa yang melibatkan 8 maestro senirupa di Indonesia, yaitu Modern Indonesian Masters sekarang apakah ada kegiatan senirupa lagi dalam kalender Museum Rudana?

Tentu. Kegiatan seni rupa merupakan jiwa dari museum senirupa. Sebuah institusi, termasuk museum baru bisa dikatakan hidup kalau ia bisa memberikan manfaat-manfaat kepada masyarakatnya. Untuk memberikan manfaat ini kegiatan harus dibungkus sedemikian rupa sehingga atraktif bagi semua pihak. Nah, Museum Rudana senantiasa mencoba menyuguhkan tampilan-tampilan atau peristiwa senirupa yang bukan hanya atraktif, namun juga memiliki nilai yang penting bagi pertumbuhan seni baik di Bali maupun di Indonesia.

Bagaimana peran seorang pemimpin dari sebuah museum dalam menggerakkan roda aktivitas museum ini, padahal kegiatan besar, misalnya dengan pameran maestro yang baru lalu, membutuhkan beragam resources serta perencanaan yang amat matang?

Seorang pemimpin juga manusia biasa. Mereka hanya memiliki dua buah tangan saja. Namun, bagi saya, seorang pemimpin adalah mereka yang mempunyai instinc yang kuat tentang kapabilitasnya untuk melaksanakan sebuah proyek dengan berhasil. Ia harus mampu mengelola sumber dayanya. Seorang pemimpin juga harus menjadi koordinator yang handal. Dalam mengkoordinasikan sebuah perhelatan besar seperti yang lalu, saya harus pandai-pandai dalam mendelegasikan tugas. Namun, karena kita, mampu memberikan kepercayaan kepada mitra internal kita, yakni para staf museum yang professional, untuk melaksanakan tugas yang diberikan mereka, maka terjadi saling kepercayaan yang mantap.

Secara personal, apa yang saat ini Anda geluti dalam konteks seni rupa di Bali, Indonesia?

Saya masih konsisten dengan cita-cita awal saya, yakni saya ingin berkiprah dalam mempromosikan senirupa Indonesia. Setelah perhelatan pameran 8 maestro seni rupa kondang, sekarang saya mulai memusatkan perhatian pada promosi senirupa untuk seniman-seniman muda (awal).

Apa kriteria seniman muda yang masuk dalam standar promosi Anda?

Sebetulnya usia memang menjadi patokan, namun bukan satu-satunya. Saya melihat banyak seniman muda yang sebetulnya memiliki potensi luar biasa. Karena pengalaman-pengalamannnya mengasah ketrampilan melukis, baik secara teknik, komposisi maupun kematangannya dalam belajar dari alam maupun dari pelukis-pelukis lain, pelukis-pelukis muda ini menjanjikan sebuah masa depan berkesenian yang cerah. Dengan demikian bisa saya katakan bahwa sebetulnya rentang waktu bukan satu-satunya tolak ukur. Namun pengalaman serta pendalaman berkesenian yang lebih berbicara. Yang kedua, seniman tersebut harus mempunyai kapabilitas untuk produktif. Dengan karya-karya yang berkualitas yang mampu dipertanggungjawabkan.

Sekarang banyak sekali pelukis-pelukis yang bermunculan, sementara karya-karya mereka banyak juga yang tidak selektif. Bagaimana Anda menilai kualitas karya-karya pelukis muda ini?

Masalah kualitas ini memang tidak boleh dilihat dari satu sisi, yaitu senimannya saja. Karena kata berkualitas dan bermutu itu relatif, sehingga saya harus menerapkan seleksi yang ketat terhadap seniman-seniman yang ingin saya promosikan. Dalam seleksi ini saya juga harus menggandeng pihak-pihak yang memang profesional di bidangnya, misalnya kritikus seni handal yang memang mampu memilah-milah mana karya-karya yang menjanjikan dari karya-karya yang ikut-ikutan. Saya dengan tim seleksi akan memilih karya-karya yang memiliki karakter-karakter unik yang hanya dimiliki oleh si seniman tersebut. Selanjutnya, antara seniman yang saya promotori dengan kami juga harus mampu menjalin kerja sama kooperatif yang kuat, dengan artian bahwa kita memiliki wilayah tersendiri yang saling mendukung, namun tidak saling mencampuri. Di wilayah seniman, mereka berkarya secara kualitatif, di wilayah promotor, kami mencari celah marketing, PR (Public Relation), serta memformulasikan presentasi yang terbaik bagi karya-karya seniman tersebut.

Sebagai seorang promotor seni rupa, kiat-kiat apa yang Anda pakai untuk berkecimpung dalam dunia promosi senirupa ini?

Istilahnya, promosi senirupa menjadi ujung tombak bagi karya-karya seni dalam memasuki kancah kesenian dalam konteks yang lebih luas. Sebagai promotor saya juga berupaya untuk selalu menerapkan sustainability dan accountability. Sustainability mencakup keberlangsungan kegiatan kreatif seniman semasa masih dalam promosi saya maupun setelah seniman tersebut lepas menjadi seniman yang lebih professional mandiri, sedangkan accountability merujuk pada akuntabilitas, yaitu kemampuan kita untuk mempertangggungjawabkan bisnis promosi secara open book. Dengan demikian, lewat kontak promosi yang setara, tidak ada pihak yang akan berada posisi yang dirugikan. Saya sadar bahwa seringkali seniman merasa bahwa pihak ke dua atau ke tiga dari sebuah hubungan bisnis senirupa menjadi benalu yang kuat, mengikat dan menghisap mereka, namun ada pula promotor atau manager seorang seniman yang merasa senimannya tersebut tidak mampu membuahkan karya-karya yang telah mereka targetkan bersama. Salah satu filosofi saya dalam dunia promosi senirupa ini adalah bahwa saya hanya akan mempromosikan karya-karya dari seniman yang punya potensi untuk memberikan kontribusi positif pada khazanah senirupa Indonesia.

Seperti kita ketahui, ekses booming senirupa Asia masih terasa. Mengikuti trend nilai serta harga karya-karya mutakhir dari pelukis-pelukis kontemporer China, banyak pula karya-karya senirupa Indonesia yang memetik harga yang cukup menggiurkan. Namun di sisi lain terjadi pula semacam euphoria booming ini. Sehingga banyak sekali karya-karya yang dipaksa untuk dipasok dengan harga yang melangit pula. Bagaimana komentar Anda?

Saya melihat terjadinya sebuah fenomena yang saya anggap bisa memberikan ekes yang cukup berbahaya bagi seniman yang dipromosikan di luar proporsi. Dengan membungkus konsep berkesenian si seniman muda ini sedemikian rupa, promotor penyewa kritikus seni yang bisa menulis dengan apik, ia mampu membuat karya-karya pelukis tersebut menjadi manis untuk di lempar ke publik. Tentunya dengan membuat move atau trick-trick tertentu, misalnya dengan membandrol harga yang membuat kita bergeleng-geleng kepala, dan dengan memasang pialang yang seakan-akan menawar harga yang dibandrol tersebut. Alhasil, publik pecinta seni bisa terkecoh dengan ulah promosi seperti ini. Dan akhirnya, setelah masa manis atau masa produktif dari seniman muda kontemporer ini habis, maka habis pulalah hubungan bisnis seni ini. Dan ketika pasar sudah mencapai titik saturasi, atau titik nadinya, terhadap karya-karya lukis seniman tersebut, si seniman akan terpuruk. Ia akan kesulitan menjual karya lukisnya, karena masa edarnya sebagai perupa kontemporer memang sudah habis. Yang tersisa hanyalah kesan-kesan masa lalu dan potongan-potongan artikel Koran dan majalah tentang pameran-pameran perdananya.

Jadi istilahnya, sebagai seorang promotor senirupa, saya akan berupaya untuk bertanggungjawab terhadap apa-apa yang keluar dari tangan-tangan bisnis saya. Saya tidak ingin hasil jerih payah saya menjadi mubazir, seperti buah yang matang diperam, namun bukan di pohonnya. Dengan niat yang iklas, saya ingin hal ini tidak terjadi pada seniman muda sehingga mereka mampu secara berhasil berdiri dengan kaki mereka sendiri memasuk arena kompetisi berkesenian yang kadang amat berat ini.

Apa yang harus dimiliki oleh seorang promotor seni? Apakah ia harus mempunyai darah seni atau latar belakang tentang seni? Bagaimana menurut Anda?

Saya beruntung sekali. Saya pikir saya diberkahi Tuhan kesempatann untuk terjun langsung belajar. Pertama, saya dilahirkan di keluarga yang bukan hanya mencintai namun juga tumbuh, dan berusaha dalam bidang seni rupa. Mau, tidak mau, exposure dengan dunia seni rupa membentuk sebagain instinct bisnis saya. Ini mengingatkan waktu kecil saya di mana Bapak saya kadang-kadang memvawa kami bertandang ke seniman-seniman mendiang maestro Dullah dan Affandi, maupun maestro dari Bali termasuk Nyoman Gunarsa serta Made Wianta. Jadi, sejak kecuali saya selalu dikelilingi karya-karya seni rupa dan bertemu dengan seniman-seniman, baik lokal maupun mancanegara, baik yang belum terdengar maupun yang kesohor di dunia. Saat ini kami memiliki lebih dari 10.000 karya lukis yang masing-masing nilainya tinggi. Nah, pengalaman-pengalaman inilah yang memperkaya perbendaharaan pengetahuan saya tentang seni. Exposure perjalanan saya di luar negeri ketika saya menimba ilmu juga memberikan perspektif yang luas tentang seluk-belukpromoting the art. Ketrampilan-ketrampilan honest image building tentang karya-karya yang akan dipamerkan. Meeting people’s interest in the artwork dan berbagai expertise lainnya bisa saja kita fusikan dengan local wisdom. Namun, satu hal lagi yang amat penting dari upaya promosi adalah kemampuan kita untuk melihat ke masa depan—forecasting the future untuk karya-karya maupun predictability sang senimannya sendiri. Kita harus mampu membaca seberapa jauh sang calon seniman tersebut bisa berkontribusi, bukan hanya dalam artian finansial namun dalam konteks yang senirupa di luar batasan-batasan bisnis.

Jadi, untuk bergerak dalam bidang seni rupa kita tidak harus menjadi seniman pencipta karya seni. Kita semua percaya bahwa dunia senirupa amat membutuhkan sinergi dari para stakeholder karena disiplinnya ternyata juga kompleks, penuh dengan lapis-lapisan yang saling mengikat. Seniman kemungkinan tidak bisa secara langsung melemparkan lukisannya ke pasar kalau ia punya tujuan untuk menjualnya. Di samping mereka mungkin tidak menguasai pasar seni, mereka juga kemungkinan tidak memiliki negotiating skill yang bisa mengangkat ataupun mempertahankan harga. Sebagai promotor, kita memiliki tim profesional yang bisa mengisi celah-celah di mana biasanya sang seniman itu lemah. Di sinilah, sebagai art promotor atau art manager, saya mengkoordinasikan, mensinergikan berbagai sumber tersebut untuk mengangkat hasil seni rupa karya sang seniman. Kecuali seniman-seniman tertentu yang memiliki kharisma serta kemampuan publik terlatih, pada dasarnya seniman-seniman memerlukan pendamping untuk mengartikulasikan visi karya mereka secara verbal maupun tertulis ke publik. Di bidang ini pulalah, seorang art promotor melalui koordinasinya dengan kritikus seni, muncul untuk menjembatani bahasa visual dengan bahasa publik agar dapat diserap oleh masyarakat umum.

Baik. Setelah membahas ekses booming senirupa akhir-akhir ini, bagaimana Anda melihat perkembangan bisnis seni rupa saat ini?

Saya melihat adanya kegairahan yang berdinamika. Dari banyak fluktuasi bisnis senirupa yang saya amati, banyak sekali terjadi transaksi karya-karya seni yang kontemporer. Apalagi sekarang bermunculan balai lelang seni rupa, terutama di ibukota dan beberapa kota besar lainnya.

Bagaimana dengan praktek bisnis senirupa yang akhir-akhir ini juga ditimpali dengan trik-trik yang kurang sehat?

Terus terang, saya juga merasa miris. Kita lihat fenomena miring yang dipicu dengan adanya nilai-nilai nominal yang fantastis dari deal senirupa tersebut. Sehingga timbullah kegiatan bisnis senirupa yang rela mengorbankan nilai-nilai etika, baik berkesenian maupun berbisnis. Di samping sekarang terjadi pula maraknya palsu memalsu lukisan, timbul pula sindikat yang melakukan goreng-menggoreng karya seniman baru di samping tak sedikit seniman yang mengambil jalan pintas dalam berkarya misalnya dengan jalan mencetak karya beratus-ratus kemudian hanya menempel sedikit cat, kemudian diberi tandatangan. Beres. Saya berharap, selama masih ada seniman-seniman yang intens dalam berkarya dan memiliki komitmen yang teguh, senirupa Indonesia tidak akan menjelma menjadi industri lukisan belaka.

Bagaimana idealnya?

Kalau bisa kita harus menempatkan senirupa dalam tempat yang lebih terhormat. Senirupa bukan merupakan komoditi bisnis belaka. Sebab dari senirupa kita bisa belajar tentang peradaban suatu bangsa atau sejarah perjalanan suatu negara. Karena, seni rupa yang serius dikerjakan dengan keringat dan darah, ia juga bisa berisi pesan-pesan, petitih, bahkan bisa merepresentasikan suatu yang sakral. Sehingga karya seni rupa juga bisa memiliki potensi mediasi kedamaian dan perdamaian di dunia ini, dan bukan hanya sekedar alat barter belaka.

Sekarang tampaknya jelas pertanyaan bagi kami antara promoting the fine art dari bisnis seni rupa, yang untuk sebagian pelaku bisnis hanya disikapi sebagai benda seni belaka, tanpa mengindahkan potensi non finansial yang dikandungnya. Apa pesan terakhir dari Anda?

Kegiatan bisnis seni rupa, termasuk promosi seni rupa, tanpa memerhatikan aspek kultural, spiritual yang bisa dikandung dari seni rupa, akan memberikan dampak finansial yang diinginkan. Namun, kemungkinan besar dampak seperti ini sifatnya hanya kasat mata. Dari hasil transaksi lukisan, dana yang diperoleh akan diinvestasikan ke benda lain, termasuk benda seni. Setelah itu, ya sudah….Bagi kita, pecinta seni yang memang hidup di dalam seni rupa (bukan hanya sebagai pedagang), nilai-nilai dan dampak kejiwaan merupakan konsekuensi logis dari kepemilikan atau perolehan suatu benda seni. Uang bisa membeli apa yang bisa kita akses dengan indra, namun pancaran rasa dan rasio dari karya seni rupa tersebu tidak bisa dibisniskan. Di sinilah letak filosofi promosi senirupa saya. Senirupa harus memiliki kandungan luhur yang berlangsung lama, bukan sekali pandang setelah itu dilupakan. Dengan demikian, pendekatan saya sebagai seorang promoter seni juga mungkin berbeda. Saya tidak ingin terkena arus euforia kontemporer yang sesaat. Saya ingin seniman dengan saya tumbuh bersama, mengakar, turut membangun dan memberikan kontribusi pada perkembangan seni di Indonesia.

Sumber : Katalog Joged
Wawancara oleh M. Bundhowi

Sentuhan Keindahan Seorang Negarawan

Oleh: Putu Supadma Rudana, MBA

Setiap pertemuan akan lebih berharga, bila kita sanggup memberi sentuhan rasa, meski itu terkesan sederhana tapi sejatinya penuh makna. Pada suatu hari saya berkesempatan berjumpa Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Saya beruntung, bukan saja Beliau seorang Presiden yang pribadinya tulus dan bijak, melainkan juga karena menaruh perhatian yang sungguh tak terduga. Dengan penuh empati, Beliau menuliskan “Untuk Sdr. Putu Supadma Rudana, Excellent,’ SBY, 19 Juni 2009” dalam buku Treasure of Bali.

Peristiwa itu terjadi di Museum Nasional, Jakarta. Sedangkan Treasure of Bali adalah buku tentang museum-museum yang ada di Bali. Sejujurnya saya gembira dan tidak mengira akan mendapat kejutan penuh arti. Sebuah sentuhan rasa, indah dan penuh hikmah.

Jauh sebelum kejadian itu, saya memang menaruh hormat dan salut pada pola kepemimpinan Beliau yang selalu mengedepankan pendekatan santun dan bermartabat. Dari berbagai berita mengenai langkah dan kebijaksanaan yang ditetapkan serta berhasil diwujudkan, banyak pihak terkesan oleh adanya konsistensi tindakan dan keutuhan pandangan yang mendasarinya.

Konsistensi tindakan dan keutuhan pandangan tersebut tercermin sedari awal masa pemerintahan Bapak SBY. Saya, dan tentu sebagian besar rakyat Indonesia, masih ingat bagaimana di tahun pertama masa Kabinet Indonesia Bersatu terjadi dukacita nasional, tsunami, yang menimpa saudara-saudara kita di Aceh. Di saat bencana itu terjadi, Beliau sedang berada di Nabire, Papua, untuk memberi dukungan semangat kepada saudara-saudara sebangsa yang baru saja mengalami gempa bumi luar biasa. Inilah yang mengesankan saya, sebagai Presiden, Pak SBY memutuskan terbang langsung ke Aceh tanpa kembali dulu ke Jakarta, meski lantaran itu pesawat yang ditumpanginya harus transit berkali-kali.

Tindakan ini jelaslah menegaskan konsistensi sikap kepemimpinan yang dianutnya, yakni berupaya untuk bisa berada di tengah rakyat, terutama yang sedang menderita tertimpa bencana. Ketetapan hati untuk terbang langsung itu juga memiliki arti simbolis; penerbangan dari Papua ke Aceh pada hakikatnya mewakili semangat ke-Indonesia-an, suatu kehendak mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Bila kita mempelajari langkah-langkah dan kebijakan yang telah dan tengah dijalankan selama ini, sebagaimana salah satu contoh di atas, jelaslah bahwa SBY bukan hanya politikus mumpuni, namun juga seorang negarawan dalam arti yang sebenar-benarnya. Secara tersurat atau pun tersirat, berulang kali Beliau mengingatkan bahwa bila kita lalai, abai dan tak hati-hati dalam meniti arus sejarah ini, bukan mustahil semangat kebersamaan yang telah dirintis dengan susah payah oleh para founding fathers, cepat atau lambat akan terkikis dan tergerus. Terlebih lagi, kita adalah republik yang masyarakatnya terbilang majemuk, multietnis, dan multikultur.

Langkah Beliau memang penuh dengan pertimbangan, dan keputusan senantiasa ditetapkan berdasarkan kebulatan pandangan yang diwarnai semangat ke-Indonesia-an. Cermatilah segala hal di balik kehati-hatian yang jadi pegangannya, terlihat benar bahwa itu merupakan tahapan demi tahapan pemikiran yang matang.

Sebagai Presiden Indonesia yang pertama kali langsung dipilih oleh rakyat secara demokratis, SBY juga konsisten dan komitmen menegakkan dan memperjuangkan demokrasi serta tegaknya hukum di negeri ini. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, pun memuji pesatnya pertumbuhan demokrasi di tanah air kita ini. Juga pernyataan dari Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud M.D., belum lama ini yang menegaskan Presiden tak pernah sekalipun melakukan intervensi terhadap segala keputusan hukum yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Sebagai seorang politikus, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr. Dino Patti Djalal melalui catatan hariannya dalam buku Harus Bisa, terbukti memiliki common touch (sentuhan kerakyatan) yang mendalam. Ini terbukti dari berbagai program pemerintah selama ini yang senantiasa berpihak pada nasib rakyat kebanyakan.

Mengakhiri tulisan ini, saya yang sehari-hari dilimpahi oleh hikmah karya-karya seni para maestro negeri ini, berkeyakinan bahwa dalam setiap ucapan, tindakan dan kebijaksanaan Beliau selaku pengayom bangsa ini, telah teruji serta senantiasa penuh dengan empati dan simpati; penuh dengan sentuhan keindahan seorang negarawan.***

Tulisan ini telah dimuat dalam ‘Buku Energi Positif, Opini 100 Tokoh Mengenai Indonesia di Era SBY’, Penerbit Red & White Publishing, 2009

Melalui Museum, Sinergi Seni Membangun Bangsa

MELALUI MUSEUM, SINERGI SENI MEMBANGUN BANGSA
Sebuah Catatan tentang Visit Museum Year 2010
Oleh Putu Supadma Rudana, MBA*)

Bagaimanakah kita seharusnya memaknai pencanangan Tahun Kunjungan Museum 2010 (Visit Museum Year 2010)? Tentu jawabannya terpulang pada masing-masing pihak, sesuai dengan profesi, kepentingan, serta latar sosial-budaya yang bersangkutan. Namun sesuatu hal yang tak bisa disangkal, penetapan museum sebagai fokus program sekaligus branding acuan jelaslah menunjukkan bahwa pemerintah secara keseluruhan, tak terkecuali Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, menyadari peran strategis yang dapat disandang oleh museum, baik swasta maupun negeri.

Di sisi lain, patut dikemukakan, penetapan Tahun Kunjungan Museum 2010, merefleksikan pula kesadaran dari pengambil kebijakan bahwa museum hakikatnya bukan semata gedung tempat penyimpanan hasil-hasil kreativitas warisan leluhur atau peninggalan purbakala maupun arsip-arsip dokumentasi masa silam, melainkan memiliki tawaran akan nilai-nilai universal yang terkait kekinian serta berguna untuk turut merumuskan masa depan. Terlebih lagi, bila kita sedia mengkaji tentang adanya kenyataan bahwa Indonesia adalah sebuah republik yang masyarakatnya majemuk, multietnis dan multikultur, serta tengah menghadapi dinamika percepatan perubahan sebagai akibat hadirnya nilai-nilai global, buah dari kemajuan teknologi informatika yang nan canggih itu.

Dengan kata lain, Indonesia yang memiliki letak yang strategis antara dua benua, Asia dan Australia, serta dua samudera, Hindia dan Pasifik, menghadapi tantangan ke depan yang memerlukan suatu pola penanganan yang holistik berlandaskan kerja sama semua pihak tanpa terkecuali. Upaya mengatasi problematik bangsa ini, memang bukan hanya tugas Presiden sebagai eksekutif beserta jajaran pemerintahnya, akan tetapi juga merupakan tanggung jawab anggota legislatif, yudikatif dan, terkait di dalamnya, para profesional aneka bidang, serta tak ketinggalan masyarakat umum lainnya. Dalam konteks ini, sebagaimana berulang saya kemukakan dan juga wujudkan melalui berbagai kesempatan serta kegiatan, perlu dikedepankan oleh semua pihak suatu upaya sinergi menuju kesempurnaan. Bahkan dalam tataran tertentu, berlandaskan niat baik, saya percaya dengan upaya sinergi tersebut segala hal yang kelihatannya bertolakbelakang dapat di-manage untuk saling dukung dan saling topang.

Museum: Sinergi Seni Membangun Bangsa

Sebagaimana sekilas diulas di atas, peran museum, terlebih di era kompetisi global seperti sekarang ini, sungguh sangat strategis. Tidak seperti yang selama ini dibayangkan oleh sebagian masyarakat awam, museum terbukti dapat difungsikan sebagai laboratorium kebudayaan, di mana para ahli, pakar aneka bidang dan juga generasi muda dapat mengembangkan ide-ide kreatif dan gagasan-gagasan cerdasnya berdasarkan suatu telaah yang lebih mendalam terhadap apa yang telah dicapai para leluhur melalui karya-karya berupa apapun yang tersimpan di dalam museum. Saya kira adalah suatu yang tidak berlebihan bila dalam Diskusi dan Komunikasi Museum Indonesia serta Musyawarah Asosiasi Museum Indonesia di Jambi belum lama ini, mengemuka suatu dialog tentang layaknya menjadikan museum beserta organisasi pengelolanya menjadi semacam center of excellent. Yakni, semacam laboratorium yang memungkinkan para ahli untuk melakukan suatu kajian dan program akademis secara tepat guna dan tepat makna, guna mengembangkan pemikiran atau menghasilkan kreasi-kreasi inovatif yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa, baik itu tataran filosofis maupun tataran praksis.

Mencermati hal tersebut, sebagaimana juga apresiasi masyarakat dan pemerintah di mancanegara terhadap keberadaan museum, seyogyanya kita melakukan upaya-upaya terpadu dan terkoordinasi untuk mendorong peningkatan profesionalisme di kalangan pekerja dan pengelola lembaga ini. Belajar dari luar, terlihat benar bahwa tumbuhnya apresiasi dan penghargaan publik selalu sejalan dengan capain pihak museum untuk meningkatkan pengelolaan dan fasilitasnya serta penyempurnaan koleksinya dengan dukungan segala data berikut fakta-fakta sejarah yang teruji. Tentu saja, Asosiasi Museum Indonesia (AMI) beserta anggotanya, dalam hal ini HIMUSBA Bali, perlu menyamakan visi, misi serta persepsi, dalam menyongsong Tahun Kunjungan Museum 2010. Masing-masing selayaknya terpanggil untuk mengadakan pembenahan menyeluruh serta pencanangan program yang saling sinergi seraya menyadari bahwa museum juga merupakan salah satu sarana pembangunan karakter dan pekerti bangsa (nation and character building).

Boleh dikata, jauh sebelum pemerintah mencanangkan Tahun Kunjungan Museum 2010, Museum Rudana telah berulang mengadakan event-event seni budaya yang menegaskan bahwa museum dapat pula menjadi wadah aktivitas yang turut menggelorakan upaya-upaya pencapaian seni yang bersemangat kekinian tanpa hafrus tercerabut dari akar kultur warisan para leluhur. Bahkan lebih jauh dari itu, saya juga menggagas diadakannya suatu lomba esai, ditujukan untuk generasi muda, bertopik “Harapan Masyarakat Terhadap Pemimpin Masa Depan Indonesia”. Di luar dugaan, lomba ini disambut antusias oleh generasi muda, diikuti oleh lebih kurang dari 1.000 peserta, mewakili anak-anak muda pelajar serta mahasiswa serta umum lainnya yang mencoba berpikir cerdas dan kritis tentang bagaimana dan akan kemana nasib negara ini kelak di kemudian hari. Kegiatan tersebut juga dilanjutkan dengan acara malam apresiasi seni yang diadakan tiga malam berturut-turut, menyajikan aneka kreatifitas; dari teater, dramatisasi dan pembacaan puisi, musik serta film pendek kreasi anak muda. Hal mana itu menunjukkan bahwa melalui museum dapat diperjuangkan suatu sinergi seni untuk membangun bangsa.

Secara lebih fokus dan khusus, dengan menimbang bahwa museum bisa menjadi center of excellent serta laboratorium kebudayaan seperti disinggung di awal tulisan ini, sinergi seni tersebut patut diketengahkan dalam wujud program-program nyata yang lebih terarah dan berkelanjutan guna mendorong upaya-upaya pembentukan karakter dan watak bangsa. Sebab hanya negara yang telah menemukan jati dirinya serta kuasa mengukuhkan nation and character building-nya, berpeluang untuk unggul dalam persaingan global. Dengan demikian, sudah tidak pada tempatnya lagi di era demokratis ini untuk melakukan dikotomi antara berbagai kepentingan dan idealisme atas nama apapun. Bahkan dalam titik kesadaran tertentu, saya dengan sungguh-sungguh mencoba mewujudkan apa yang menjadi keyakinan hidup yakni the art of business in the business of art (seni berbisnis dalam bisnis seni), serta the art of excellent, atau seni kesempurnaan, di mana kita tidak puas hanya sekadar menjadi mediocre (setengah-setengah saja).

Melalui museum, beserta koleksi adiluhungnya, kita dapat mempelajari keagungan masa silam seraya menggagas kemungkinan masa depan tanpa lalai atau abai pada upaya menyikapi dan memaknai kekinian secara lebih kreatif. Saya yakin, melalui Tahun Kunjungan Museum 2010, secara pasti akhirnya Indonesiaakan menjadi the heart of Asia and heart of the world.

Selamat berjuang dan selamat bersinergi!

*) Penulis adalah salah satu Ketua Asosiasi Museum Indonesia (AMI)
Tulisan ini telah dimuat di Majalah Musea edisi 2009

Resume Bedah Buku ‘Menuju Visi Sempurna, Seni Budaya sebagai Jiwa Bangsa’

Serangkaian dengan acara Renungan Kemerdekaan sekaligus sebagai pemaknaan sekaligus refleksi atas perayaan HUT ke-65 Republik Indonesia, pada 18 Agustus 2010 Pusat Penelitian, Pengkajian dan Dokumentasi Budaya ‘DESTAR’ menyelenggarakan sebuah dialog budaya dengan acuan bahasan buku ‘Menuju Visi Sempurna, Seni Budaya Sebagai Jiwa Bangsa’. Diskusi yang digelar di Museum Sejarah Nasional, Monumen Nasional, ini dihadiri oleh para budayawan, pelaku serta pengamat seni Indonesia ini diadakan di Ruang Museum Sejarah Nasional Monas, dengan menghadirkan tiga pembicara yakni Dwi Sutarjantono (Majalah Esquire), Doddi A. Fauzi (Majalah Arti) serta editor buku ini, Ni Made Purnamasari.

Dalam dialog yang berlangsung selama hampir satu setengah jam ini dan dipandu penyair Warih Wisatsana, ketiga pembicara mencoba untuk mengulas berbagai hal yang terangkum dalam buku setebal 313 halaman ini, yang berisi wawancara-wawancara Putu Rudana dengan berbagai media lokal maupun nasional, serta esai-esai terpilih Putu Rudana, termasuk yang termuat dalam buku Energi Positif, perihal pandangan 100 terhadap kepemimpinan SBY, yang dieditori oleh DR. Dino Patti Djalal.

image003Pada paparan awalnya, Ni Made Purnamasari menyatakan bahwa buku ini merupakan rangkuman dari gagasan ataupun pemikiran Putu Supadma Rudana yang tertuang di berbagai media sedari tahun 2007 hingga 2009, diterbitkan sebagai penghargaan kepada media massa yang selama ini turut memberitakan dan mengumandangkan upaya-upaya menjadikan seni budaya sebagai jiwa bangsa. “Buku ini pada mulanya merupakan suatu upaya pendokumentasian awal berbagai liputan ataupun pemberitaan terkait butir-butir pemikiran, gagasan ataupun juga kepedulian Putu Rudana terkait kehidupan bermasyarakat dan bernegara, beserta berbagai latar sosial budaya seiring peristiwa-peristiwa yang menyertainya,” ujar Purnama.

Buku yang diterbitkan oleh Yayasan Seni Rudana ini dapat dikatakan mencerminkan pandangan ataupun gagasan dari Putu Rudana terkait soal-soal sosial, politik, dan budaya berskala nasional maupun internasional. Bila disimak lebih dalam, mengemuka pula semangat cinta tanah air dan upaya-upaya yang dilakukan Putu Rudana selama ini, terutama menyangkut sinergi seni dengan berbagai bidang demi membangun karakter dan pekerti bangsa (nation and character building). Informasi lebih lanjut terkait buku ini dapat diakses di www.putusupadmarudana.com.

Dalam bahasan lebih jauh, ketiga narasumber mengungkapkan bahwa Putu Rudana juga telah menggelar berbagai kegiatan seni-budaya, semisal pameran serta pertunjukan seni, yang tidak hanya mengetengahkan berbagai karya yang indah secara estetika, namun juga sarat dengan nilai serta makna-makna sosial dan kultural. Salah satunya adalah Pameran Seni Lukisan dan Tari Joged (2008), yang mengangkat tari pergaulan tradisional Bali (joged) yang kian lama dipandang sebagai pertunjukan yang menyimpang dari norma kesusilaan, bukan sebagai karya seni yang sarat dengan keindahan gerak serta pemaknaan sosial yang menyertainya. Selain itu, sebagai wujud kepeduliannya terhadap pentingnya wadah apresiasi dan aspirasi generasi muda terhadap kebudayaan dan masa depan bangsa, Putu Rudana juga menyelenggarakan sebuah Kompetisi Esai Populer dengan tema ‘Harapan Masyarakat Terhadap Pemimpin Masa Depan Bangsa’.

Sementara itu, Doddi A. Fauzi dari Majalah Arti yang rangkuman wawancaranya juga tertuang dalam buku ini mencoba mengaitkan antara esensi kemerdekaan serta kebudayaan bangsa dalam pemaknaan nasionalisme era kini. Di samping menjelaskan sejarah lahirnya semangat nasionalisme di berbagai negara, Doddi juga menekankan pentingnya figure-figur yang visioner yang tidak hanya mampu memberikan jawaban akan persoalan-persoalan kekinian, namun juga memiliki pandangan-pandangan yang bermanfaat bagi upaya meraih masa depan bangsa yang lebih baik. “Nah, dalam wawancara dengan Putu Rudana, saya memperoleh banyak pikiran-pikiran yang cerdas dan visioner, termasuk misalnya tawaran ekonomi kreatif yang harus dikembangkan kemudian hari oleh bangsa ini. Padahal, pada waktu wawancara itu, soal ekonomi kreatif belumlah menjadi wacana di masyarakat dan belum menjadi kebijakan dari pemerintah,” kata Doddi yang dikenal juga sebagai penulis seni rupa ini.

Pada bagian lain, menjawab pertanyaan, Doddi menyatakan, Putu Rudana berupaya membangun pandangan yang berbeda akan sebuah karya seni. “Saya masih ingat, Putu Rudana pernah menyatakan bahwa ketika menilai sebuah suatu karya seni, yang kita lihat mula pertama bukanlah tampilan fisik ataupun nilai ekonominya, melainkan nilai-nilaiintangible (tak tampak) yang terkandung dalam karya tersebut. Nilai yang tak kasat mata ini, kata Putu, mencerminkan juga jiwa pelukisnya, curahan hati dan emosinya yang mendalam. Hal inilah yang harus kita pahami dan dalami, berkesesuaian dengan pengetahuan kita atas perkembangan pasar seni rupa, sehingga mampu memberikan manfaat ekonomi yang sebanding.”

Di sisi lain, Dwi Sutarjantono, yang telah beberapa kali berkesempatan melakukan wawancara dengan Putu Rudana mengatakan, pertemuannya dengan sosok Putu Rudana selalu dipenuhi dengan diskusi-diskusi panjang yang hangat dan menarik. Ia menyatakan bahwa Putu selalu tampil dengan gagasan-gagasan orisinal. “Saya kira Putu adalah seorang yang terus menerus memikirkan perihal kebudayaan dan kesenian, serta mencoba mengumandangkannya ke publik luas. Pikiran-pikirannya sering kali tak terduga, tidak hanya melihat dari sisi yang kasat mata, tapi juga menyangkut pertimbangan-pertimbangan yang bersifat non verbal. Dengan demikian, apa yang dikemukakan menjadi sesuatu yang segar dan menarik untuk diungkap di media serta member inspirasi bagi pembaca,” ujar Dwi yang adalah chief editor Majalah Esquire.

Dwi yang kerap menulis laporan perjalanan ke luar negeri ini secara terbuka menilai bahwa kecintaan Putu yang sedemikian besar terhadap seni budaya tentulah tak lepas dari latar belakang keluarganya yang juga memiliki galeri dan museum seni rupa di Ubud, Bali. Sedari kecil Putu Rudana telah terbiasa bersentuhan dengan keindahan dan bergaul dengan seniman-seniman besar serta budayawan-budayawan nasional mupun internasional.

“Yang menarik dari gagasan-gagasan Putu Rudana adalah tentang sinergi seni yang ia lakukan dengan bidang-bidang keseharian kita. Ini bukan hanya untuk mengembangkan seni dan budaya dalam berbagai kemungkinan kreatifnya, tapi juga untuk lebih—menyebut istilah Putu—menyebarkan spirit seni-budaya ke seluruh aspek kehidupan, sehingga tercapai tatanan masyarakat yang santun, beretika dan berlandaskan pada semangat saling pengertian,” papar Dwi Sutarjantono menanggapi peserta yang mempertanyakan apa yang menjadi perhatian utama Putu Rudana.

Dalam sesi tanya jawab dengan hadirin, terlontar beberapa pertanyaan, baik terkait isi buku maupun juga visi serta pandangan Putu Rudana terhadap seni budaya Nusantara. Theresia Pardede, anggota Komisi X DPR RI, misalnya, menanyakan bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan kecintaan terhadap kebudayaan bangsa. Di samping itu, peserta lain juga menanyakan lebih jauh terkait pendapat Putu Rudana terhadap kebudayaan dan sejarah kebangsaan masa lalu serta refleksi budaya di masa mendatang.

image004Turut memberikan pendapatnya, Kepala Unit Pengelola Monumen Nasional, IM Rini Hariyati, mengutarakan, museum memiliki peran yang sangat signifikan dalam proses edukasi masyarakat. Karenanya, ia berharap, dengan adanya Tahun Kunjungan Museum ini, publikasi terhadap permuseuman dapat lebih gencar dilakukan untuk mendorong khalayak Indonesia datang dan berbagi wawasan serta pengetahuan di museum.

Dwi Sutarjantono memperoleh giliran pertama dalam menjawab pertanyaan. Ia menanggapi tentang publikasi permuseuman dan juga seni budaya secara keseluruhan.Dwi mengakui, memang tidak semua media menyediakan ruang yang optimal bagi tulisan ataupun artikel kebudayaan dan kesenian. Hal ini tentulah karena kebijakan beberapa media yang disesuaikan dengan pangsa pasarnya masing-masing. Kendati demikian, Dwi menegaskan bahwa seyogyanya tiap-tiap media di nusantara memberikan ruang bagi artikel-artikel, kolom esai ataupun juga pemuatan karya-karya seni, minimal halaman cerpen atau kisah bersambung. Dengan demikian, sinergi antara seni budaya dan media dapat dilakukan secara lebih menyeluruh lagi.

Mengutip pikiran Putu Rudana yang tertuang di buku, Doddi A. Fuzi menggarisbawahi pentingnya makna kebhinekaan dalam kemerdekaan Indonesia. Keberagaman suku, ras, agama dan juga kebudayaan Indonesia merupakan suatu kekayaan yang tidak ternilai. Kebhinekaan ini pada hakikatnya tercermin dalam koleksi-koleksi yang ada di museum-museum. Warisan seni dan budaya para leluhur itu, sebagaimana kerap ditegaskan oleh Putu Rudana, terbukti tidak hanya sebagai dokumentasi perjalanan sejarah sosial, politik dan juga kultural bangsa ini, namun juga memberikan edukasi bagi masyarakat. “Itulah, kenapa saya hormat dan salut kepada Putu Rudana, yang bersedia mencurahkan waktunya sebagai managing director Museum Rudana. Nah, Putu, dalam wawancara-wawancaranya selalu menekankan pentingnya upaya pembenahan yang lebih menyeluruh untuk menjadikan museum layak untuk dikunjungi.”

Menanggapi pernyataan Doddi, Purnama mengungkapkan bahwa selama ini melalui Museum Rudana, Yayasan Seni Rudana dan juga Pusat Penelitian, Pengkajian dan Dokumentasi Budaya ‘DESTAR’, Putu Rudana telah menggagas serta menyelenggarakan berbagai kegiatan seni budaya yang selalu disertai dengan konsep yang tidak hanya menghargai keadiluhungan tradisi masa silam atau menggagas kemungkinan di masa mendatang, namun juga merenungi kekinian kita.

Di sisi lain, Purnamasari menjelaskan bahwa gagasan Tahun Kunjungan Museum muncul dari pemikiran Putu Rudana yang kemudian diimplementasikan menjadi kebijakan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. “Menteri Jero Wacik sendiri menyatakan hal ini dalam salah satu pidatonya di Bali,” tambah Purnamasari.

Di akhir dialog, menanggapi pertanyaan dan pernyataan narasumber ataupun peserta, Putu Rudana menyatakan bahwa apa yang terangkum dalam buku ini pada dasarnya semua hal tersebut saling bertautan dan terikat dalam suatu benang merah yang mencerminkan sikap, tindakan dan idealisme dari dirinya selama ini.

Putu Rudana juga mengungkapkan pentingnya upaya melakukan sinergi kreatif yang melibatkan seluruh potensi anak bangsa di segala bidang. “Saya juga memiliki cita-cita dan pengharapan bahwa pemimpin-pemimpin kita akan memimpin bangsa ini dengan pemahaman dan penghormatan akan kekayaan seni budaya warisan adiluhung bangsa ini. Di situlah sejatinya kekuatan Indonesia, di dalamnya terkandung kekuatan spiritual maupun potensi finansial atau ekonomi secara keseluruhan,” kata Putu Rudana yang juga Ketua IV Asosiasi Museum Indonesia yang membidangi Informasi, Publikasi dan Komunikasi.

Ke depan, Putu Rudana menegaskan perlunya upaya-upaya pencerdasan masyarakat melalui kegiatan semacam dialog budaya ini. Sejalan dengan itu pula, layak dikembangkan suatu semangat penghormatan atas gagasan atau buah pikiran seseorang sebahai hak kekayaan intelektual (hak cipta) yang harus dilindungi. “Acara renungan ini dan juga kegiatan-kegiatan lain yang pernah serta akan saya selenggarakan pada dasarnya adalah cerminan idealisme dan kepedulian saya yang bertujuan pada pembangunan karakter dan pekerti bangsa (nation and character building).

Sebagai bagian dari upaya membangun karakter dan pekerti bangsa tersebut, juga penghormatan akan warisan leluhur bangsa, Putu Rudana mendukung upaya untuk membangun ibukota baru, tentu termasuk di dalamnya istana kepresidenan yang representatif. “Ya, ibukota baru, itu bisa di mana saja tempatnya di tanah air ini. Para ahli layak dilibatkan dalam pemilihan dan perencanannya. Akan tetapi bagi saya, yang jauh lebih penting adalah bagaimana ibukota baru itu merupakan wujud dari jiwa dan semangat bangsa Indonesia secara keseluruhan. Dengan kata lain, bukan hanya membangun fisik ibukotanya, namun juga yang tak kalah penting adalah jiwa dari ibukota itu, yang seyogyanya merangkum kekayaan nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Oleh sebab itu, saya mengusulkan, bila kelak telah dibangun, istana tersebut sungguh tepat diberi nama Istana Nusantara,” ujar Putu Rudana.

Putu Rudana Menggelar Renungan Kemerdekaan dan Bedah Buku di Monas

[JOURNALBALI.COM – Jakarta] Bila rakyat seantero negeri merayakan hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-65 dengan mengadakan aneka lomba dan menampilkan kesenian, Putu Supadma Rudana boleh jadi melengkapinya dengan membuat acara renungan suci di Ruang Kemerdekaan, tugu Monumen Nasional (Monas) di jantung kota Jakarta pada 18 Agustus yang lalu. Renungan suci yang diselenggarakan dengan khidmat dipimpin oleh Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) Irman Gusman dihadiri antara lain oleh pendiri Museum Rudana, Nyoman Rudana, Kepala UPT Monas Rini Haryani, pejabat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, budayawan, seniman dan aktivis pemuda.

Menurut Irman Gusman, pada momen peringatan kemerdekaan setiap anak bangsa perlu bahu membahu bekerjasama dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Ia mendukung usaha Putu Supadma Rudana dalam mendorong ekonomi kreatif di tanah air, khususnya dalam olah cipta seni dan budaya. “Kita mempunyai tari Minang, tari Jawa, tari Bali dan lain sebagainya. Inilah warisan anak bangsa yang perlu dilestarikan,” kata Irman Gusman.

Pada kesempatan itu pula Putu Rudana menyampaikan refleksi pemikirannya atas kemerdekaan RI yang ke-65. Menurut Putu Rudana keberlangsungan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kreativitas dalam seni dan budaya. “Jika kita menyadari potensi seni budaya Indonesia, kita akan tampil penuh percaya diri di tengah bangsa-bangsa lain di dunia. Pada saat ini kita membutuhkan sinergi dan visi yang sempurna dalam mengembangkan seni budaya sebagai jiwa bangsaa,” ujar Putu Rudana, yang juga sebagai penggagas dan ketua Destar, Pusat Penelitian dan Dokumentasi Seni dan Budaya, yang juga General Manager Rudana Museum, Bali ini.

Setelah diselingi acara buka puasa bersama, dilanjutkan dengan acara membedah buku ‘Menuju Visi Sempurna, Seni Budaya Sebagai Jiwa Bangsa’, dipandu penyair Warih Wisatsana yang menampilkan pembicara Ni Made Purnamasari sebagai editor buku, Dody Achmad Fauzi, editor majalah Arti dan Dwi Sutarjantono (editor majalah Esquire Indonesia). Buku yang diterbitkan di awal tahun 2009 ini, merangkum gagasan serta pandangan Putu Rudana yang pernah tertuang dalam wawancara di beberapa media lokal, nasional maupun internasional, serta mengulas berbagai sisi kehidupan kesenian dan kebudayaan kita.

Dimulai dari karya lukis, tantangan kepariwisataan Indonesia, program Tahun Kunjungan Museum, pandangannya mengenai generasi muda serta masa depan bangsa, hingga berbagai kegiatan kebudayaan yang digagasnya dengan semangat sinergi antara seni budaya dengan beragam bidang kehidupan, semisal otomotif, olahraga, ekonomi, politik dan sebagainya; yang kesemuanya bermuara pada upaya Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa (Nation and Character Building).

Pada sesi tanya jawab banyak peserta bedah buku yang berharap Putu Rudana dapat mengimplementasikan gagasan tentang ekonomi kreatif yang sangat relevan dengan situasi Indonesia terkini. Para peserta juga berharap Putu Rudana menerbitkan buku berikutnya yang dapat memberi inspirasi kaum muda. [ ska ]

Memaknai Seni Budaya sebagai Jiwa Bangsa: Renungan Budaya di Monumen Nasional

image009Memaknai perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-65, pada Rabu malam (18/08) diadakan sebuah acara Renungan Kemerdekaan di Monumen Nasional, Jakarta.

Selain para pemerhati maupun penggiat seni-budaya serta berbagai kalangan yang mewakili aneka lapisan masyarakat, dalam acara yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian, Pengkajian dan Dokumentasi Budaya ‘DESTAR’ ini, hadir pula Ketua DPD-RI, Irman Gusman, yang memberikan pengantar renungan perihal makna kemerdekaan dalam berbagai perspektifnya terkait upaya-upaya untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam mukadimah UUD 1945.

Putu Supadma Rudana, pendiri ‘DESTAR’ sekaligus penggagas acara Renungan Kemerdekaan ini, mengungkapkan bahwa kegiatan ini merupakan upaya untuk merenungkan makna terdalam dari hari kemerdekaan, sekaligus dimaksudkan pula sebagai wahana menghormati jasa-jasa para pendiri bangsa (founding fathers), di mana pikiran-pikirannya yang visioner serta pengabdian mereka yang tulus, terbukti telah mengantar bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan, tegak berdiri sebagai bangsa yang berdaulat dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. “Melalui acara renungan ini, saya pribadi berharap generasi penerus bangsa dapat belajar dari kepeloporan para founding fathers guna memaknai secara lebih mendalam warisan sejarah beserta nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Proklamasi kemerdekaan kita mengandung nilai-nilai historis yang dapat menjadi acuan dan cerminan bagi generasi penerus guna mengisi kemerdekaan dengan pembangunan nyata di segala bidang serta secara terus menerus mempertahankan dan memajukan NKRI sebagaimana yang kita cita-citakan bersama,” ujar Putu Rudana yang juga Ketua IV Asosiasi Museum Indonesia yang membidangi Informasi, Publikasi dan Komunikasi.

Dalam pengantar renungannya yang diselenggarakan di Ruang Kemerdekaan, tepatnya di bawah lambang negara burung garuda, Ketua DPD-RI Irman Gusman menyatakan salut dan pujiannya kepada pemrakarsa kegiatan ini yang secara visioner telah memaknai kemerdekaan dengan penuh hikmah melalui suatu acara yang tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga berisi dialog yang melibatkan segenap komponen masyarakat guna memperjuangkan seni budaya sebagai jiwa bangsa. Ia menyatakan bahwa diharapkan ke depan tampil generasi-generasi muda yang unggul di segala bidang yang terpanggil untuk turut mendarmabaktikan idealismenya guna membangun bangsa Indonesia menuju masyarakat yang adil dan makmur.

image010Sebagai rangkaian dari acara perenungan di Ruang Kemerdekaan, diadakan pula dialog bertemakan ‘Seni Budaya sebagai Jiwa Bangsa’ di Museum Sejarah Nasional di Monumen Nasional, menghadirkan dua pemerhati masalah sosial budaya dan media, yakni Doddi A. Fauzi dan Dwi Sutarjantono, sebagai pembicara. Dialog budaya ini menampilkan pula Ni Made Purnamasari, editor buku ‘Menuju Visi Sempurna’. Adapun buku setebal 313 halaman dan diterbitkan oleh Yayasan Seni Rudana, yang juga telah diluncurkan pada awal tahun 2009 di Museum Rudana, merupakan rangkuman esai-esai terpilih juga wawancara-wawancara Putu Supadma Rudana dengan berbagai media, di mana pokok-pokok pikirannya mencerminkan kepedulian sosok penggiat budaya ini tentang pentingnya upaya sinergi budaya dengan bidang-bidang lain guna turut membangun karakter dan pekerti bangsa (nation and character building).

“Bangsa Indonesia memiliki budaya yang luar biasa, di mana di dalamnya terdapat berbagai suku bangsa dengan beragam adat-istiadat, bahasa, agama serta kesenian yang beraneka. Ini boleh dikata merupakan sosial capital yang paling berharga, yang perlu kita pahami dan dikelola secara terpadu, selaras dengan semangat untuk mencintai, menjiwai serta menggaungkan budaya bangsa,” tambah Putu Rudana yang kerap menggelar acara seni-budaya, semisal Pameran ‘Sinergi Seni Membangun Indonesia’ yang menghadirkan maestro seni lukis Indonesia Srihadi Soedarsono, Made Wianta dan Nyoman Gunarsa.

Putu Rudana juga menyampaikan bahwa untuk mencapai dan mewujudkan cita-cita luhur bangsa, baiknya semua pihak bekerjasama menggaungkan kecintaan pada tanah air serta berupaya membentuk pribadi-pribadi unggul melalui penerapan nilai-nilai budaya yang diwariskan oleh para leluhur bangsa.

“Untuk itu, kebudayaan harus bersinergi dengan berbagai bidang kehidupan, di mana nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya dapat menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu, budaya harus membentuk karakter bangsa yang kokoh, berkepribadian nasional dan bertahan terhadap kemerosotan akhlak,” ungkapnya.

Ia menambahkan, kebudayaan juga mesti menjadi benteng moral bangsa, senantiasa menjunjung tinggi agama dan norma, sekaligus menjadi cerminan puncak-puncak kebudayaan seluruh unsur masyarakat daerah. Budaya harus pula berperan menjaga integritas bangsa, di mana kejujuran diutamakan, menjadi benteng kukuh yang kuasa menepis pengaruh koruptif dan destruktif baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Di samping itu, hendaknya upaya pembangunan seni budaya nasional mengedepankan asas keadilan, yakni penghormatan kepada keunikan dan kekhasan dari budaya-budaya daerah serta mendorong terciptanya suatu kerjasama antarseni-budaya yang mampu melahirkan bentuk-bentuk kebudayaan dan ekspresi-ekspresi baru kesenian yang mencerminkan semangat Bhinneka Tunggal Ika dari bangsa yang besar ini.

Pada kegiatan yang dihadiri oleh Anggota DPR-RI Theresia EE Pardede, Perwakilan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, serta Kepala Unit Pengelola Monumen Nasional IM Rini Hariyani ini,diselenggarakan penganugerahan secara simbolis Satya Synergy Award dari Nyoman Rudana dari Museum Rudana kepada media-media massa di Nusantara yang selama ini telah membuktikan dedikasinya terhadap perkembangan seni-budaya bangsa melalui penyebaran informasi tentang keanekaragaman kekayaan budaya Indonesia. Award ini diterima oleh Dwi Sutarjantono (Majalah Esquire) sebagai perwakilan dari media-media massa.

“Penghargaan ini sebagai penghormatan atas dedikasi serta peran media yang selama ini selalu terbuka menjalin kerjasama guna menyebarkan informasi-informasi positif terkait kekayaan-kekayaan adat istiadan di Nusantara. Peran media memang sangat strategis, terutama membantu masyarakat untuk memperkaya wawasan, pengetahuan serta kecintaannya pada bangsa, tanah air dan kebudayaan negeri ini. Melalui malam renungan inilah, upaya-upaya sinergi kreatif semacam ini dapat dikembangkan di kemudian hari agar potensi-potensi anak bangsa di segala bidang dapat tumbuh berkembang secara optimal sebagaimana yang kita harapkan,” ujar Putu Rudana.

Putu Supadma Rudana : Betapa Hangatnya Kebersamaan

zenminSumber : Denpost, Rabu, 6 Januari 2010
PENGANUGERAHAN K.Nadha Nugraha kepada sepuluh Museum terpilih di Bali, mencerminkan betapa hangat kebersamaan dan sinergi budaya yang terjalin selama ini antara Bali Post, sebagai media massa, Pengemban Pengamal Pancasila, dengan para pendiri dan pengelola Museum di Bali.

“Bali Post sebagai pelopor media massa telah membuktikan komitmen dan konsistensinya untuk senantiasa terdepan sebagai inspirator sekaligus pengayom upaya-upaya kita untuk terus menggaungkan warisan seni budaya Bali dan Indonesia. “ ujar ketua IV Asosiasi Museum Indonesia (AMI), Putu Supadma Rudana (PSR) dalam pidatonya.

Sejalan dengan pencanangan Tahun Kunjungan Museum (Visit Museum Year) 2010, Putu Supadma Rudana yang membawahi bidang Informasi, Komunikasi dan Publikasi, menyampaikan hormat dan salut yang sedalam-dalamnya kepada Pimpinan dan segenap keluarga besar Bali Post atas dedikasi dan peran kepeloporannya selama ini dalam membangun serta mengembangkan seni budaya sebagai jiwa bangsa, serta pembangunan jati diri dan pekerti bangsa. Hal mana itu sejalan dengan semangat Ami yaitu menjunjung kebhinnekaan bangsa ini melalui kehadiran museum.

Menurut Putu Supadma Rudana, Ami memiliki lebih dari 275 anggota secara nasional, dan hingga saat ini terbagi atas 7 asosiasi daerah, termasuk di antaranya Bali atau Himusba, di mana kiprahnya senantiasa menjadi acuan dan cerminan asosiasi daerah lainnya.

Ami merupakan mitra strategis Direktorat Museum Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, sekaligus menjembatani aspirasi serta gagasan seluruh anggota permuseuman nasional untuk dikomunikasikan kepada pemerintah sehingga menjadi program nyata nasional yang unggul dan sekaligus mensolusikan segala permasalahan secara santun dan damai.

PSR juga mengisyaratkan supaya kebersamaan sepanjang tahun ini dimaknai dengan sinergi semua pihak. Mengawali hal itu dengan penuh kerendahan hati, berinisiatif menerbitkan sebuah buku yang memiliki semangat Seni Budaya sebagai Jiwa Bangsa, yang merupakan sinergi dengan berbagai media. “Kami terbitkan sebagai ucapan syukur dan terimakasih saya kepada semua media massa terutama Bali Post yang berkenan memberikan ruang untuk mengungkapkan pokok-pokok pikiran dan menuangkan gagasan dalam berbagai liputan serta pemberitaan, di mana Museum bukan hanya sebagai wadah untuk menyimpan berbagai hasil karya manusia yang sarat dengan muatan sejarah dan estetika, melainkan juga dapat diolah menjadi suatu laboratorium kebudayaan,” tegas Putu Supadma Rudana.

Menurutnya, para ahli serta generasi muda juga mampu mengembangkan aneka gagasan yang kreatif berdasarkan beragam karya peninggalan para leluhur yang sungguh adi luhung itu. Dengan kata lain, Museum bisa menjadi Center of Excelence.

Memaknai peristiwa penganugerahan K. Nadha Nugraha, Putu Supadma Rudana juga mengajak hadirin mengikrarkan Gerakan Nasional Cinta Museum (GNCM) yaitu “Museum di Hatiku”, seraya memperjuangkan Museum untuk persatuan di tengah perbedaan sebagaimana yang dicanangkan oleh pemerintah. (tap)

Source : http://www.museumrudana.org/detail-article-and-archives.asp?lihat=arcive&id=62&action=detail&idarcive=62

Museum Rudana Anugerahkan Satya Synergy Award

Sumber: Bali Post, Senin, 31 Mei 2010

Lomba mewarnai, menggambar, kartun dan karikatur yang bertajuk “Museum, Generasi Muda dan Masa Depan Bangsa” di Museum Rudana, Peliatan, Minggu (30/5) kemarin diisi dengan penganugerahan Satya Synergy Award. Salah satu penerima award tersebut adalah Pimpinan Kelompok Media Bali Post (KMB), Satria Naradha.

Penganugerahan diserahkan oleh pendiri Museum Rudana, Nyoman Rudana, di halaman museum setempat, disaksikan Ketua DPD-RI Irman Gusman, anggota DPD-RI Bali, Kadek Arimbawa (Lolak), tokoh Puri Kesiman A.A. Kusumawardhana, Bupati, Sekda Gianyar Tjokorda Putra Nindia, S.H. dan Rektor ISI Prof. Rai.

Selain Pimpinan KMB Satria Naradha, dua tokoh lainnya yang juga menerima Satya Synergy Award yakni Alistair Speirs dari Majalah Now! Bali yang diwakili Weni Ariasty (Bali Office Manager), dan Dwi Sutarjantono dari Majalah Esquire.

Pada kesempatan yang sama juga diserahkan video dokumenter tentang Puti Kesiman yang bertajuk “Puri Agung Kesiman, Warisan Budaya Leluhur” yang dibuat Pusat Penelitian, Pengkajian dan Dokumentasi Budaya “DESTAR” kepada A.A. Ngurah Kusumawardhana. Video yang sama juga diberikan kepada ketua DPD-RI Irman Gusman.

Ketua DPD-RI Irman Gusman menyatakan salut dengan apa yang dilakukan Nyoman Rudana. Selain sebagai teman di DPD-RI dulu, dia juga selaku pemilik museum yang tetap eksis memperjuangkan seni dan budaya. Dikatakannya, dengan beraneka ragam seni, adat dan budaya serta etnis, Indonesia ternyata bisa bersatu sehingga dikagumi dunia luar. Bali punya daya tarik sehingga tetap menjadi daya tarik wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Ketua DPD-RI ini juga menyatakan salut terhadap anak-anak, siswa SD, SMP, SMA serta Mahasiswa yang ikut dalam kegiatan merwarnai, menggambar, kartun dan karikatur, kerja sama Museum Rudana dengan KMB ini.

Pemilik Museum Rudana, Nyoman Rudana, megatakan bahwa Museum Rudana berperan aktif dalam memelihara seni dan budaya Indonesia. Dengan digelarnya lomba-lomba seperti mewarnai, menggambar, kartun dan karikatur bagi TK, SD, SMP, SMA dan Mahasiswa, diharapkan mampu melahirkan generasi muda yang mampu mempertahankan seni dan budaya.

Semarak, Lomba Mewarnai, Menggambar, Kartun dan Karikatur

Sumber: Denpost, Senin, 31 Mei 2010

Ratusan orang, baik anak-anak TK, play goup, pelajar SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi (mahasiswa) mengikuti lomba mewarnai, menggambar, kartun dan karikatur, dalam program Visit Museum Fiesta 2010 yang bertajuk “Museum, Generasi Muda dan Masa Depan Bangsa” di Museum Rudana, Peliatan, Ubud, Minggu (30/5) kemarin.

Anak-anak TK, SD dan SMP yang diantar oleh orangtuanya dengan tekun mengikuti lomba menggambar, kartun dan karikatur yang digelar Museum Rudana bersinergi dengan KMB.

Dalam lomba kali ini, play goup, TK A, TK B, SD kelas 1 hingga kelas 3, mengikuti lomba mewarnai, sedangkan SD kelas 4 hingga kelas 6 diikutkan lomba menggambar, sementara siswa SMP, SMA dan Mahasiswa masuk dalam kategori lomba kartun dan karikatur.

Lomba mewarnai, menggambar, kartun dan karikatur ini berlangsung semarak karena disertai berbagai permainan yang melibatkan anak-anak dan orangtua.

Pemberian “Award”

Acara kemarin juga diisi dengan penganugerahan Satya Synergy Award. Salah satu penerima award ini adalah Pimpinan Kelompok Media Bali Post (KMB), Satria Naradha.

Penghargaan diserahkan oleh pendiri Museum Rudana, Nyoman Rudana, di halaman museum setempat, disaksikan Ketua DPD-RI Irman Gusman, anggota DPD-RI Bali, Kadek Arimbawa (Lolak), tokoh Puri Kesiman A.A. Kusumawardhana, Bupati, Sekda Gianyar Tjokorda Putra Nindia, S.H. dan Rektor ISI Prof. Rai.

Selain Pimpinan KMB Satria Naradha, dua tokoh lainnya yang juga menerima Satya Synergy Award yakni Alistair Speirs dari Majalah Now! Bali yang diwakili Weni Ariasty (Bali Office Manager), dan Dwi Sutarjantono dari Majalah Esquire.

Pada kesempatan yang sama juga diserahkan video dokumenter tentang Puti Kesiman yang bertajuk “Puri Agung Kesiman, Warisan Budaya Leluhur” yang dibuat Pusat Penelitian, Pengkajian dan Dokumentasi Budaya “DESTAR” kepada A.A. Ngurah Kusumawardhana. Video yang sama juga diberikan kepada ketua DPD-RI Irman Gusman.

Ketua DPD-RI Irman Gusman menyatakan salut dengan apa yang dilakukan Nyoman Rudana. Selain sebagai teman di DPD-RI dulu, dia juga selaku pemilik museum yang tetap eksis memperjuangkan seni dan budaya.

Dikatakannya, dengan beraneka ragam seni, adat dan budaya serta etnis, Indonesia ternyata bisa bersatu sehingga dikagumi dunia luar. Menurutnya, Bali punya daya tarik (taksu) sehingga tetap menjadi daya tarik wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Ketua DPD-RI ini juga menyatakan salut terhadap anak-anak, siswa SD, SMP, SMA serta Mahasiswa yang ikut dalam kegiatan merwarnai, menggambar, kartun dan karikatur, kerja sama Museum Rudana dengan KMB ini.

Pemilik Museum Rudana, Nyoman Rudana, megatakan bahwa Museum Rudana berperan aktif dalam memelihara seni dan budaya Indonesia. Dengan digelarnya lomba-lomba seperti mewarnai, menggambar, kartun dan karikatur bagi TK, SD, SMP, SMA dan Mahasiswa, diharapkan mampu melahirkan generasi muda yang mampu mempertahankan seni dan budaya.

Museum, Generasi Muda dan Masa Depan Bangsa

Lomba Mewarnai, Menggambar, Kartun dan Karikatur, Semarak

Sumber: Denpost, Rabu, 2 Juni 2010

Museum bukan hanya sebagai wadah untuk menyimpan berbagai hasil karya manusia yang sarat dengan muatan sejarah dan estetika, melainkan juga bisa diolah menjadi suatu laboratorium kebudayaan. Melalui museum pula, para ahli serta generasu muda mampu mengembangkan aneka gagasan yang kreatif berdasarkan beragam karya peninggalan para leluhur yang sungguh adiluhung. Ketua IV Asosiasi Museum Indonesia (AMI) yang membawahi bidang Informasi, Komunikasi dan Publikasi, Putu Supadma Rudana, MBA., menyebutkan hal itu dalam acara lomba mewarnai, menggambar, kartun dan karikatur yang bertajuk “Museum, Generasi Muda dan Masa Depan Bangsa” serta Sunday Gathering di Museum Rudana, Peliatan, Ubud, Minggu (30/5) lalu.

Dia menambahkan, museum juga bisa menjadi center of excellence, sehingga harus dimaknai sedalam-dalamnya oleh generasi muda, agar mereka tampil sebagai pribadi yang kukuh dan teguh bila kelak dipercaya menjadi pemimpin bangsa yang besar ini. Pemimpin yang terpanggil untuk membawa bangsa ke arah kemajuan dan kemakmuran sebagaimana diamanatkan oleh para founding fathers, pendiri bangsa dan negara Indonesia tercinta ini.

Menurut Putu Rudana, upaya yang dilakukan oleh Kelompok Media Bali Post (KMB) sesungguhnya sejalan dengan semangat AMI yaitu menjunjung kebhinekaan bangsa ini melalui kehhadoran dan peran museum yang terbukti amat strategis.

Rangkaian kegiatan lomba tersebut, tambah Putu Rudana, merupakan cerminan betapa hangat dan berharganya suatu kebersamaan dan sinergi budaya yang terjalin selama ini antara KMB sebagai media massa Pengemban Pengamal Pancasila, dengan pendiri dan pengelola museum di Bali, khususnya dengan Museum Rudana.

Diungkapkan pula bahwa AMI punya 275 anggota permuseuman secara nasional, serta terbagi atas 7 asosiasi daerah, di antara Bali atau Himusba, yang kiprahnya senantiasa menjadi acuan dan cermian asosiasi daerah lain.

Selain itu, AMI merupakan mitra strategis Direktorat Museum Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, sekaligus menjembatani aspirasi serta gagasan seluruh anggota permuseuman nasional untuk dikomunikasikan kepada pemerintah sehingga menjadi program nyata nasional yang unggul, sekaligus mensolusikan segala permasalahan secara santun dan damai serta dijiwai semangat persaudaraan.

“Di sinilah, suatu sinergi yang terjaga dengan berbagai media amatlah diperlukan agar segala aspirasi, gagasan maupun kebijakan tadi mampu dikomunikasikan secara utuh lagi menyeluruh. Dengan adanya kebersamaan di antara kita, saya yakin kita akan bisa menghargai, menjiwai serta menggaungkan seni budaya bangsa, bahkan hingga ke seluruh dunia,” tandas Putu Rudana.